Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Berkelakar

19 Oktober 2017   04:55 Diperbarui: 19 Oktober 2017   05:17 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Sekretariat LIKRA mulai ramai perdebatan. Beberapa pengurus dan kader beradu argumen tentang isi pidato itu. Wanto seorang Sekretaris Umum LIKRA memiliki pandangan berbeda dengan Indra. Wanto adalah mahasiswa fakultas hukum. Sebagai mahasiswa hukum, ia memandang harus dilakuka proses hukum terhadap kata yang sudah diucapkannya dalam acara kenegaraan. Sementara Indra menanggapi pidato ini hanya tong kosong nyaring bunyinya.

Bendahara Umum, Fatimah menyangkal kata itu sangat bertentangan dengan sejarah. Sejak lama, bangsa ini terlepas dari kata pribumi. Meskipun ada kolonialisme gaya baru, kata pribumi sudah tidak ada lagi.  

"Saya tidak sepakat pak ketua. Anis memang sudah melanggar, ini jelas sangat bertentangan dengan kondisi hari ini, tidak ada pribumi" tegas Fatimah disela-sela perdebatan Indra dan Wanto.

Namun, Indra tetap berkeras ini hanya bualan saja dan tidak laku lagi dijadikan isu perlawanan. Sosok Indra memang dikenal keras mempertahankan pemikirannya. Bukan berarti tanpa dasar yang kuat.

"Jika kita hidup di masa era kolonial berkuasa, mungkin pribumi ini laku dijadikan isu perlawanan. Tapi sekarang bisa? Ini tidak masuk akal. Maka dari itu, kata pribumi ini hanya kelakarnya saja," tegas Indra.

Disela-sela perdebatan, Ayu selaku ketua Korps Gerakan Perempuan berkomentar, bahwa adanya kata pribumi adalah sebuah rekayasa untuk memancing perdebatan banyak orang. Kalau diterlusuri, memang ada benarnya. Banyak orang menyamai efek pidato Anis dangan Ahok. Meski berbeda isi, tapi efeknya terasa hingga keseluruh wilayah indonesia. Tampak komentar sangat beragam.

"Pencitraan, ini kata yang cocok untuk Anis. Karena kualitas kerjanya kalah jauh dengan Ahok, Anis harus mencari cara agar ia juga bisa dipandang lebih dari Ahok, makanya ia berkelakar," jelas Ayu.

Hari makin senjar, diskusipun belum kunjung usai. Perdebatan mereka tidak menemui titik temu, baik Fatimah, Wanto, Indra dan Ayu sama-sama masih mempertahankan argumen mereka. Akhirnya, diskusi ini pun dihentikan sementara waktu menunggu perkembangan media selanjutnya. Apakah efeknya benar-benar menggelar ataukah Anis  sekadar berkelakar.

"Media masih mengawal pemberitaan ini, medsos masih terus bersuara tentang pidato Gubernur itu. Jadi, kita lihat saja nanti, bagaimana perkembangan selanjutnya. Jelasnya akhirnya nanti kita akan duduk bersama berdiksui dengan tenang dan tarik kesimpulan" Indra menutup diskusi dengan bijak.

Beberapa kader dan pengurus pun pulang ke rumah masing-masing. Sedang Wanto dan beberapa kader lainnya masih tampak asik bercengkerama. Sedang Ayu masih sibuk didapur sekretariat. Karena hanya tinggal satu kader perempuan yang sibuk didapur, Ayu berdiri menuju dapur. Rasa malu yang tumbuh subur sejak pagi, belum juga hilang. Masih seperti baisa, Ayu mengampil kesempatan mengintip Indra dibaliik pintu dapur. Dari ruangan tengah, terlihat jelas dari dapur. Agar tidak ketahuan, Ayu sekali-kali mengintip Indra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun