Di forum internasional seperti Pacific Island Forum (PIF). Negara-negara ini sering memberikan dukungan atau menyuarakan kekhawatiran terkait isu-isu HAM di Papua.
Jaringan ini juga mencakup aktivis global yang mendukung gerakan hak asasi manusia, seperti Amnesty International atau Human Rights Watch, yang sering kali memperhatikan isu-isu terkait pelanggaran HAM di Papua.
Dengan adanya dukungan dari kelompok-kelompok ini, narasi yang dibangun oleh OPM mendapat pengakuan dan dukungan moral di tingkat internasional.
Penggunaan media sosial memungkinkan OPM untuk melakukan kampanye digital secara efektif dan mobilisasi dukungan di seluruh dunia.
Mereka sering menggunakan platform seperti Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube untuk menyebarkan informasi, mempublikasikan laporan pelanggaran HAM, dan menggalang dukungan global.
Tagar seperti #FreeWestPapua, #PapuanLivesMatter, dan #SavePapua digunakan untuk mengorganisir kampanye dan aksi protes global yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pendukung di berbagai negara.
Kampanye ini juga memanfaatkan momen-momen tertentu, seperti peringatan hari Papua Barat atau saat terjadi insiden kekerasan, untuk memaksimalkan visibilitas isu Papua.
Pertanyaan besar yang diangkat pada artikel yang disajikan yaitu “Bagaimana kampanye visual di media sosial membentuk opini publik global dan lokal tentang konflik Papua dan memengaruhi kebijakan penyelesaian konflik gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) ?”.
Rumusan masalah yang lahir dapat ditelaah atau dikaji dengan “alat bedah” yang penulis pilih yaitu teori komunikasi visual.
Teori komunikasi visual adalah tindakan komunikasi visual merujuk pada proses menyampaikan informasi atau pesan melalui medium visual yang dapat dilihat oleh mata manusia.
Proses ini melibatkan kombinasi elemen visual yang dirancang untuk menarik perhatian, menyampaikan pesan dengan jelas, dan memengaruhi audiens secara efektif.