Menurut penuturan S Tijab selaku penulis naskah sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana” itu kisahnya terjadi pada jaman kesultanan Mataram Yogyakarta pada zaman Sultan Agung. Ada dua anak remaja saling mencintai, yakni Jatmiko dan Setiyaningsih. Jatmiko adalah seorang anak tumenggung, sementara Setiyaningsih adalah gadis desa.
Kisah betapa sulitnya dua remaja itu menyatukan cinta dan naik pelaminan karena ditentang orang tua masing-masing. Feodalisme sangat kuat. Tak mungkin Tummenggung melepas anakanya Jatmiko menikah dengan gadis ‘biasa’. Namun keduanya nekad menjalin kasih. Akhirnya gagal pelaminan tepat saat meletusnya Gunung Merapi.
Badai bencana mengamuk merusak segala-galanya termasuk merusak hubungan kedua insan, Jatmiko dan Setiyaningsih. Tragedy cerita menyedihkan.
“Bencana itu cerita yang menyedihkan banyak dampak yang buruk. Diparalelkan dengan cerita percintaan dua anak remaja,” jelas S Tijab.
Dengan digawangi oleh nama-nama tokoh sandiwara radio berkelas nasional, maka sandiwara ini cukup menjamin dari segi kualitas pemerannya dan juga cerita. Ada nama Penulis Besar S.Tijab yang pernah mengkaryakan sandiwara radio TUTUR TINULAR, sutradara Indra Mahendra, Haryoko sang produser, para pemeran pengisi suara Ivone Rose, Hary Akik, Eddy Dhosa, Ajeng, Elsa Surya dan lain-lain.
Khusus untuk nama terakhir, yakni Elsa Surya, surprise buat saya. Karena pernah bersama-sama menggawangi sebuah radio FM di Batam medio 2010 an. Dan saya tau, kualitas Elsa Surya dalam seni peran sandiwara radio.
Sooo, bagi mereka yang saat ini sudah berusia di angka 40an tahun ke atas, pasti kenal dan akan merindukan nama-nama beken yang pernah berjaya di era 1980an itu.
Mendengarkan Sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana” saya memandang tantangan soal bahasa pengantar dan latar belakang budaya sebagai ‘background’ dari kisah dalam sandiwara radio “Asmara di tengah Bencana.” Bahasa pengantar yang saya maksud adalah terkait bahasa daerah sebagai bahasa pengantar kedua setelah bahasa nasional Indonesia. Saya perlu menceritakan pengalaman saya seputar dunia radio. Hal ini terkait fungsi radio sebagai sarana informasi, edukasi dan hiburan.
Dulu, medio 2005 – 2011, saya berkiprah di sebuah radio fm di Batam, Kepulauan Riau. Radio dengan segmen pendengar komunitas mandarin. Tentu saja bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia (utama) dan mandarin serta sedikit bahasa Ibu warga pulau di Batam seperti Tiociu dan Hokkian. Alasannya jelas untuk mengkomunikasikan agar siaran bisa dipahami dan diterima oleg warga ‘pulau’ yang etnis Tionghoa. Tak dapat dipungkiri bahwa pulau-pulau sekitar Batam banyak dihuni oleh etnis keturunan. Dan itulah segmen yang kita ambil sebagai pendengar.