Akhirnya massa bersedia meminta maaf dan mengakui kesalahannya kepada tiga sahabat yang terlihat trauma.
Ketika kondisi normal kembali, Pak Ustaz menemui Bu Polwan, Pak Tonie dan trio muslimah SMA. "Bagaimana, Nak? Apakah kalian baik-baik saja?" tanya Pak Ustaz. "Mohon maaf, Pak Ustaz. Kami begitu trauma dengan perlakuan preman dan ibu tadi, Pak Ustaz." jawab Reni. "Semoga Allah merahmati dan melindungi kalian. Kalian sebagai perempuan harus bisa menjaga diri. Pelihara diri kalian agar tidak mudah diganggu, dihina dan dianiaya seperti tadi, ya." pesan Pak Ustaz. "Baik, Pak Ustaz." ungkap Nurul Ilmi dan Izzah bersedih.
 "Baik kalau begitu, tolong tunjukkan di mana rumah kalian. Insyaallah Bapak dan istri bersedia mengantar kalian pulang. Oh, iya, saya mohon maaf karena tidak sempat menolong kalian lebih awal." tawar Pak Ustaz. "Terima kasih, Pak Ustaz!" ungkap Nurul Ilmi. "Terima kasih atas pertolongannya, Pak Ustaz dan Bu Polwan. Siswi teladan seperti mereka sangat kami khawatirkan keselamatannya." pungkas Pak Tonie ikut berterima kasih. "Sama-sama. Sudah menjadi tugas kami untuk mengayomi masyarakat dan anak-anak." sahut Bu Polwan.
Akhirnya gajah besi berplat hitam menyusuri jalan pulang ke kos dan rumah trio muslimah. Izzah sendiri dibimbing istri Pak Ustaz masuk rumah saat telah sampai karena sangat pucat pasi. "Nak, mohon maaf Tante hanya bisa membimbing Ananda sampai di sini (kamar) karena kami harus segera ke Islamic Centre. Ananda harus beristirahat, ya. Semoga kamu cepat pulih." ucap istri Pak Ustaz begitu sampai di kamar. Izzah hanya sanggup berterima kasih dan berpamitan dengan sosok baik tersebut. Â Setelah Pak Ustaz pulang ia memutuskan untuk beribadah dan beristirahat dalam keadaan berderai air mata.
***
      Izzah mengakhiri ceritanya dengan tersedu-sedu. Rasa traumanya begitu berat dan belum pernah terbayangkan sebelumnya. Saking dalamnya luka batin yang tak terperi, lembaran tisu dan sapu tangan yang tak berdosa menjadi tempat pelampiasannya. Namun tidak mungkin semua harapan hidupnya hanya berakhir di atas kasur yang seempuk temannya (bantal guling) tempat menumpahkan rasa getir dan pahit. Semua itu hanya dapat disadari oleh orang yang masih memiliki rasa empati dan hati nurani yang sejati. Salah satu sosok itu adalah Ibu.
      Perlahan, getaran resonansi yang tenang mulai masuk ke telinga penggelut lara itu, "Ananda tersayang, Dikau masih mendengar suara Ibu 'kan?". "Hiks...... hiks...... masih, Bu. Saya rindu suara Ibu." jawab Izzah. "Ananda, pejamlah kedua matamu. Dengarkan Ibu dengan tenang, namun jangan tertidur." pesan Ibu sebelum memulai. "Iya, Ibu. Saya dengar. Hiks!" sahut Izzah masih terisak.
      "Ananda, siapa wanita hebat yang selalu menyertai hidup Ananda?" tanya Ibu. "Ibu..... Ibu....." jawab Izzah lirih.Â
"Ya, benar. Ibu. Ananda, Ibu adalah satu dari miliaran perempuan hebat di seluruh dunia. Dari sebelum Ananda dan kakak adikmu lahir ke dunia, Ibu ingin buktikan bahwa Ibu adalah orang yang hebat. Perjuangan Ibu berat, Nak, namun dengan izin Allah Ibu sanggup.........."Â
kata Ibu yang mulai meneteskan air matanya, membayangkan lembar kisah dahulu.
       "Ibu sanggup menyediakan 'kamar VIP' untuk anak-anak Ibu hingga lahir. Ibu juga sanggup bertahan agar suara pertama anak-anak Ibu bisa Ibu dengar sendiri. Ibu juga sanggup membesarkan kalian hingga sekarang. Coba bayangkan kalau Ibu menyerah, Ananda."Â