“Dinda, sudah lupakah engkau dengan ceritamu setahun lalu, bahwa engkau akhirnya menerimaku setelah engkau seolah melihatku dalam busana yang serba putih, berjalan lurus tidak sedikitpun menoleh kiri kanan. Dalam jalanku itu, tangan kananku turut menggandeng tangan kirimu.”
“Aku masih ingat mas. Itu tiga tahun silam, ketika suatu siang engkau melamarku. Dua hari sebelumnya aku melihat itu. Untuk itulah aku langsung mengiyakan lamaranmu.”
“Terus kenapa engkau meminta cerai? Apakah kadar cintaku tak lagi sehangat dulu dinda?” Aku mencoba mendekati istriku dengan lebih lembut.
“Tidak mas. Engkau pribadi yang baik. Engkau lelaki yang tak pernah mengayunkan tangannya kepadaku kecuali dengan penuh kelembutan.”
“Lalu, kenapa cerai?”, suaraku menaik.
“Seperti yang aku tanyakan ke mas tadi. Bukankah menurut mas, jika seorang kekasih menginginkan kekasihnya, maka demi cintanya, sang kekasih harus menyatu dengan kekasihnya”. Istriku terisak. Air matanya mulai mengucur deras.
“Betul dindaku. Dan bukankah aku adalah kekasihmu, sebagaimana engkau adalah kekasihku.”
Istriku tersenyum kecil. Hangat terasa. Sepertinya istriku sudah bisa aku dekati lagi. Tatkala aku hendak mendekat, istriku bergumam lirih. Ia berkisah bahwa dalam satu pekan ini, ia melihat pakaian yang aku kenakan sudah tak lagi putih bersih. Katanya, aku memakai kain warna abu-abu dan beberapa kali warna gelap. Baginya itu adalah pertanda, genggaman tanganku sudah harus dilepaskan. Ia tak ingin berkhianat kepada petunjuk Tuhannya.
Aku menduga ia sedang terjebak fatamorgana dalam jalan ekstase ini. Aku mengenal betul ia. Jika ia sudah memegang pendapat, sulit sekali buat melunakkannya. Maka aku tawarkan buat sowan ke kiai Banjari di Babadan. Kiai Banjari merupakan kiai yang mukasyafah.
Tak kuduga, ternyata ia menolaknya.
“Mas, tahu apa sih orang lain terhadap keyakinan hatiku? Apa hak mereka untuk menghakimi keyakinanku? Allah sudah menghamparkan petunjuk kepadaku, aku tak peduli lagi padamu. Aku hanya takut kepada-Nya.” Istriku masih dalam tangisnya.