Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Berkelakar

19 Oktober 2017   04:55 Diperbarui: 19 Oktober 2017   05:17 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f3/Raden_Saleh_-_hunt.jpg/800px-Raden_Saleh_-_hunt.jpg

Rasis!!!

Jangan ungkit-ungkit itu lagi!!!

Sangat tidak mencontohkan pejabat negara!!!

Ah bisa saja, maknanya kan pada masa kolonial!!!

Celoteh warganet usai menyimak isi pidato sang terpilih. Dentuman para heaters pun datang silih berganti dari berbagai belahan nusantara. Tampaknya suasana jadi sedikit berbeda saat itu. Di sisi lain, ada pula yang membenarkan dari aspek pemaknaan kata dan intonasi suara.

"Tapi apa yang membuat mereka berfikir salah, bukannya kata itu tidak laku lagi?" celoteh Indra saat membaca beberapa berita di koran-koran yang dibelinya setiap pagi sebelum menuju kampus.

Baginya, kata itu hanya ada dalam catatan sejarah, di mana tanah ini masih belum bersatu dalam bingkai kenegaraan. Lebih-lebih lagi semangat kemerdekaan masih terus bergumam di mana-mana. Slogan kemerdekaan jadi sarapan pagi sebelum jalanan dipenuhi aksi-aksi dengan harapan penderitaan dapat segera tergantikan dengan masa depan baru.

Di sisi lain, Indra masih ragu jika dentuman para heaters tergolong benar adanya. Tapi apa yang menarik kalimat mereka selain mengkaji dengan penuh bijakasana. Seolah-olah negeri ini dibuat untuk terus gaduh tanpa tau mengapa tanah kaya raya ini belum juga bisa mandiri dan sejahtara.

"Saya semakin tidak simpati dengan ini semua." Tegas Indra sembari menyeruput  secangkir kopi panas di atas meja kecil teras sekretariat LIKRA (Lingkar Gerakan Rakyat Merdeka).

"Pagi bang Indra!" sapa Ayu berjalan mendekati Indra keteras sekretariat.

"Pagi Ayu." Balas Indra.

"Kenapa jidat mengkerut begitu. Pasti lagi kesal ya bang."

"Iya, komentar mereka ini bikin saya kesal saja, terlalu kaku memaknai isi pidato itu." Jawab Indra sambil menggeleng-geleng kepala. "kita harus diskusikan ini."

"Ok, sebetar jam 03.00 sore ya." Balas Ayu dengan wajah amat senang.

Ayu seorang aktivis perempuan yang gemar berdiskusi soal gerakan dan sejarah Indonesia. Tapi, terbesit dilubuk hatinya, Ayu juga sangat menyukai Indra. Saat-saat berdiskusi, Ayu sering mencuri pandang sambil emas menyemali wawasan Indra dan bercengkarama lebih dalam. Tentu bukan tanpa sebab, Ayu ingin mendekati Indra dengan cara saling menggali wawasan. Kesempatan emas!Girangnya sambil tersenyum. Tapi apalah daya, untuk lelaki sekelas Indra tidak mudah untuk jatuh cinta.

***

Pagi beranjak siang, suasana kampus tampak ramai, kantin-kantin tetap jadi sasaran empuk mahasiswa usai menerima mata kuliah. Ditempat berbeda, parkiran jadi tempat tongkrongan paling nyaman selain duduk dibawah pohon yang ada disekitar kampus.

Indra dan teman sekelasnya memilih gubuk dibawah pohon sebagai  tempat untuk membicarakan apa saja. Diskusi usai kuliah juga selalu dilakukan di sana. Memang pohonnya sejuk, apalagi ditemani secangkir kopi panas dan sebungkus rokok. Ditambah lagi angin sepoi-sepoi menyerbu daun-daun, gemerisik lembut menghidupkan suasana obrolan.

Dari kejauhan, dibalik tembok ruangan perpustakaan, Ayu mengintip aktivitas mereka, matanya tertuju pada Indra. Umumnya, seorang aktivis dipandang memiliki keberanian yang luar biasa. Jangankan mendekati kawanan seragam bersenjata, mendekati perempuan cantik itu urusan mudah. Belum lagi retorika aktivis sarat makna dan kalimat menghanyutkan jiwa.

Tapi, bagi Ayu sendiri, tidaklah demikian. Meskipun sudah terbiasa berhadap-hadapan dengan laki-laki berseragam pun, Ayu rasa-rasanya berat berdekatan dengan Indra, kecuali diskusi.

"Hiaaatttt,,,," Dina menepuk punggung Ayu hingga kaget setengah mati.

"Iiiiihhhh,,, kamu ini kebiasaan ya, jantung ku hampir copot tau." Ayu mencubit bahu Dina.

"Aiihhh,,, lagi intip siapa tuh, Indra ya."

"Sssttt,,, diam."

Indra adalah aktivis LIKRA. Ayu sangat menyukai Indra, cowok palintg cooldan berpengaruh se fakultas. Selain Ayu, ada ratusan kaum hawa lainnya yang juga menyukai Indra. Wajahnya tidak setampan artis korea atau penyanyi sekelas Ariel Noah. Tapi, kecerdasan dan wawasannya yang luas menyampingkan soal fisik. Apalagi retorikanya yang menghanyutkan, hingga ia kenal pandai menghegomoni orang.

"ayoo kita kesana! Jangan sampai Indranya pulang." Ajak Dina sambil menarik tangan Ayu.

"Aiiihhh,, malu. Di sini saja."

Mereka berdua tetap berdiri dibalik tembok  Ayu sibuk mengintip membayangkan dirinya berada disamping sambil tertawa riang bercerita tentang hal-hal yang menghanyutkan. Sementara Dina berfikir bagaimana cara membuat Ayu makin malu.

"Indraaaaaaaa,,, Ayu panggil." Teriak Dina sambil melambaikan tangannya.

Bergegas Ayu memalingkan tubuhnya dan bergeser dari balik tembok tempatnya ia mengintip. Sementara Dina melambaikan tangannya sekadar memastikan panggilan itu datang dari arah tembok perpustakaan. Ayu segera menarik tas Dina agar tidak terlihat benar kalau ada Ayu disamping Dina. Recananya, kalau Indra mengetahui arah panggilan itu dari tembok perpustakaan, Dina ingin memasang jari telunjuk ke arah Ayu sebagai tanda kalau ada Ayu disampingnya.

Untungnya, Indra tidak menemukan arah panggilan itu. Karena Ayu gesit menarik Dina, Indra tampak kebingungan siapa yang memanggil dirinya tadi.

"Sudah, bikin rusak mood saja kamu ini." Tekan Ayu dengan suara sedikit keras.

"Cieee,,, masa aktivis pemalu. Hadeehhh" Dina menepuk jidatnya sendiri.

Mereka berdua pun berjalan menuju kelas. Ayu menarik Dina dari tempat pengintipan. Mereka sangat tergesa. Tiba di dalam ruangan,  terpampang puluhan mata memandang mereka. Ruangan itu penuh mahasiswa tengah ribut. Ayu nyengir kuda menyembunyikan rasa malunya, "ehhh... maaf pak," ucapnya. Ayu membalik badan pelan-pelan sambil menutup wajahnya. Mahasiswa yang ada di dalam ruangan itu nyatanya memang sedang ribut berdebat, lengkap dengan seorang dosen berwajah garang.  Mahasiswa dalam kelas itu pun sontak diam serentak melihat tingkah Ayu dan Dina. 

Sedikit malu masih tersisa dari kejadian itu, namun tanpa kapok, Ayu mengulangi tingkahnya di kelas lain. Hal yang sama pun terjadi. Oh tuhan!Ayu menepuk jidatnya. Dalam kelas itu ada mahasiswa sedang mengikuti ujian tengah semester. Kali ini sedikit berbeda, orang-orang dalam kelas itu berbisik-bisik melihat tingkah Ayu dan Novi.

Tangan Dina terus ditariknya, menyeret kemanapun Ayu pergi. Tanpa takut salah lagi, Ayu berhenti di depan ruangan memandangi nama ruangan itu, yes!Ceria Ayu dalam hatinya. Ia mendapati ruangan yang dicari-carinya sedari tadi. Tingkah Ayu hari itu membuat Dina cekikikan. Sedangkan Ayu terus mengatur nafasnya yang tidak karuan.   

"Gara-gara kamu Dina." Marah Ayu kepada Dina.

"Hahahahahaha.." karena tidak mampu menahan tawa, Dina langsung tertawa lepas hingga terdengar satu ruangan. "Ya ampun Ayu, kalau kamu suka, ya bicara saja sama dia, bilang I love you........ hahahahahaha."

 "Apaan sih. Ihhh kamu nih, lebayy... " Ayu dengan sigap mencubit tangan Dina. "kayakya tidak cocok dengan saya"

Selama ini, diluar aktivitas diskusi, Ayu hanya mampu memandangi Indra dari kejauhan. Bahkan saat ada konsolidasi, Ayu memilih duduk paling sudut. Mereka tidak pernah bicara lama. Melihatnya saja Ayu sudah cukup senang, kadang tertawa sendiri sambil menutup mulutnya dengan tangan.

"Cocok atau tida cocok itu bukan soal fisik atau kecerdasan dan lain-lain. Tapi, soal cinta. Cinta itu kan dua hati satu debaran, dua jantung satu denyutan. Itu lah yang dimaksud dengan kecocokan" Jelas Dina.

"Wiihhhh..... tumben bijak? Copy paste dari mana kata-kata itu"

"om google." Dina tertawa lepas, selepas lepasnya.

"Hmmmmmm" Ayu tersenyum.

***

Sekretariat LIKRA mulai ramai perdebatan. Beberapa pengurus dan kader beradu argumen tentang isi pidato itu. Wanto seorang Sekretaris Umum LIKRA memiliki pandangan berbeda dengan Indra. Wanto adalah mahasiswa fakultas hukum. Sebagai mahasiswa hukum, ia memandang harus dilakuka proses hukum terhadap kata yang sudah diucapkannya dalam acara kenegaraan. Sementara Indra menanggapi pidato ini hanya tong kosong nyaring bunyinya.

Bendahara Umum, Fatimah menyangkal kata itu sangat bertentangan dengan sejarah. Sejak lama, bangsa ini terlepas dari kata pribumi. Meskipun ada kolonialisme gaya baru, kata pribumi sudah tidak ada lagi.  

"Saya tidak sepakat pak ketua. Anis memang sudah melanggar, ini jelas sangat bertentangan dengan kondisi hari ini, tidak ada pribumi" tegas Fatimah disela-sela perdebatan Indra dan Wanto.

Namun, Indra tetap berkeras ini hanya bualan saja dan tidak laku lagi dijadikan isu perlawanan. Sosok Indra memang dikenal keras mempertahankan pemikirannya. Bukan berarti tanpa dasar yang kuat.

"Jika kita hidup di masa era kolonial berkuasa, mungkin pribumi ini laku dijadikan isu perlawanan. Tapi sekarang bisa? Ini tidak masuk akal. Maka dari itu, kata pribumi ini hanya kelakarnya saja," tegas Indra.

Disela-sela perdebatan, Ayu selaku ketua Korps Gerakan Perempuan berkomentar, bahwa adanya kata pribumi adalah sebuah rekayasa untuk memancing perdebatan banyak orang. Kalau diterlusuri, memang ada benarnya. Banyak orang menyamai efek pidato Anis dangan Ahok. Meski berbeda isi, tapi efeknya terasa hingga keseluruh wilayah indonesia. Tampak komentar sangat beragam.

"Pencitraan, ini kata yang cocok untuk Anis. Karena kualitas kerjanya kalah jauh dengan Ahok, Anis harus mencari cara agar ia juga bisa dipandang lebih dari Ahok, makanya ia berkelakar," jelas Ayu.

Hari makin senjar, diskusipun belum kunjung usai. Perdebatan mereka tidak menemui titik temu, baik Fatimah, Wanto, Indra dan Ayu sama-sama masih mempertahankan argumen mereka. Akhirnya, diskusi ini pun dihentikan sementara waktu menunggu perkembangan media selanjutnya. Apakah efeknya benar-benar menggelar ataukah Anis  sekadar berkelakar.

"Media masih mengawal pemberitaan ini, medsos masih terus bersuara tentang pidato Gubernur itu. Jadi, kita lihat saja nanti, bagaimana perkembangan selanjutnya. Jelasnya akhirnya nanti kita akan duduk bersama berdiksui dengan tenang dan tarik kesimpulan" Indra menutup diskusi dengan bijak.

Beberapa kader dan pengurus pun pulang ke rumah masing-masing. Sedang Wanto dan beberapa kader lainnya masih tampak asik bercengkerama. Sedang Ayu masih sibuk didapur sekretariat. Karena hanya tinggal satu kader perempuan yang sibuk didapur, Ayu berdiri menuju dapur. Rasa malu yang tumbuh subur sejak pagi, belum juga hilang. Masih seperti baisa, Ayu mengampil kesempatan mengintip Indra dibaliik pintu dapur. Dari ruangan tengah, terlihat jelas dari dapur. Agar tidak ketahuan, Ayu sekali-kali mengintip Indra.

"Mba Ayu, kalau serius dekati. Kalau tidak, ya jangan gitu bu, ntar pinggang sakit lho, susah tidur, galau, gegana" nasehat Asma sambil mencuci gelas kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun