Istriku hanya menambah senyumnya. Kedua bola matanya memandang merunduk. Setelah satu pekan keluar rumah menjalani hari-hari yang berat, wajah istriku membuatku bahagia. Dan aku tak sabar untuk bersegera mendekatinya.
“Jangan sentuh aku mas. Kumohon.” Istriku perlahan menjauhiku. Mencoba melepaskan sahutan kecil tanganku.
“Kenapa? Bukankah ini ajaran junjungan kita? Aku usai bepergian jauh dan inilah yang dianjurkan Nabi. Hari ini juga bukan siklusmu. Bukankah dinda juga tidak sedang berhalangan?”
“Iya mas. Aku tidak berhalangan. Iya, apa yang kau inginkan adalah juga anjuran Nabi.”
“Lalu, kenapa dindaku? Ada apa sebenarnya?” Aku kian penasaran. Perlahan amarahku merayap ke kepala.
Istriku terus memohon agar aku tak menyentuhnya. Ia mengangsur kakinya sedikit demi sedikit menjauhiku. Semakin aku mendekatinya, ia kian berusaha menjauh.
“Kenapa dinda?”
“Mas, ceraikan aku sekarang!”
Kalimatnya seperti halilintar. Sambarannya menyentak hati keras sekali. Detak jantungku langsung berkejaran.
“Dinda, bukankah selama ini kau tiap hari hanya menginginkan ridhaku? Tidak takutkah engkau dengan ancaman baginda nabi?”
Dalam khazanah kenabian, seorang istri dilarang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas. Istri yang demikian kelak hanya akan menemui neraka di hari kemudian.