Aku terpaku membaca ayat demi ayat al zalzalah itu. “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya. Dan manusia bertanya, mengapa bumi jadi begini?..” Aku tercekat. Tak kuasa meneruskan.
Tut tut tut tut...
Ada satu pesan masuk.
“Salman sudah sampai di rumah? Istrimu ada di sini.” Ternyata ibu mertuaku kirim sms.
Hatiku lega. Perasaan plong menyesaki rongga dada. Syukurlah jika ia memang pulang ke rumah ibunya. Aku tak perlu lagi memelihara rasa kuatir.
Dalam gerimis hujan abu, kujemput ia. Sepanjang perjalanan Yogya benar-benar kusam. Tumbuh-tumbuhan seperti kesakitan menahan beban abu yang menghinggapinya. Banyak pepohonan yang tertunduk lesu. Dan seturut mobilku di jalanan, seolah aku seorang cowboy yang memacu kuda di jalanan berdebu. Jalan kotor sekali. Lapisan abu vulkanik sudah hampir tiga centimeter tingginya.
Istriku kekasihku sudah di sampingku lagi. Istriku kekasihku kini telah berada di rumahku kembali. Betapa aku berbahagia akhirnya.
“Mas, bagaimana menurutmu, jika seorang kekasih menginginkan kekasihnya?” Istriku membuka bicara setelah satu pekan kami berpisah.
“Maka demi cintanya, sang kekasih harus menyatu dengan kekasihnya”
“Jika memang itu jawabmu, aku suka dengan itu.” Istriku mengembangkan senyuman.
“Tentu saja dinda. Bukankah hari-hari seperti ini kita senantiasa menjadikannya sebagai hari yang indah? Yang ada hanya kita berdua.”