Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamatkan Anak-anak dari Ranjau Rokok

16 Agustus 2022   19:13 Diperbarui: 16 Agustus 2022   21:26 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Rokok dan anak. Sumber foto: Kompas.com

Ancaman rokok terhadap anak-anak/ remaja, sudah berada pada tingkat yang serius. Lonjakan jumlah prevalensi perokok anak dari tahun ke tahun meningkat sampai titik "darurat perokok anak". Jika lalai mengendalikannya, bisa berpotensi menjadi bom waktu. Jangan biarkan meledak di kemudian hari!  

Mungkin Anda pernah mendengar kisah serupa ini. Seorang anak berinisial A, usia 10 tahun, masih bersekolah di bangku SD (Sekolah Dasar) di Jawa Barat, sudah membeli peralatan rokok elektronik melalui daring. Dia pun belajar merokok rokok elektronik secara diam-diam dari Youtube.

Kisah lain. Ada seorang pelajar SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Jawa Timur, berinisial M sudah merokok sejak kelas 1 SMP gegara pergaulan dengan teman-temannya yang merokok. Alasannya "pakewuh" atau "gak enak hati". Ditunjang pula kemudahan membeli rokok biasa (konvensional) secara "ketengan" di warung dekat rumahnya.   

Kedua kisah di atas, saya petik dari testimoni dua pelajar saat acara webinar daring yang digelar oleh Yayasan Lentera Anak pada Kamis 28 Juli 2022 lalu, bertema "Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak Sesuai Mandat RPJMN 2020-2024".

Kisah-kisah seperti di atas, terjadi hingga saat ini. Faktanya kita bisa lihat di kegiatan sehari-hari, sekitar kita. Dimana kita tak jarang melihat kelompok pelajar di warung selepas sekolah dengan asap dari rokok menyala di sela jari tangannya. Beberapa yang lainnya, mengepulkan asap tebal dari sebuah alat rokok elektronik.

Data dari artikel laman kemkes.go.id berjudul "Perokok Anak Masih Banyak, Revisi PP Tembakau Diperlukan" ini patut disimak. Data dari Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM tentang jumlah perokok anak  menyebutkan bahwa ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.

Kita seakan dikondisikan "terbiasa" melihat fenomena seperti itu. Padahal mereka menyumbang lonjakan prevalensi perokok aktif di usia anak-anak saat ini.  Prevalensi kenaikannya pun cukup mengkhawatirkan. Sudah sampai pada titik  "darurat perokok anak".

Masih dari data dari Global Youth Tobacco Survey, Riskesdas, dan BPOM, menyebutkan bahwa prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya, pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20%, kemudian naik menjadi 8,80% tahun 2016, 9,10% tahun 2018, 10,70% tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16% di tahun 2030.

Bukankah itu lonjakan prevalensi yang mengkhawatirkan?

  • "Tak Kenal, Maka Tak Sayang"

Ungkapan di atas, saya tujukan untuk anak-anak perokok. Sayang anaknya, bukan rokoknya.  Maksud saya begini. Anak-anak merokok, bukan tanpa sebab. Banyak faktor. Termasuk faktor iseng, keingintahuan atau karena lingkungan pergaulan. Bisa juga karena kurang pengetahuan atau bahkan salah dalam memahami tentang "mengidentifikasi" rokok.

Contohnya seperti pengakuan mahasiswa berinisial nama Rin di Jawa Timur. Cerita Rin disampaikan di acara webinar daring Yayasan Lentera Anak. Menurut Rin, dia telah berhenti merokok rokok biasa. Tapi ternyata dia beralih ke rokok elektronik. Menurutnya rokok elektronik lebih aman. Aromanya lebih harum. Duh!

Memang tak mudah untuk mengatasi anak-anak berhenti merokok. Namun setidaknya dengan mengetahui penyebabnya, kita bisa mempertimbangkan cara dan solusi apa sebaiknya yang ditempuh.

Sepengalamann saya, merokok berawal dari coba-coba. Rasa ingin tahu, penasaran ingin mencicipi. Parahnya dipicu pula oleh kondisi berada di "circle" pertemanan perokok.

Saya ingat awal merokok dari lingkungan sekolah. Saat masih belajar di bangku SMP. Coba-coba. Apalagi teman-teman bergaul di sekolah banyak yang merokok  di warung dekat sekolah saat jam istirahat. Sesekali curi kesempatan, lepas dari pengawasan guru.

"Gak enak hati juga, dan biar kerenlah," begitu kira-kira yang ada di benak saya waktu itu. Mirip dengan kisah pelajar M yang saya cerita di atas.

Berawal dari kebiasaan itu, saya menjadi perokok aktif. Saat menginjak dunia kerja, kebiasaan merokok saya, jauh berkurang. Sibuk. Apalagi di kantor "dilarang" merokok alias tak ada satu pun rekan kerja yang merokok. "Pakewuh" juga kalau merokok sendiri.

Itu sebabnya, saya berpikir, mengenal penyebab keinginan merokok, maka solusi bisa diperoleh. Dalam hal ini, circle saya memang sangat membantu menghentikan kebiasaan merokok.

Apalagi beberapa orang yang saya kenal, mengidap penyakit "bawaan" dari kebiasaan merokok. Pemahaman tentang dampak buruk rokok, yang sebelumnya saya rasa hanya dongeng semata, semakin terlihat nyata di depan mata saya.

Sekadar tahu saja, dari artikel laman kemkes.go.id edisi Juli 2022 berjudul," Perokok Anak Masih Banyak, Revisi PP Tembakau Diperlukan", menyebutkan bahwa di Indonesia saat ini, angka kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 pada tahun 2015. Total kerugian makro mencapai Rp. 596,61 triliun. Wah!

17 tahun lalu, saya melepas total kebiasaan merokok. Sejak itu saya merasa lebih sensitif terhadap aroma asap rokok. Batuk-batuk jika menghirup aroma asap rokok di sekitar. Lama-kelamaan saya merasa dada sesak, tidak nyaman. Kok bisa?

Saya pikir, berkelindan dengan penjelasan medis tentang rokok.

  • Menguak Kotak Pandora Rokok

Saya yakin, para perokok aktif, ada yang kurang "ngeh", kurang perhatian dengan "ranjau" atau kandungan zat dalam sebatang rokok yang diisapnya. Sementara perokok yang mengetahuinya, memilih abai. Terbuai oleh ketergantungan yang dipicu oleh zat adiktif rokok. 

Padahal di kemasan rokok, sudah dipasang gambar-gambar yang "mengerikan" dan kalimat peringatan soal bahaya merokok. Mengerikan lagi kalau melihat data-data "ranjau" kandungan dalam sebatang rokok. 

"Merinding gak seh, baca nama-nama zat kandungan dalam sebatang rokok ini?"

Ilustrasi Kandungan dalam sebatang rokok. Sumber Grafis: http://p2ptm.kemkes.go.id 
Ilustrasi Kandungan dalam sebatang rokok. Sumber Grafis: http://p2ptm.kemkes.go.id 
 Awalnya saya kurang paham. Namun saat baca penjelasan dalam tanda "kurung", ngeri! 

Simak nama-nama zat dalam sebatang rokok ini. Ada yang namanya familiar? 

Acetone (Penghapus Cat)
Naphtylamine (Zat Karsinogenik)
Methanol (Bahan Bakar Roket)
Pyrene (Pelarut Industri)
Dimethylnitrosamine (Zat Karsinogenik)
Naphtalene (Kapur barus)
Cadmium (Dipakai accu mobil)
Carbon Monoxide (Gas dari knalpot)
Benzopyrene (Zat Karsinogenik)
Vinyl Chloride (Bahan Plastik PVC)
Hydrogen Cyanide (racun untuk hukuman mati)
Toluidine (Zat Karsinogenik)
Ammonia (pembersih lantai)
Urethane (Zat Karsinogenik)
Toluene (Pelarut Industri)
Arsenic (Racun Semut Putih)
Dibenzacridine (Zat Karsinogenik)
Phenol (antiseptik/pembunuh kuman)
Butane (Bahan Bakar Korek Api)
Polonium -210 (bahan radioaktif

Kalau menilik kacamata ilmu pengetahuan medis, kandungan rokok memang tidak baik bagi kesehatan tubuh kita. Parahnya, zat-zat adiktif yang terkandung dalam rokok, juga akan berdampak bagi para perokok pasif. Coba pikirkan, masihkan kita mau memberi asupan zat-zat "ranjau" di atas demi "kenikmatan semu" rokok?    

Faktanya pemahaman tentang rokok di benak anak-anak memang terkadang keliru. Seperti halnya yang dipahami Rin dalam pengakuannya di atas.

Saya tak bermaksud menyudutkan, namun harus dibilang bahwa seorang mahasiswa pun memiliki  mispersepsi soal identifikasi rokok. Belum memiliki pemahaman yang obyektif dan komprehensif tentang rokok konvensional dan rokok elektronik.

Jadi apa sebenarnya perbedaan kedua jenis rokok itu?  

Penjelasan Oktavian Denta, dari Departemen Penelitian dan Pengembangan Indonesian Youth Council for Tobbaco Control (IYCTC) menarik untuk disimak. Denta dalam acara Webinar daring Yayasan Lentera Anak menjelaskan bahwa ada mispersepsi di kalangan anak muda tentang rokok. Mereka beranggapan rokok elektronik lebih aman dibanding rokok biasa atau konvensional berbahan baku tembakau.

Padahal penelitian yang dilakukan IYCTC membuktikan bahwa rokok elektronik sama bahayanya dengan rokok konvensional. IYCTC  menemukan dalam  liquid rokok elektronik terkandung nikotin, formalin dan zat berbahaya lainnya.

Pembuktian IYCTC  itu senada dengan penjelasan dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).  Seperti saya kutip dari artikel di laman Kompas.com, berjudul "Vape Tak Lebih Aman dari Rokok Konvensional, Apa Saja Bahaya Vape Rokok?"  dr Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyatakan bahwa di dalam rokok elektronik, terkandung nikotin, karsinogen, serta bahan toksik atau mengandung racun lainnya. Bahan-bahan inilah yang berisiko membahayakan kesehatan paru-paru. 

"Lalu apakah rokok elektronik dapat menyebabkan adiksi seperti rokok tembakau?"

Riset dari  Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan Rumah Sakit Persahabatan tahun 2018 , masih dalam artikel Kompas.com seperti di atas, memberikan gambaran jelas.

Riset melibatkan 71 subjek pria. 34 orang di antaranya pengguna vape dan 37 lainnya bukan pengguna. Hasilnya menunjukkan, sebanyak 76,5 persen pengguna rokok elektronik reguler mempunyai ketergantungan nikotin.

Penelitian dan riset di atas, rasanya lebih dari cukup untuk memberikan gambaran obyektif tentang identifikasi rokok elektronik.

Minimal bisa sebagai  "warning" bagi kita dalam memberi pemahaman, apakah masih menganggap rokok elektronik itu aman? Tanamkan ke anak-anak bahwa rokok elektronik, tak sekeren yang mereka bayangkan.  

Ilustrasi perokok anak. Sumber foto https://id.theasianparent.com
Ilustrasi perokok anak. Sumber foto https://id.theasianparent.com
  • Mengurai Jejak Masalah Rokok

Sekarang, penting kiranya untuk melacak jejak masalah, dimana pemicu prevalensi perokok  muda semakin meningkat.

Angka-angka yang Mengkhawatirkan!

Angka yang mengkhawatirkan diungkapan drg. Agus Suprapto, M.Kes selaku Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK saat Webinar daring Yayasan Lentera Anak.

Agus mengkhawatirkan kenaikan prevalensi perokok anak yang kian melonjak. Agus menjelaskan bahwa hasil survei penggunaan tembakau pada usia dewasa, (Global Adult Tobacco Survey -- GATS) 2021  menunjukkan peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa dalam kurun 10 tahun terakhir, yaitu dari 60,3 juta (2011) menjadi 69,1 juta perokok (2021).

Sementara prevalensi konsumsi rokok elektronik mengalami kenaikan 10 kali lipat dari 0,3% (2011) menjadi 30% (2021).

Angka lain yang patut diwaspadai adalah data penjualan rokok. Menurut Agus, penjualan rokok meningkat 7,2% pada 2021 dibanding tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang.

Sementara konsumsi rokok berjumlah 70,2 juta orang dewasa, dan penggunaan rokok elektronik meningkat 10 kali lipat dari 0,3% di tahun 2011 menjadi 3% di tahun 2021.

"Beli Rokok Gampang Banget!"

Beli rokok itu gampang. Ada dimana-mana. Itu fakta. Kemudahan memperoleh rokok, menjadi salah satu faktor memicu anak untuk merokok. Baik perokok rokok konvensional maupun rokok elektrobik.

Pengakuan pelajar berinisial "M" dalam webinar daring Yayasan Lentera Anak, memberikan bukti. "M" perokok konvensional. Dia memperoleh rokok dari membeli di warung dekat rumah.

Hanya dengan uang jajan sebesar Rp 5000, dia sudah memperoleh 3 batang rokok.  Membeli rokok secara " ketengan" adalah "jalan ninjanya" untuk menuntaskan hasrat mengepulkan asap rokok di mulutnya. Padahal dia mengaku mengetahui dampak buruk rokok terhadap kesehatan. Zat adiktif rokok menguasainya. Sulit berhenti merokok.

Kasus berbeda. Pelajar SD berinisial"A" seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini, menurut kakaknya Ulfa, membeli rokok elektronik secara daring menggunakan gadget milik kakaknya. Meski akhirnya ketahuan dan dimarahi keluarganya. Kasus ini memberi gambaran betapa mudahnya rokok elektronik dibeli. Bahkan oleh pelajar SD sekalipun.

Lingkungan dan Pengawasan, Lemah! 

Lingkungan pun turut membentuk kebiasaan merokok.  Saya pun berhenti merokok karena dukungan tempat kerja. Tak ada rekan kerja yang merokok.

Contoh nyata lainnya, kisah dari Ulfa tentang adiknya, pelajar SD, A yang kutulis di awal tulisan ini. A mengaku mengetahui seluk beluk tentang rokok elektronik dari aplikasi Tiktok, Instagram, dan Youtube.

Bahkan dia belajar cara menggunakan peralatan rokok elektronik dari Youtube. Semua "printilan" terkait cara merokok rokok elektronik dapat diakses dengan mudah di Youtube.

Pelajar SMP inisial M yang saya tulis di awal tulisan ini, memiliki pengalaman serupa. Dia "pakewuh" saat tidak merokok di antara teman-temannya. Padahal dia sempat bisa berhenti merokok selama setahun. Dia juga merasa lebih gaul jika merokok.

Pengalaman yang sama, dilakukan juga oleh Rin, mahasiswa yang turut bercerita saat webinar daring Yayasan Lentera Anak. Rin mengaku mengetahui banyak informasi rokok elektronik dari media sosial. Membelinya melalui marketplace.

Sementara "iklan" rokok mudah dilihat di akun media sosial anak-anak muda. Pelaku industri rokok pun masif melakukan promosi yang menggiurkan. Di dunia maya,   informasi soal rokok elektronik yang digemari anak muda, bertebaran.

Drs. Anthonius Malau, M.Si, Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika, Kominfo RI menyadari bahwa  saat ini media sosial menjadi media yang banyak dimanfaatkan oleh industri rokok. Mereka mengetahui kalau pengguna media sosial adalah calon potensial perokok muda. Karena pengguna dari kalangan muda sangat banyak.

Jaring jerat yang dipasang industri rokok pun kreatif, dimana membangun narasi yang disesuaikan dengan dunia remaja yang suka keren, gaul, dan terlihat modern.

Dari contoh pengalaman A dan Rin, memberikan gambaran, bahwa di era digital banyak informasi tentang rokok. Baik tentang cara penggunaan peralatan rokok elektronik sampai info tempat membelinya. Pembelian pun tanpa cek ricek batas usia pula. Memprihatinkan.

Regulasi Komprehensif 

Begitu mudahnya anak-anak bersentuhan dengan rokok, tak lepas dari ketersediaan, kemudahan memperoleh rokok pada usia dini. Bagai lingkaran, semua bertautan. Termasuk gerak Langkah pemerintah terkait kebijakan soal rokok.

Regulasi menjadi tembok tebal yang menjaga peredaran rokok menyasar ke konsumen yang keliru, seperti anak-anak.

Jika tidak segera disempurnakan dan diimplementasikan secara ketat, regulasi yang ada maka prevalensi perokok anak dan usia remaja akan terus mengalami kenaikan. Kebijakan komprehensif sangat diperlukan untuk menekan angka prevalensi.

  • Berjibaku Melawan "Bom Waktu" Rokok

Pemerintah berupaya mengendalikan prevalensi perokok di Indonesia dengan beberapa regulasi yang diterbitkannya.  

Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012

Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.  

PP 109/2012  dimaksudkan untuk mengendalikan prevalensi perokok di Indonesia. Di dalam PP 109/2012   itu mengatur soal larangan iklan rokok. Namun dinilai masih belum optimal dan lemah dalam mencegah dan melindungi anak menjadi perokok pemula.

Kelemahan PP 109/2012 itu disoroti oleh  dr Benget Saragih, M. Epid,  selaku Ketua Tim Kerja Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi, Kemenkes RI.

Menurutnya  larangan iklan rokok baru sebatas berlaku untuk iklan di media televisi dan radio, serta media luar ruangan. Belum mengatur tentang rokok elektronik.

Sementara faktanya, industri rokok masih bisa masif beriklan, promosi dan sponsor rokok.

Lebih jauh dr Benget Saragih, M. Epid, mengungkapkan bahwa setidaknya ada 5 substansi dasar yang perlu diatur dalam revisi PP 109/2012  itu. 5 substansi dasar yang dimaksudkannya adalah pengaturan rokok elektronik, pelarangan iklan rokok, larangan penjualan batangan, perbesaran peringatan Kesehatan bergambar dan pengawasan yang ketat.

Sayangnya, revisi PP 109/2012 itu masih tertunda lebih dari 2 tahun dan hingga kini prosesnya masih tertahan di Kementerian Kesehatan.

Padahal Presiden RI telah memberi mandat melalui Perpres No.18/2020. Paralel dengan itu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (PMK) sudah mengirim surat kepada Menteri Kesehatan agar menyelesaikan pembahasannya.

Sementara, seperti saya kutip dari catatan laman delapankomatujuh.org, pemerintah melakukan Revisi PP 109/ 2012 melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024, dengan  target perokok anak turun menjadi 8,7% pada tahun 2024.

Kebijakan Kota Layak Anak

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)  RI telah Menyusun strategi perlindungan anak dari rokok dengan mencantumkan pada klaster kebijakan Kota Layak Anak.

Anggin Nuzula Rahma, S.Sos, Perencana Ahli Madya pada Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan, KPPPA RI, dalam Webinar daring Yayasan Lentera Anak menegaskan tentang kebijakan itu.

Kebijakan Kota Layak Anak itu berupaya mengoptimalkan pengawasan distribusi, iklan dan promosi rokok, serta rehabilitasi khusus bagi perokok anak.

Peraturan Pemerintah (PP) 59 tahun 2021 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)  RI  juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 59 tahun 2021.

PP 59 tahun 2021 itu mengatur tentang Koordinasi Perlindungan Anak. Mengatur perlindungan anak di semua klaster.

Memang diperlukan komitmen dan sinergi antar kementerian terkait permasalahan pengendalian dan menurunkan prevalensi rokok ini.  Bersama-sama melakukan perlindungan terhadap anak.

Saat ini, hasil maksimal untuk menurunkan prevalensi perokok anak, masih belum tercapai. Kemen PPPA dan  Kemenkominfo sudah menilai perlunya pelarangan total iklan rokok di internet melalui produk hukum.   

Kini pemerintah tengah melakukan uji publik terhadap revisi PP 109/2012. Banyak masukan terkait  revisi yang disampaikan saat webinar daring Yayasan Lentera Anak itu. .

Misalnya saja, masukan soal pentingnya regulasi pengendalian tembakau khususnya untuk menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada 2024.  Masukan ini dilontarkan oleh Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak. 

Masukan lainnya dari Purwandoko, Analis Perdagangan Ahli Madya, Direktorat Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag RI berharap  ada pengaturan penjualan rokok yang lebih spesifik dan memperjelas kewenanagan masing-masing Kementerian dan Lembaga.

Di sisi lain, revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 sangat mendesak. Masih ada waktu sebelum tahun 2024 tiba. Patut dicamkan peringatan dari dr Agus Dwi Susanto, SpP(K) saat webinar, bahwa soal rokok adalah persoalan "bom waktu". Jangan sampai kita hancur gara-gara kita lalai mengendalikannya.

Semoga saja revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 itu segera "gol" dan optimal realisasi pencapaian target dalam upaya menurunkan dan mengendalikan prevalensi perokok anak. 

Akhirnya berharap banya, semoga Indonesia bisa lepas dari kondisi darurat perokok anak. Dukung!

Penulis: Rachmat Pudiyanto
IG &Twitter @rahabganendra 

Referensi:

1.  Webinar daring yang digelar oleh Yayasan Lentera Anak pada Kamis 28 Juli 2022 lalu, bertema "Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak Sesuai Mandat RPJMN 2020-2024". Akses Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=A6lvZ0Ah8rQ&t=2105s 

2. Laman https://delapankomatujuh.org/

3. Kandungan dalam Sebatang Rokok
http://p2ptm.kemkes.go.id/infografhic/kandungan-dalam-sebatang-rokok

4. Vape Tak Lebih Aman dari Rokok Konvensional, Apa Saja Bahaya Vape Rokok?
https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/13/203100623/vape-tak-lebih-aman-dari-rokok-konvensional-apa-saja-bahaya-vape-rokok-?page=all#page2

5. 7 Mitos Salah Seputar Rokok
https://hellosehat.com/hidup-sehat/berhenti-merokok/7-mitos-salah-seputar-rokok/

6. Situs  www.lenteranak.org

7. Perokok Anak Masih Banyak, Revisi PP Tembakau Diperlukan
https://www.kemkes.go.id/article/print/22073000001/perokok-anak-masih-banyak-revisi-pp-tembakau-diperlukan.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun