Mohon tunggu...
Rafif dan Rafi
Rafif dan Rafi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Generasi muda Indonesia

Masih pemula dalam membuat artikel. Generasi muda yang mencoba melek dengan situasi terkini.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ada Apa Sebenarnya di Media Sosial Kita?

27 Februari 2022   07:55 Diperbarui: 27 Februari 2022   09:25 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar postingan Hari Sosial Media Indonesia dari IG @rafifrafi2022

Artikel ini adalah sebuah opini. Isi dari artikel ini tidak dapat dijadikan referensi pendukung. Kebenaran isinya juga belum dapat dipertanggung jawabkan.

Artikel ini penulis awali dengan pertanyaan sederhana,

"Ada apa sih sebenarnya di media sosial kita sekarang?"

Pertanyaan ini mungkin sederhana, namun untuk menjawabnya banyak versi jawaban yang dapat dilontarkan.

***

Ada apa di media sosial kita?

Saat ini bisa dikatakan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pengguna aktif media sosial, apa pun jenisnya, apa pun fiturnya. Sebagai data terbaru, silakan baca referensi berikut yang disadur dari Suara.com.  

Dari data tersebut, terdapat fakta bahwa dari tahun ke tahun pengguna aktif media sosial semakin banyak. Sebenarnya media sosial itu dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan.

Di satu sisi, media sosial yang memiliki fitur direct message (DM) alias chattingan dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi dengan keluarga, guru, dosen, teman, rekan sejawat dan pihak lain. Selain itu sebagaimana fenomena saat ini banyak akun-akun media sosial yang isi kontennya berupa fakta unik, kajian agama, ilmu pengetahuan, sejarah dan lain-lain. Ini merupakan cara yang baik untuk menyebarkan hal-hal positif melalui media teknologi. Konten yang berupa hiburan, lifestyle, motivasi, komedi, olahraga dan lain-lain juga banyak sekali didapatkan dengan mengakses media sosial.

Lalu di mana masalahnya?

Masalahnya terletak pada penggunaan media sosial untuk hal-hal negatif atau cara menggunakannya dengan negatif pula. Jika dihitung-hitung sudah banyak kajian, video, artikel, opini dan penelitian yang membahas tentang dampak negatif penggunaan media sosial ini. Namun di artikel ini terdapat beberapa catatan sisi minus dari penggunaan media sosial di Indonesia menurut sudut pandang penulis.

1. Etika Netizen

Bisa dikatakan bahwa netizen atau warganet saat ini turut memberikan kontribusi dan pengaruh yang besar bahkan bagi jalannya roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Netizen Indonesia sudah menjadi basis kekuatan masif yang memegang andil tersendiri. Ada beberapa frasa yang penulis sematkan untuk netizen kita : kuat, masif, agresif, influence, responsive, sensitive.

Menurut penulis, saat ini ada yang disayangkan dari gelora netizen Indonesia tersebut. Sebagian kelompok netizen -entah dari mana latar belakangnya- memiliki karakteristik yang cenderung mengomentari sebuah konten dengan kritik, hujatan, kecaman, olok-olokan, sindiran, sarkasme dan yang sejenis.

Berarti kritik dilarang dong?

Ugh........ 

Bukan! Bukan itu maksudnya!

Pada dasarnya kritikan adalah bagian dari proses penilaian. Selama dalam batas wajar dan memerhatikan etika, suatu kritik boleh-boleh saja. Namun dalam konteks saat ini banyak yang mencampurkan kritik dengan kata-kata pedas, kecaman dan sindiran. Akibatnya kata "kritik" sendiri seringkali diasosiasikan dengan hal-hal tersebut.

Di tahun 2021 kemarin berbagai macam polemik tidak terlepas dari kata "kritik". Mural yang dihapus, kritik yang tidak selalu direspons baik hingga tuduhan pihak tertentu antikritik menggoyahkan purisasi demokrasi kita.

Bahkan, sebuah media dari perusahaan berpengaruh internasional sempat menyebut netizen Indonesia sebagai netizen yang paling tidak sopan di Asia Tenggara. Mungkin ada yang mengatakan keramahtamahan Indonesia di dunia nyata berbanding terbalik dengan di dunia maya.

2. Arus Kontroversi

Kontroversi. Dari zaman dahulu kala sejak peradaban manusia bermula hingga saat ini suatu hal bernama kontroversi acap kali terjadi. Kontroversi secara sederhana dapat diartikan terjadinya perselisihan (pro dan kontra) karena berbeda cara pandang dan pemahaman.

Saat ini berkali-kali publik digoyang dengan kontroversi, (menurut frekuensi) dengan frekuensi yang paling sering bergaung dari aspek berikut : politik, SARA, komunikasi, entertainment. [Apakah aspek ekonomi juga menjadi sumber kontroversi?]

Menurut penulis kontroversi setidaknya seringnya dipicu dan didorong hal-hal berikut :

  • Perbedaan cara pandang.
  • Kebijakan dan wacana yang multitafsir.
  • Pihak tertentu yang dinilai tidak konsisten.
  • Menyeret nama-nama atau pihak tertentu yang dikenal luas oleh publik.
  • Publikasi media.
  • Ucapan atau tindakan yang salah dari seseorang.
  • Adanya pihak yang pertama kali mem-viralkan.
  • Suatu isu baru yang belum terverifikasi dan/atau diklarifikasi. Maksudnya terkadang suatu isu belum diketahui jelas kronologi, subjek, objek dan konteksnya.

3. Salah Orientasi Konsumsi Konten

Di awal penulis menyebutkan beberapa konten positif yang patut diisi di media sosial. Pada segmen ini penulis menyinggung tentang orientasi konsumsi konten.

Secara pribadi dan subjektif penulis merasa risih dengan orientasi konsumsi konten yang kurang jelas manfaatnya namun digandrungi publik seperti isu-isu selebriti dan kontroversi politik. Menurut penulis tidak semua "kabar" harus disiarkan ke publik, apalagi yang hanya bertujuan untuk menambah jam tayang. Isu selebriti yang boleh dipublikasikan misalnya kebahagiaan, liburan, tips, motivasi, ulang tahun, karier, pernikahan dll, itu pun harus dengan seizin yang bersangkutan. Beda halnya dengan hal berikut ini yang sangat disayangkan : gosip terbaru selebriti, isu perselingkuhan, persidangan, perceraian, sensasi, pacar, terkadang koleksi barang mahal dan lain sebagainya yang merupakan privasi dan ada sebagian yang merupakan aib. Selain itu (sskali lagi ditekankan) tidak semua jejak kehidupan mereka harus diekspos ke publik dan tidak semua orang nyaman jika keseharian mereka harus selalu diikuti orang lain.

Juga halnya dengan kontroversi politik yang setiap kali beredar selalu memusingkan. Jangankan yang ahli di bidangnya, orang yang awam saja ikut-ikutan merespons kontroversi politik. Namun tidak dapat dipungkiri, di konteks negara demokrasi setiap warga negara memiliki hak untuk berpendapat dan tahu akan kondisi negaranya. Hal ini menjadi sisi positif dari tindakan responsif publik. Justru yang menjadi masalah adalah jika hak tersebut disalahgunakan atau digunakan dengan cara yang tidak sepenuhnya dibenarkan.

4. Perbedaan Cara Pandang

Kontroversi dapat dipicu dari perbedaan cara pandang (perspektif). Sebenarnya mau tidak mau, suka tidak suka perbedaan cara pandang bisa dikatakan merupakan fitrah manusia. Setiap orang memiliki tingkat pemahaman dan cara pandang yang berbeda dengan dorongan dari internal (pikiran, perasaan dsb) dan eksternal (lingkungan, politik, budaya dsb).

Tetapi dengan sejujurnya terkadang kita merasa hal tersebut mengganggu atau membawa stigma lainnya. Terkadang kita tidak sepenuhnya menerima perbedaan yang dimiliki orang lain. Rasa tidak menerima tersebut dapat memicu reaksi negatif seperti apatis, tidak menghargai, skeptis hingga diskriminasi.

Tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama akan maksud sesuatu.

5. Disintegrasi di Media Sosial

Disintegrasi jika diuraikan berawal dari kata "dis" (tidak) dan integrasi (bergabung). Jika integrasi adalah upaya penyatuan dan penggabungan ke dalam suatu aspek (kelompok hingga negara) yang besar, maka disintegrasi adalah sebaliknya. Penulis menemukan fenomena yang sepertinya mengarah ke disintegrasi, terutama yang dipicu faktor politis.

Ketika ada suatu kontestasi politik (sebut saja pemilihan umum), terdapat beberapa kandidat yang masing-masingnya memiliki massa pendukung yang kuat. Bahkan mereka meluncurkan personel-personel yang siap menelurkan "amunisi" untuk berduel dengan massa pendukung kandidat lain. Risikonya adalah adanya persaingan yang tidak sehat!

Masing-masing kelompok memiliki rasa fanatik yang tinggi dan sering kali membawa pandangan yang berbeda-beda. Jika persaingan tidak sehat dipraktikkan, sejumlah aksi dapat dilakukan untuk menjatuhkan kelompok lain seperti adanya buzzer (pendengung), kalimat-kalimat yang menyerang kelompok lain, adanya saling klaim dan masih banyak lagi. Bahkan walau pun kandidatnya sendiri tidak melakukan hal yang demikian!

Risiko akan lebih buruk ketika hasil kontestasi sudah ditemukan. Sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini, tidak semua masyarakat bersedia menerima hasil tersebut. Ketika alur mulai berjalan, terdapat berbagai ketimpangan karena suatu kebijakan tidak selalu sesuai keinginan semua pihak. Sebenarnya sah-sah saja apabila terdapat hal yang tidak sesuai keinginan kemudian diberikan kritik yang membangun dan bersedia bernegosiasi untuk memberikan solusi. Namun banyak yang memilih cara mengecam, sindiran, sarkasme dan hal sejenis yang tidak memberikan solusi. Kehadiran barisan pendengung dan pihak lain yang reaktif (termasuk netizen) pun dapat meningkatkan suhu situasi yang ada.

Disintegrasi merupakan risiko yang dapat terjadi dari hal-hal tersebut. Adanya persoalan-persoalan yang belum beres, ditambah dengan respons yang berbeda akan suatu situasi, tidak semuanya dilakukan dengan cara yang sehat, masih banyaknya praktik korupsi, kriminalitas yang tinggi, persoalan utang negara, konflik intra dan antarkelompok, wacana pembangunan, pemerataan yang minim dan lain sebagainya dikhawatirkan mendorong disintegrasi. Padahal sebagai bangsa yang besar seharusnya persatuan dan kesatuan dapat dijaga. Selain itu hubungan interaksi antara pemerintah dan masyarakat harusnya berjalan harmonis.

6. Isu yang Digoreng

Masih bicara tentang kontroversi, ada beberapa isu yang seharusnya tidak diekspos namun telanjur tersebar luas ke publik. Jika diumpamakan, misalnya ada sebutir permen yang jatuh. Kemudian ada seekor semut yang melihat permen raksasa tersebut dan segera memberitahu semut-semut lain. 

Apakah itu salah?

Di satu sisi tidak juga. Jika mengambil sudut pandang motivasi, ketika ada sumber rezeki di sanalah banyak yang menginginkannya. Ketika ada mata pencaharian yang memiliki prospek menjanjikan tentunya banyak yang menginginkannya. Si semut tidak egois, ia mengundang semut lain untuk menggotong permen tadi untuk dibagikan bersama-sama.

Di sisi lain ada salahnya. Si semut tidak memeriksa terlebih dahulu permen apakah yang jatuh tersebut. Bisa jadi malah bakteri-bakteri telah hinggap terlebih dahulu di sana. Atau bisa jadi permen tersebut tidak ada, hanya ilusi si semut. Atau bisa jadi sebenarnya bukan permen melainkan hanya penghapus, pil obat atau makanan lain yang barang kali tidak manis. Namun karena didorong "rasa ego dan sosial" si semut malah menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.

Tentang isu yang digoreng, semakin banyak pihak yang mendapatkan suatu kabar makin cepat beredarnya. Bahkan berita hoaks sekali pun. Tanpa adanya klarifikasi dan verifikasi, isu yang ada dibiarkan memanaskan suasana yang tadinya aman. Apalagi jika merembes ke hari-hari berikutnya atau kabar lain yang masih melibatkan pihak yang sama.

7. Karakter Sumbu Pendek 

Emosi

Emosi bukan hanya ketika seseorang marah. Emosi secara umum adalah ekspresi yang melibatkan perasaan tertentu. Emosi dapat mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal sesuai yang diingininya.

Sebenarnya penulis baru mengenal istilah "sumbu pendek" beberapa bulan yang lalu. Jika diartikan, sumbu pendek ini sama seperti sumbu lilin atau kompor minyak tanah. Jika ia pendek, saat disulut api ia mudah terbakar.

Sama halnya dengan di media sosial. Sering kali ketika ada isu baru yang muncul dan menyebar di sana muncul hasrat untuk segera memberikan tanggapan (komentar, reaksi dll). Apabila itu sesuai kapasitas dan latar belakang masing-masing maka wajar memberikan respons yang relevan. Namun ketika cepat tersulut emosi (terutama emosi marah) maka respons dapat diberikan tergantung egonya sendiri, walaupun mengandung risiko.

Karakter sumbu pendek dapat menjadikan seseorang terlihat sensitif, respons cepat tanpa pikir panjang, emosional dll. Semua orang dapat berpotensi memiliki karakter ini, namun tidak semua orang dapat mengendalikannya.

8. Hoaks

Hoaks, hoaks, hoaks.

Hoaks (kabar burung, berita palsu) saat ini menjamur di mana-mana. Lagi-lagi, ketika ada isu baru yang tersebar, anehnya mulai muncul juga "makhluk" yang menyebalkan ini. Hoaks dapat menyebar dari satu akun ke akun lain, dari satu grup media sosial ke grup lain, dari satu daerah ke daerah lain bahkan hingga level nasional.

Keberadaan hoaks jelas-jelas meresahkan, apalagi jika narasinya seolah-olah ilmiah, terverifikasi, benar dan meyakinkan. Padahal kebohongan tersisip di dalamnya.

Hoaks yang beredar mengakibatkan kebenaran suatu isu menjadi tidak jelas mana informasi yang benar dan mana yang bohong. Di masa pandemi misalnya, tercatat ada ribuan hoaks telah bersarang bahkan sejak awal kemunculan wabah. Adanya klaim minuman atau rempah tertentu dapat mencegah virus, Indonesia tidak mungkin diserang wabah, virus tidak tahan suhu tropis dan lain-lain menurut penulis dapat menjadi hoaks yang mengakibatkan publik tidak siap menghadapi kenyataan bahwa pandemi juga bisa masuk ke negara tercinta ini.

***

Poin-poin tersebut setidaknya merepresentatifkan fenomena negatif yang sedang terjadi di media sosial, terlepas dari pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Penulis tidak bermaksud memprovokasi, membuat pernyataan kontroversial atau sengaja melakukan sesuatu yang berujung perpecahan. Namun sebagai orang awam yang harus responsif dengan situasi terkini penulis menerbitkan artikel ini dengan penilaian versi pribadi. Penulis juga memohon maaf apabila ada kalimat yang kurang berkenan, terkesan melebihkan atau kurang sesuai kapasitas sebagai publik awam. 

Marilah hendaknya cerdas dalam bermedia sosial. 

Sekali lagi, artikel ini adalah sebuah opini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun