Mohon tunggu...
DTMC Articles
DTMC Articles Mohon Tunggu... Mahasiswa - Our Vision, We Will Rise Up

Tempat kreator Decagon Twins Media menulis opini, artikel, dll. Pernah menulis opini di Kompasiana dengan akun Rafif2020. Sebelumnya artikel ini diberi nama Rafif Hamdillah Official. Tulisan sebelumnya yang pernah dibuat : https://www.kompasiana.com/rafif20206799/621ac9103179497f34707635/ada-apa-sebenarnya-di-media-sosial-kita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Perempuan yang Kuat dan Hebat

6 November 2023   13:09 Diperbarui: 6 November 2023   13:15 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam minggu itu Ibu baru saja pulang dari toko bunga (florist) tempat beliau bekerja. Otot-otot Ibu ingin merasakan empuknya sofa dan mata Ibu merindukan majalah kesukaan beliau. Tatkala relaksasi akan dimulai, tiba-tiba lagu rintihan dan sesenggukan terdengar dari arah pintu kamar. Liriknya hanya, "Huuaaa........hiks.......hiks.....!" namun durasinya entah kapan bisa selesai.  Ibu mengenali suara khas itu dan secara diam-diam beliau menelusuri lokasi kejadian. Dengan hati-hati tangan beliau memegang gagang kayu yang telah bertahun-tahun diputar dan didorong silih berganti.

Ketika celah pintu sedikit melebar, terlihat ada seorang gadis yang sedang memeluk erat bantal gulingnya. Jilbab putih yang sepengetahuan Ibu telah disandang sejak tadi pagi belum berpindah tempat. Seragam olahraganya pun juga seakan multifungsi menjadi piyama. Terlihat juga sajadah yang tidak terbentang rapi dan mukena yang tergeletak begitu saja. Benar dugaan Ibu, putri keduanya sedang bersedih hati. Ada apa gerangan? Rasa heran semakin menyentuh kalbu Ibu yang hampir saja dikabulkan hasratnya untuk beristirahat.    

 "Ibu!" sorak si bungsu tiba-tiba mengagetkan Ibu. Hampir saja berteriak, namun Ibu mampu menguasai keadaan agar misi beliau tidak gagal. Sambil berbisik, Ibu berujar, "Ananda, jangan berteriak ya. Nanti Ibu bisa ketahuan." "Ada apa, Bu?" tanya si bungsu. "Ibu dengar kakakmu sedang menangis." jawab Ibu. "Ya, Bu. Dari tadi sore Kakak menangis. Adek kurang mengerti alasannya, Bu. Bahkan Kakak belum makan malam." sahut si bungsu. "Belum makan malam?" tanya Ibu kaget. Spontan Ibu menyiapkan makanan kemudian kembali ke lokasi pengintaian. Kaki beliau berjinjit sambil membuka gagang pintu sepelan mungkin. Pada saat yang tepat, Ibu dan si bungsu mencoba mendekati si pemilik kamar.

 "Ananda sayang, tolong makan sedikit dulu ya" kata Ibu. "Ya, Kaq. Tolong makan dulu Kaq. Nanti Kakak lemas loh!" sahut si bungsu manja. Namun hanya bunyi "hiks.....hiks" yang menyahut, diiringi gelengan kepala yang pelan. Ibu tidak langsung menyerah dan meminta hal yang sama, makan malam walau pun hanya sesuap nasi dan sepotong ayam goreng. Setelah sekian kali sempat gagal, akhirnya "si sedih" pun berhasil dibujuk. Ibu tetap menemaninya hingga selesai makan tanpa membicarakan sedikit pun apa yang sedang terjadi. Maklum, di tengah kondisi yang kurang kondusif orang sesabar Ibu harus menyikapinya dengan tenang.

Keesokan harinya, setelah sarapan Ibu kembali menyambangi kamar putrinya. Mata beliau yang teduh lagi-lagi memandang wajah buah hatinya yang sembab. Dalam relung hati beliau ada perasaan iba bercampur heran ditambah kontak batin yang begitu kuat. Beliau memang sedih, namun jiwa dan tanggung jawab sebagai seorang Ibu mendorongnya untuk berempati.          

 "Ananda, bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Ibu dengan nada penuh kecemasan namun tenang. "Sudah mendingan, Bu. Ananda kuat kok." jawab Izzah, anak perempuan yang sendu sejak kemarin. "Ibu penasaran denganmu. Ada apa gerangan sehingga air mukamu pucat pasi?" tanya Ibu lagi perlahan. "Ananda ingin tenangkan diri dulu, Bu." sahut Izzah lemas. "Iya, Nak.  Namun mungkin Ananda bisa curhat sama Ibu. Insyaallah Ibu dengar kok." kata Ibu meyakinkan.

Setelah suasana mulai tenang, Izzah mulai bertanya dengan ibunya."Bu......." lirihnya seperti menahan sesuatu. "Iya, nak." jawab Ibu. 

"Mengapa saya jadi perempuan, Bu? Apa salah saya kalau jadi perempuan, Bu?" kata Izzah lemas.

            Syahdan, jantung Ibu yang tadinya setenang nyiur yang melambai langsung berpacu bagai dikejar siput. Seketika raut wajah Ibu berubah keheranan, namun dengan "skill" kesabaran yang "powerful" beliau menghela napas sejenak sambil berpikir. Tumben putrinya mengutarakan pertanyaan yang seolah-olah asing walau pun lumrah bagi orang yang sedang mencari tahu hakikat hidup.

            "Lho, harusnya Ananda bersyukur jadi perempuan. Emangnya kenapa, Nak? Ada masalah jika Ananda jadi perempuan? Apakah Ananda.... emm... kurang sanggup menjaga adikmu? Apakah kakakmu berulah? Atau karena apa, Ananda?" tanya Ibu yang tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. "Bukan, Bu. Ce...ceritanya...... begini, Bu" sanggah Izzah dengan sayu. Perlahan-lahan Izzah mulai bercerita tentang kejadiannya kemarin sambil dibelai ibunya.

***

            Nama panjangnya Mumtaza Rahmatul Izzah, siswi salah satu SMA favorit di kotanya. Dia adalah anak perempuan kedua dari lima bersaudara. Kakaknya (Sari) adalah seorang mahasiswi Universitas Islam Negeri Barokatul-Amin  jurusan ekonomi syariahIa memiliki adik kembar bernama Zaki dan Zikri . Saat ini keduanya aktif belajar di SMP. Ada pun si bungsu Majid masih tergolong awal memasuki dunia pendidikan dasar. Sejak kakaknya mulai menimba ilmu di UIN, dia bertanggung jawab mengasuh adik-adiknya bersama Ayah dan Ibu.

            Sejak kecil ia dikenal pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, perpustakaan atau sesekali membantu ibunya memasak, alih-alih bereuforia di luar rumah. Walau pun demikian dalam pergaulannya sehari-hari (terutama di sekolah) ia ramah dan senang berteman dengan sesama remaja perempuan. Terkadang ia juga mengobrol santai seputar aktivitas hingga kajian agama dengan kelompok kecil temannya. Tak heran jika teman-temannya lebih mengenal sosok Izzah sebagai akhawat yang hangat daripada seorang introver.

Izzah memiliki dua orang teman yang sangat setia kepadanya. Ada Reni yang suka bercanda dan bikin teman lain menepuk jidat. Ada pula Nurul Ilmi yang juga seorang kutu buku seperti Izzah. Di sekolah, mereka selalu meraih prestasi dan menjadi panutan bagi teman-teman sebaya. Guru-guru juga menaruh kepercayaan kepada mereka jika ada tugas, lomba dan kegiatan lain yang cocok dengan potensi mereka.

***

            Sabtu siang seperti biasa "trio muslimah" pulang sekolah sambil menikmati suasana. Mereka telah janjian untuk pulang bersama karena kebetulan arah markas huniannya sama. Canda renyah namun ada sisipan unsur religi dan motivasi pun tidak absen dari kegiatan melepas penat, khasnya perempuan.

            Namun di saat hendak melangkah ke persimpangan jalan protokol, tiba-tiba mereka dicegat segerombolan anak jalanan berkuda besi. Dilihat dari desain yang tidak sesuai standar, sepertinya mereka akan mengadakan balapan liar. Iseng-iseng Brenzy (nama samaran), salah satu dari gerombolan itu mencoba mendekati Izzah. "Eh, eh. Kalian mau ke mana? Sini biar aku yang antar." tanya Brenzy pura-pura sopan. "Maaf, kami bisa jalan sendiri!" tegas Izzah . "Apakah tidak lelah kalau jalan kaki? Gadis seperti kalian tidak boleh jalan kaki sendiri. Harus ada lelaki yang menemani. Kasihan kalau menjomlo 'kan?" sinis Brenzy. "Ya, harus ada lelaki yang menemani, tetapi harusnya ya keluarga kami, saudara kami. Harus sama mahram kami." tegas Izzah sambil menunduk.

 "Oh, begitu ya, Ustazah. Di zaman sekarang  itu tidak boleh  begitu amat. Kalian cobalah hidup bebas seperti kami, mabuk-mabukan atau berjudi sesuka hati. Bukan yang sok sopan seperti kalian. Idiiiih!" hina Brenzy. "Ya, betul. Cewek seperti kalian sulit mendapatkan pacar kalau masih begitu. Hanya mementingkan urusannya sendiri, pikirannya agama melulu, terkekang budaya sopan santun. Sangat kaku lah pokoknya." ejek Goblin (nama samaran), anak nakal yang lain. "Kalau hidup bebas mah, aman! Bahkan kalian tidak perlu sekolah. Itu hanya menghabiskan waktu kalian untuk bersenang-senang. Paling ujung-ujungnya kalian cuma jadi pengasuh bayi." tambah Goblin.

"Cukup!" spontan seruan Izzah keluar dari balik maskernya. "Terima kasih atas ceramah kalian. Tetapi pintu hati kami hanya terbuka untuk kebenaran, bukan kebatilan. Kalian boleh mengejek kami, menginjak-injak harga diri kami, cengengesan di hadapan kami, tetapi tolong ketuk pintu hati kalian!" lanjutnya. "Ya, betul. Pokoknya kalian jangan ajak kami untuk bermaksiat. Niat kami hanya untuk pulang ke rumah!" bela Nurul Ilmi. "Sekali lagi berkata begitu dengan kami, kalian akan menyesal atau kami panggil polisi! Permisi!" ancam Izzah kemudian menunduk dan ingin berlalu. Baru saja Izzah dan teman-teman hendak melangkah, Brenzy kembali menghadang bahkan nyaris menarik paksa.

 "Eh, eh, eh! Bukannya mau diajak malah pergi begitu saja. Kalian harus ikut bersama kami!" paksa Brenzy. "Ya, kapan lagi mau nikmatin hidup bebas? Jika kalian mau, kita bisa makan-makan, balapan, ke mana saja berbarengan. Naif banget sih kalian!"  goda Goblin. "Tidak mau!" tolak Nurul Ilmi dengan tatapan kilat. Goblin yang naik pitam langsung mendorong Nurul Ilmi hingga terjatuh.

            "Izzah, kalau kita ikut saja bagaimana?" tanya Reni berpura-pura namun tidak tega melihat sahabatnya dijahati. "Astaghfirullah! Jangan begitu, dong! Kita harus pertahankan kehormatan kita!" tukas Izzah. "Heh, keras kepala banget, sih! Jadi cewek jangan terkekang begitu lah! Pokoknya kalian harus ikut keluyuran atau kami tidak segan-segan........" ejek Goblin. "Justru kalian yang di kekang hawa nafsu kalian sendiri! Kalian hanya pandai mengganggu cewek! Ih, sebal!" potong Reni meluapkan amarahnya.

            Tiba-tiba, ada wanita paruh baya yang datang menghampiri mereka dari kejauhan.  "Eh, eh, eh. Ini ada apa, ya? Oh, ada yang sedang pacaran?" tanya ibu tersebut. "Demi Allah, Bu! Kami tidak pernah pacaran!" bantah Izzah yang mulai menangis. "Bohong, Bu! Bohong! Tadi  dia berpegangan dengan kawan saya. Mereka suka main laki-laki, Bu!" hasut Dento (nama samaran), teman si Goblin. "Keterlaluan kamu, ya! Bagaimana sih menjadi cewek? Harusnya punya rasa malu, dong! Kamu anak sekolahan tetapi kelakuannya begitu!" ujar ibu tersebut.

            "Itu tidak benar, Bu! Mohon, Bu. Percayalah sama saya!" pinta Izzah. "Bohong! Mereka bahkan mengajak kami pesta dunia malam, Bu!" hasut Dento. "Tidak, Bu! Huuuu...... percayalah dengan saya, Bu!" bantah Izzah lagi sambil terisak. "Halah! Lebih baik mengaku saja. Kita mau makan malam, 'kan?" tukas Brenzy sambil mengedipkan mata. Namun tidak ada seorang pun yang mengiyakan.

            Segera keributan tersebut didengar oleh warga yang kebetulan sedang melintas. "Ibu-ibu! Saya melihat ada anak sekolahan yang kelakuannya kurang ajar dengan anak laki-laki. Mereka tidak punya rasa malu!" dengan bangganya wanita yang ikut campur tadi membeberkan isu. "Ah, masa! 'Kan di sekolah mereka diajarkan budi pekerti. Saya kira ini kesalahpahaman. Tadi saya dengar sendiri mereka bertengkar saat lewat sini." bantah salah satu warga.  "Iya. Ibu ada bukti, tidak?" tanya warga lain.

Agar meyakinkan warga, tiba-tiba Dento menarik tangan Nurul Ilmi untuk dibonceng ke sepeda motornya. "Tuh, 'kan? Kalian lihat sendiri, dia mau-mau saja diajak. Tandanya ada sesuatu yang mencurigakan! Ibu-ibu harus waspada kalau melihat anak yang tabiatnya begitu." hasut wanita pengikut campur. "Itu semua tidak benar, Bu, Pak! Percayailah kami, Bu!" bantah Izzah terisak.

 "Halah! Mana ada maling yang mengaku maling?" cibir warga yang percaya dengan isu tersebut. "Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Nanti kalau ada kejadian yang tidak diinginkan kita yang malu. Kita yang repot!" sahut warga lain. "Tetapi 'kan belum ada bukti yang kuat, toh!" bantah warga yang tetap tidak percaya. "Mana mungkin mereka melakukan perbuatan nista. Mereka anak sekolahan, terpelajar, pakaiannya pun sopan. Kita tidak bisa menuduhnya serampangan." sambungnya. "Heh, bisa saja mereka bersandiwara, membuat-buat seolah-olah tidak bersalah. Padahal 'kan salah mereka menggoda laki-laki." tukas wanita penghasut itu.

            "Tidak, Bu! Ibu tega menuduh kami. Kami tidak mungkin begitu, Bu." sekali lagi Izzah membantah. "Plak! Bukannya mengaku malah berani ketus dengan saya. Dasar kurang ajar!" tampar wanita penghasut.  "Bu, mengapa kalau 'yang begini' selalu perempuan yang disalahkan, Bu? Demi Allah! Hiks.....hiks. Kami tidak pernah bermaksiat dengan anak laki-laki, Bu! Hiks....hiks. Teganya Ibu mem......." bela Izzah. Plak! Sekali lagi telapak tangan wanita penghasut melayang ke pipi Izzah. Teman-temannya pun ikut jadi sasaran. Spontan Izzah berlari tersedu-sedu dan menepi di halte.

            "Zah, jangan melawan ibu itu. Lebih baik diam saja. Allah pasti melindungi kita." bisik Reni yang menyusul Izzah. "Hiks....hiks.... Tetapi, 'kan?" kata Izzah. "Iya, tetapi kita harus tenang." bisik Reni lagi. "Kamu yang sabar, ya!" hibur Nurul Ilmi sambil berbisik. "Ini ujian untuk kita." sahut Reni. Mereka pun saling merangkul dengan cucuran air mata yang tidak terbendung lagi.

            Di saat situasi semakin kurang kondusif, dari belakang kerumunan muncullah seorang ustaz yang berseru dengan lantang, "Hai 'bocah-bocah' yang ada di situ! Kalau berani mengganggu anak perempuan saya akan buat perhitungan kalkulus dengan kalian! Kalian telah melampaui batas!" Namun Brenzy dan wanita penghasut tertawa sinis, "Eh,eh,eh, ada orang alim lagi, nih. Bisa-bisanya membela orang lemah seperti mereka. Hahaha!"

Plak! Satu tamparan bonus mendarat di pelipis Brenzy. "Kalian yang lemah! Kalian dengan mudahnya ditipu nafsu syahwat dan malah menuduh orang yang baik-baik seperti mereka. Kalian juga membuat orang lain merendahkan martabat perempuan." tegas Pak Ustaz.

            Secara mengejutkan mobil polisi datang dan langsung mengamankan para pengacau itu. Brenzy sempat mencoba kabur namun dengan siasat Pak Ustaz dan beberapa orang warga ia berhasil disambar elang bertopi cokelat. Sementara itu seorang polisi wanita mengamankan Izzah, Reni dan Nurul Ilmi ke warung terdekat untuk mencoba menenangkan. Di sana ada Pak Tonie, guru Bimbingan Konseling yang juga tersentak mendengar kabar yang dialami siswi-siswinya.

Kembali ke TKP, Pak Ustaz menyampaikan klarifikasi untuk memutus mata rantai gibah. Beliau juga menunjukkan rekaman asli kejadian tadi yang diambilnya diam-diam. 

"Ibu-ibu dan bapak-bapak yang ada di sini, saya mohon maaf namun jangan mudah terprovokasi tanpa menyelidiki terlebih dahulu kebenarannya. Biar saya yang meluruskan. Tadi saya bersama istri sedang mengendarai mobil menuju Islamic Centre. Namun saat melintasi jalan ini saya lihat bocah-bocah kurang ajar tadi mengganggu anak SMA yang mau pulang sekolah. Mereka yang "main kasar" dengan anak perempuan. Saat kalian berkerumun, saya telah menelepon Polsek setempat untuk mengamankan keadaan. Sekarang saya minta Bapak dan Ibu untuk meminta maaf dan tolong bubarkan keramaian ini." jelas Pak Ustaz.

Akhirnya massa bersedia meminta maaf dan mengakui kesalahannya kepada tiga sahabat yang terlihat trauma.

Ketika kondisi normal kembali, Pak Ustaz menemui Bu Polwan, Pak Tonie dan trio muslimah SMA. "Bagaimana, Nak? Apakah kalian baik-baik saja?" tanya Pak Ustaz. "Mohon maaf, Pak Ustaz. Kami begitu trauma dengan perlakuan preman dan ibu tadi, Pak Ustaz." jawab Reni. "Semoga Allah merahmati dan melindungi kalian. Kalian sebagai perempuan harus bisa menjaga diri. Pelihara diri kalian agar tidak mudah diganggu, dihina dan dianiaya seperti tadi, ya." pesan Pak Ustaz. "Baik, Pak Ustaz." ungkap Nurul Ilmi dan Izzah bersedih.

 "Baik kalau begitu, tolong tunjukkan di mana rumah kalian. Insyaallah Bapak dan istri bersedia mengantar kalian pulang. Oh, iya, saya mohon maaf karena tidak sempat menolong kalian lebih awal." tawar Pak Ustaz. "Terima kasih, Pak Ustaz!" ungkap Nurul Ilmi. "Terima kasih atas pertolongannya, Pak Ustaz dan Bu Polwan. Siswi teladan seperti mereka sangat kami khawatirkan keselamatannya." pungkas Pak Tonie ikut berterima kasih. "Sama-sama. Sudah menjadi tugas kami untuk mengayomi masyarakat dan anak-anak." sahut Bu Polwan.

Akhirnya gajah besi berplat hitam menyusuri jalan pulang ke kos dan rumah trio muslimah. Izzah sendiri dibimbing istri Pak Ustaz masuk rumah saat telah sampai karena sangat pucat pasi. "Nak, mohon maaf Tante hanya bisa membimbing Ananda sampai di sini (kamar) karena kami harus segera ke Islamic Centre. Ananda harus beristirahat, ya. Semoga kamu cepat pulih." ucap istri Pak Ustaz begitu sampai di kamar. Izzah hanya sanggup berterima kasih dan berpamitan dengan sosok baik tersebut.  Setelah Pak Ustaz pulang ia memutuskan untuk beribadah dan beristirahat dalam keadaan berderai air mata.

***

            Izzah mengakhiri ceritanya dengan tersedu-sedu. Rasa traumanya begitu berat dan belum pernah terbayangkan sebelumnya. Saking dalamnya luka batin yang tak terperi, lembaran tisu dan sapu tangan yang tak berdosa menjadi tempat pelampiasannya. Namun tidak mungkin semua harapan hidupnya hanya berakhir di atas kasur yang seempuk temannya (bantal guling) tempat menumpahkan rasa getir dan pahit. Semua itu hanya dapat disadari oleh orang yang masih memiliki rasa empati dan hati nurani yang sejati. Salah satu sosok itu adalah Ibu.

            Perlahan, getaran resonansi yang tenang mulai masuk ke telinga penggelut lara itu, "Ananda tersayang, Dikau masih mendengar suara Ibu 'kan?". "Hiks...... hiks...... masih, Bu. Saya rindu suara Ibu." jawab Izzah. "Ananda, pejamlah kedua matamu. Dengarkan Ibu dengan tenang, namun jangan tertidur." pesan Ibu sebelum memulai. "Iya, Ibu. Saya dengar. Hiks!" sahut Izzah masih terisak.

            "Ananda, siapa wanita hebat yang selalu menyertai hidup Ananda?" tanya Ibu. "Ibu..... Ibu....." jawab Izzah lirih. 

"Ya, benar. Ibu. Ananda, Ibu adalah satu dari miliaran perempuan hebat di seluruh dunia. Dari sebelum Ananda dan kakak adikmu lahir ke dunia, Ibu ingin buktikan bahwa Ibu adalah orang yang hebat. Perjuangan Ibu berat, Nak, namun dengan izin Allah Ibu sanggup.........." 

kata Ibu yang mulai meneteskan air matanya, membayangkan lembar kisah dahulu.

            "Ibu sanggup menyediakan 'kamar VIP' untuk anak-anak Ibu hingga lahir. Ibu juga sanggup bertahan agar suara pertama anak-anak Ibu bisa Ibu dengar sendiri. Ibu juga sanggup membesarkan kalian hingga sekarang. Coba bayangkan kalau Ibu menyerah, Ananda." 

sambung Ibu. Air terjun kembali meluncur deras dari lentik mata mereka.

 "Ibu bersyukur, Nak, dapat menjadi sosok yang hebat dalam hidup Ibu sendiri dan juga hidup Ananda. Ibu yakin, Ananda juga kuat seperti Ibu. Ananda mungkin bersedih hati, namun justru kamu berhasil menunjukkan kehebatan Ananda kepada Ibu. Ananda mampu menjaga diri baik-baik, menjaga kemuliaan dan kehormatan yang nilainya mahal sekali. Salah satu tanda perempuan yang hebat, Ananda, adalah mereka yang tahu kodrat dan fitrahnya." nasihat Ibu.

            "Tapi, Bu. Ananda sudah tidak kuat lagi, Bu. Ananda selalu disalahkan mereka (semua orang yang mencelanya), Bu." keluh Izzah. "Ananda pasti bisa, Nak. Ananda pasti kuat seperti Ibu. Ibu yakin fitnah yang ditujukan kepada kamu itu tidak benar. Lalu Ananda seharusnya bersyukur. Kamu jadi perempuan, mesti ada alasannya. Kamu tahu 'kan, dalam agama kita perempuan itu istimewa. Kelak Ananda dapat merasakan bagaimana menjadi sosok nisa yang sejati" yakin Ibu. Izzah hanya bisa terdiam sambil merenungi nasihat-nasihat berharga dari Ibu.

            "Baik, Bu. Saya ingin bisa sekuat Ibu. Saya janji akan menjadi perempuan hebat seperti harapan Ibu." takzim Izzah. "Iya, Nak. Sekarang, Ananda tenangkan diri dulu. Ananda butuh istirahat. Kalau rasanya sudah pulih, Ananda tahu 'kan apa yang harus dilakukan kepada Rabb Yang Mahasejati?" saran Ibu. "Iya, Bu. Terima kasih." sahut Izzah dan langsung mendaratkan diri bersama "sehelai kain mahkota" yang melekat di kepala dan "teman tangisnya" di atas kasur yang nyaman. Ibu membentangkan selimut dan mengecup putrinya tanda kasih sayang.

***

            "Mumtazah, Izzah! Bangun, Nak. Ada yang ingin bertemu denganmu." suara Ayah membangunkan Izzah. "Ya, Kak. Ada yang datang." sahut Zaki dan Zikri (adik kembar Izzah) serempak. Ketika terbangun, Izzah melihat Ayah, Ibu dan adik-adiknya duduk di hadapannya. Selain itu ada juga  seseorang yang mengenakan hijab biru dan orang baru yang belum dikenalnya. Matanya yang hampir terbuka walau sembab langsung mengenali sosok itu.

            "Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ukhti?" tanya Reni, perempuan sebaya itu. "Emm...... Alhamdulillah sudah mulai membaik, Ren. Tadi aku sudah curhat dengan Ibu." jawab Izzah. Terlihat Ibu dengan refleks berkelit. "Oh, begitu. Lalu apa kata Ibumu, Ukh?" tanya Reni lagi. "Banyak nasihat dari beliau. Insyaallah kapan-kapan aku ceritakan. Mungkin kamu akan terharu juga." jawab Izzah. Ibu jadi tersipu malu.

            "Oh, ya. Aku membawakan makanan ini untukmu. Semalaman setelah kejadian yang kemarin itu aku selalu memikirkanmu dan si Nurul. Aku cemas. Semoga kamu cepat membaik ya, Ukh!" kata Reni sambil menyuguhkan bawaannya. Refleks air mata Izzah mulai menetes. Tak disangka ada juga yang ingin menghiburnya setelah Ibu, Ayah dan adik-adiknya. Izzah berterima kasih atas pemberian tersebut.

            "Oh, iya!" kata Izzah dengan alis kiri naik sedikit. "Itu, yang bercadar di sampingmu...... si....siapa?" tanyanya. "Yang mana? Kok tidak kelihatan?" canda Reni. "Pssttttt, jangan begitu, dong!" bisik orang yang diperhatikan Izzah sejak tadi. "Oh, iya. Ini, mungkin dia malu-malu." kata Reni.

"Hihi. Assalamualaikum. Perkenalkan, nama saya Tasya Wardatunnisa . Panggil aja Tasya. Saya siswi madrasah aliyah dan teman akrab dari 'si Iseng' ini. Hihihi" sapa Tasya. "Waalaikumussalam. Salam kenal, Tasya" balas Izzah. "Dari mana kamu tahu tentang saya?" tanyanya. "Saya sudah kenal kamu sejak lama. Sejak awal masuk SMA, si Iseng selalu cerita tentangmu. Katanya kamu orang yang baik, ramah, hangat, suka berbagi ilmu. Kamu juga suka mengingatkan teman-temanmu tentang istimewanya perempuan. Saya jadi terinspirasi denganmu sehingga ingin rasanya berteman denganmu." jelas Tasya.

            "Saya mau kok, berteman denganmu. Bismillah walhamdulillah. Semoga kamu juga senang menjadi sahabat kami." kata Izzah. "Aamiiin. Ini, sejujurnya dari dulu saya telah membelikan buku-buku yang cocok untuk kamu baca. Namun kesempatan baru ada sekarang. Semoga kamu senang membacanya." kata Tasya sambil memberikan buku. Ternyata, buku-bukunya berisi tentang hal yang sangat penting diketahui baik bagi laki-laki mau pun perempuan, yaitu tentang perempuan yang hebat. Ada yang isinya kisah inspiratif perempuan, perempuan dalam Islam dan lain-lain.

            "Masyaallah! Terima kasih banyak, sahabat-sahabatku!" ungkap Izzah haru. "Iya, sama-sama." Jawab Tasya. "Tante bangga dengan kalian. Di saat anak Tante berduka, kalian bersedia meluangkan waktu untuk menghibur. Tante titip pesan ya, sesekali ajak anak Tante mengobrol. Kasihan kalau dia sendirian." pesan Ibu. "Baik, Tante. Kami janji menjadi sahabat terbaik untuknya." takzim Tasya dan Reni hampir kompak. Ayah dan si kembar hanya menyaksikan kemesraan itu dengan tersenyum.

            Sejak saat itu, persahabatan antara Izzah, Reni dan Nurul Ilmi serta teman baru mereka Tasya semakin erat. Setiap ada kesempatan mereka bertemu di taman untuk bercerita banyak hal, tentunya yang sarat nilai-nilai positif walau pun candaan dan obrolan ringan. Namun hebatnya mereka tidak saling menyinggung satu sama lain jika terdapat perbedaan. Bagi trio muslimah tidak masalah jika ada temannya yang suka mengenakan cadar, bahkan menjadi ciri unik tersendiri. Tasya pun juga menerima sahabat-sahabat barunya dengan senang hati.

***

            Bicara tentang hebatnya dan istimewanya perempuan tidak habis untuk dibahas dalam satu naskah, satu film atau pun dalam sehari. Namun kita harus memahami bahwa perempuan sejatinya tidak bisa dipandang hanya sebagai makhluk yang berbeda dari laki-laki secara fisik. Mereka bisa dikenal dari segi hak asasinya, keistimewaannya, kodratnya, karakternya (baik kelebihan mau pun kekurangan), akhlaknya dan lain-lain. Beberapa tanda hebatnya perempuan itu adalah mereka yang bisa menjaga keistimewaannya dengan baik dan mampu membuktikan kualitas hakikinya sebagai seorang manusia. Selain itu mereka juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk mewujudkan cita-cita dan merasakan nikmatnya pendidikan. Sepanjang sejarah banyak sosok-sosok perempuan inspiratif yang bisa diteladani, termasuk yang kemuliaannya tiada tara yakni seorang ibu.

Ditulis oleh : Rafif Hamdillah

30 Mei 2022

====================================================================================================

Cerita ini pernah dimuat dalam sebuah cerpen terbitan Penerbit Parade Kata . Seluruh isi cerpen ini murni karya sendiri dan diperlombakan oleh salah satu tim swasta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun