Alasannya masih belum terungkap. Namun, hal itu justru memicu penasaran Raven. Mungkin ia mengira sedang meneliti sebuah fenomena menarik seperti yang biasa ia tonton di saluran televisi favoritnya. Aku menjadi sebal ketika mengingat alasan di balik keberadaanku.
Namun semesta tetap membawaku ke kolam ini.
Dimana aku selalu bertemu dengan lelaki misterius itu, dan hampa berjatuhan di sekeliling kami. Bersamanya bukanlah diam yang membuat nyaman, atau ingin memecahkan keheningan. Tetapi jenis diam yang membuat dinding hati terasa kosong dan menggigil. Aku duduk di tepi kolam, hendak mencari ikan mas yang berenang diantara sekelompok ikan koi, Â namun malah dikejutkan oleh sosok asing yang duduk disebelahku.
Aku menoleh dengan raut bingung, hal ini baru. Ia tidak berlaku seperti biasanya. Tetapi ia seakan menganggapku tiada, seperti patung pada dimensi berbeda. Aku terdiam. Menghargai keheningan yang tidak kurasakan sendiri. Namun sebetulnya, aku hanya tidak suka berbasa-basi.Â
Maka kami sama-sama memandang ke arah hutan yang magis, membayangkan apa yang ada di antara celah pepohonan itu. Lalu aku beranjak pergi, ketika matahari pagi sudah muncul menyinari dedaunan.
Keesokkan hari kejadiannya persis sama. Setelah memberikan makan Lao, ia duduk di sampingku tanpa suara. Kami terdiam cukup lama, dan akhirnya ia meruntuhkan sunyi yang terasa seperti berabad-abad. Â Â
"Ikan itu tidak akan mati lagi bukan?" Suaranya terdengar parau, aku hampir tidak percaya ia bisa bicara.
"Aku tidak tahu."
Aku terdiam sejenak dan teringat sesuatu. "Selama ini kau selalu berada di sini, kamu tahu mengapa?"
"Mereka yang memakannya." Ia menunjuk ke arah binatang yang sedang menjilat kakinya tak tahu malu.
"Kucing liar?" Hewan dengan kulit belang itu kabur ke semak-semak begitu identitasnya terungkap. Raven pasti kecewa berat mengetahui fakta ini.