Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Efektivitas Sandiwara Radio untuk Edukasi Siaga Bencana

17 September 2016   05:36 Diperbarui: 17 September 2016   18:32 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut penuturan S Tijab selaku penulis naskah sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana” itu kisahnya terjadi pada jaman kesultanan Mataram Yogyakarta  pada zaman Sultan Agung. Ada dua anak remaja saling mencintai, yakni Jatmiko dan Setiyaningsih. Jatmiko adalah seorang anak tumenggung, sementara Setiyaningsih adalah gadis desa.

Kisah betapa sulitnya dua remaja itu menyatukan cinta dan naik pelaminan karena ditentang orang tua masing-masing. Feodalisme sangat kuat. Tak mungkin Tummenggung melepas anakanya Jatmiko menikah dengan gadis ‘biasa’. Namun keduanya nekad menjalin kasih. Akhirnya gagal pelaminan tepat saat meletusnya Gunung Merapi.

Badai bencana mengamuk merusak segala-galanya termasuk merusak hubungan kedua insan, Jatmiko dan Setiyaningsih. Tragedy cerita menyedihkan.

“Bencana itu cerita yang menyedihkan banyak dampak yang buruk. Diparalelkan dengan cerita percintaan dua anak remaja,” jelas S Tijab.

BNPB
BNPB
Satu episode berdurasi 30 menit.  Di situ ada kisah  bencana longsor. Banjir lahar juga ada. Dalam 30 episode awal berkisah tentang percintaan. 20 terakhir masuk dalam masalah bencana, disnilah edukasi tentang siaga bencana disispkan. Dramatik dibangun. Intinya menanamkan jiwa kepahlawanan dan balas budi. Misalnya saat salah satu tokoh bernama Blendung mengorbankan nyawanya untuk Jatmiko. Saat kritis, saat ‘wedhus gembel’ mengamuk. Ada moralitas ditanamkan. Orang kecil, orang rendahan, jujur setia bisa berbuat sesuatu untuk orang lain.

Dengan digawangi oleh nama-nama tokoh sandiwara radio berkelas nasional, maka sandiwara ini cukup menjamin dari segi kualitas pemerannya dan juga cerita. Ada nama Penulis Besar S.Tijab yang pernah mengkaryakan sandiwara radio TUTUR TINULAR, sutradara Indra Mahendra, Haryoko sang produser, para pemeran pengisi suara  Ivone Rose, Hary Akik, Eddy Dhosa, Ajeng, Elsa Surya dan lain-lain.

Khusus untuk nama terakhir, yakni Elsa Surya, surprise buat saya. Karena pernah bersama-sama menggawangi sebuah radio FM di Batam medio 2010 an. Dan saya tau, kualitas Elsa Surya dalam seni peran sandiwara radio.

Sooo, bagi mereka yang saat ini sudah berusia di angka 40an tahun ke atas, pasti kenal dan akan merindukan nama-nama beken yang pernah berjaya di era 1980an itu.

Wah Ivone Rose (kiri) akhirnya ketemu darat juga hehee. (FOTO GANENDRA)
Wah Ivone Rose (kiri) akhirnya ketemu darat juga hehee. (FOTO GANENDRA)
Sang penulis naskah S Tijab. (DOKPRI)
Sang penulis naskah S Tijab. (DOKPRI)
Tantangan Bahasa dan Budaya Sejarah

Mendengarkan Sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana” saya memandang tantangan soal bahasa pengantar dan latar belakang budaya sebagai ‘background’ dari kisah dalam sandiwara radio “Asmara di tengah Bencana.” Bahasa pengantar yang saya maksud adalah terkait bahasa daerah sebagai bahasa pengantar kedua setelah bahasa nasional Indonesia. Saya perlu menceritakan pengalaman saya seputar dunia radio. Hal ini terkait fungsi radio sebagai sarana informasi, edukasi dan hiburan.

Dulu, medio 2005 – 2011, saya berkiprah di sebuah radio fm di Batam, Kepulauan Riau. Radio dengan segmen pendengar komunitas mandarin. Tentu saja bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia (utama) dan mandarin serta sedikit bahasa Ibu warga pulau di Batam seperti Tiociu dan Hokkian. Alasannya jelas untuk mengkomunikasikan agar siaran bisa dipahami dan diterima oleg warga ‘pulau’ yang etnis Tionghoa. Tak dapat dipungkiri bahwa pulau-pulau sekitar Batam banyak dihuni oleh etnis keturunan. Dan itulah segmen yang kita ambil sebagai pendengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun