Gambar anak-anak Papua dengan wajah penuh luka atau rumah-rumah yang terbakar sering kali digunakan untuk memancing emosi. Video yang menunjukkan demonstrasi damai dengan bendera Bintang Kejora, terutama yang berlangsung di luar negeri seperti Australia atau Belanda, juga memberikan kesan bahwa perjuangan ini memiliki dukungan global yang signifikan.
Dampak dari visual ini sangat kuat, terutama dalam membentuk opini publik global. Banyak masyarakat internasional yang mulai mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia di Papua setelah melihat gambar atau video tersebut.
Narasi yang dibangun melalui kampanye ini sering kali menarik perhatian organisasi internasional, seperti Amnesty International, dan bahkan memengaruhi pembahasan di parlemen negara-negara asing. Dalam beberapa kasus, tekanan dari opini publik global juga memengaruhi kebijakan luar negeri negara tertentu terhadap Indonesia.
Namun, keberhasilan kampanye visual ini tidak lepas dari fakta bahwa media sosial memungkinkan penyebaran konten secara cepat dan luas. Dalam hitungan jam, sebuah video yang emosional dapat menyebar ke seluruh dunia, mengundang simpati dari audiens yang bahkan tidak memiliki pemahaman mendalam tentang konflik Papua.
Dinamika dalam negeri juga mendapat pengaruh dimana visualisasi dari apa yang diunggah oleh akun akun pro OPM baik di instagram, facebook dan twitter membuat adanya “gesekan” dan eskalasi di social media dan implikasi terhadap massa yang turun ke jalan.
Keakuratan informasi versus propaganda dikaji ketika dibalik kuatnya dampak kampanye visual OPM, muncul pertanyaan tentang keakuratan informasi yang disajikan. Beberapa pihak mengkritik bahwa visual yang digunakan sering kali tidak diverifikasi atau diambil di luar konteks sebenarnya.
Sebagai contoh, beberapa foto yang beredar di media sosial sebagai bukti pelanggaran HAM di Papua ternyata berasal dari konflik di wilayah lain atau bahkan diambil dari peristiwa yang tidak terkait sama sekali.
Isu ini menjadi semakin rumit ketika visual yang digunakan memiliki elemen emosional yang kuat, sehingga mendorong audiens untuk langsung mempercayai narasi yang disampaikan tanpa melakukan verifikasi. Dalam konteks ini, kampanye visual oleh OPM dapat dilihat sebagai bentuk propaganda yang bertujuan menggiring opini publik ke arah tertentu.
Narasi yang dibangun melalui visual ini adalah bahwa pemerintah Indonesia bersikap represif, tidak adil, dan gagal memenuhi hak-hak masyarakat Papua. Sementara itu, pemerintah Indonesia juga berupaya melawan narasi ini dengan menyajikan kontra-narasi melalui media sosial.
Pemerintah sering kali mempublikasikan informasi tentang pembangunan di Papua, seperti infrastruktur dan pendidikan, untuk menunjukkan bahwa perhatian terhadap Papua tetap menjadi prioritas. Namun, kontra-narasi ini sering kali kalah dari kampanye visual OPM, yang memiliki daya tarik emosional lebih kuat.
Perdebatan antara keakuratan informasi dan propaganda menunjukkan kompleksitas kampanye visual dalam konflik Papua. Bagi masyarakat internasional, sulit untuk membedakan antara fakta dan narasi yang dibesar-besarkan, terutama ketika visual yang digunakan menyentuh aspek emosional yang mendalam.