Mohon tunggu...
Rachmad Resmiyanto
Rachmad Resmiyanto Mohon Tunggu... -

Saya adalah guru kecil pada sebuah perguruan Muhammadiyah di kota Yogya. Saya bukan siapa-siapa. Tak ada yang istimewa dalam diri saya. Saat ini saya sedang menempuh program pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Gadjah Mada dan bekerja di bidang ekonofisika. Bidang ini merupakan pertemuan antara disiplin ekonomi dan ilmu fisika. Topik tesis saya adalah membuktikan bunga bank sebagai sistem yang destruktif dalam perekonomian dengan fisika. Saya dapat dihubungi melalui surat rachmadresmi [at] yahoo.com. Blog saya ada di http://rachmadesmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nubuwat

27 Juli 2011   04:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:20 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku terpaku membaca ayat demi ayat al zalzalah itu. “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya. Dan manusia bertanya, mengapa bumi jadi begini?..” Aku tercekat. Tak kuasa meneruskan.

Tut tut tut tut...

Ada satu pesan masuk.

“Salman sudah sampai di rumah? Istrimu ada di sini.” Ternyata ibu mertuaku kirim sms.

Hatiku lega. Perasaan plong menyesaki rongga dada. Syukurlah jika ia memang pulang ke rumah ibunya. Aku tak perlu lagi memelihara rasa kuatir.

Dalam gerimis hujan abu, kujemput ia. Sepanjang perjalanan Yogya benar-benar kusam. Tumbuh-tumbuhan seperti kesakitan menahan beban abu yang menghinggapinya. Banyak pepohonan yang tertunduk lesu. Dan seturut mobilku di jalanan, seolah aku seorang cowboy yang memacu kuda di jalanan berdebu. Jalan kotor sekali. Lapisan abu vulkanik sudah hampir tiga centimeter tingginya.

Istriku kekasihku sudah di sampingku lagi. Istriku kekasihku  kini telah berada di rumahku kembali.  Betapa aku berbahagia akhirnya.

“Mas, bagaimana menurutmu, jika seorang kekasih menginginkan kekasihnya?” Istriku membuka bicara setelah satu pekan kami berpisah.

“Maka demi cintanya, sang kekasih harus menyatu dengan kekasihnya”

“Jika memang itu jawabmu, aku suka dengan itu.” Istriku mengembangkan senyuman.

“Tentu saja dinda. Bukankah hari-hari seperti ini kita senantiasa menjadikannya sebagai hari yang indah? Yang ada hanya kita berdua.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun