Pagi ini Yogya nampak tua. Di sudut-sudut kota, debu-debu berhamburan ke segenap penjuru. Mobil-mobil yang merayap di jalanan semuanya kusam kelabu. Rumah-rumah penuh dengan lumuran debu. Gedung-gedung yang menjulang tinggi terasa sepi, tak terawat lagi. Meski pagi ini tak hujan, banyak orang keluar dengan jas hujan. Beberapa yang lain pergi membawa payung. Semua orang di jalan mengunci mulutnya rapat-rapat. Komunikasi cukup dilakukan dengan bahasa isyarat. Suasana kota amat mencekam. Pagi ini Yogya benar-benar nampak begitu tua. Kota yang biasanya penuh tenaga ini, kini telah menjadi sebuah desa tua.
Aku berjalan dalam gegas menuju rumah. Kubersihkan seluruh debu di sekujur tubuh. Saban pulang dari luar kota, istriku selalu dengan hangat menyambutnya. Sesaat sebelum aku mengetuk pintu, ia sudah membukakannya buatku. Sebelum aku sempat mengucap salam padanya, ia telah mendahului bersalam kepadaku. Dan segenap lelahku selama di luar kota langsung menguap tiap kali ia mengembangkan senyum. Tangannya langsung menuntunku menuju perjalanan yang begitu indah. Inilah kebiasaannya sejak kami menikah 3 tahun silam.
Tapi, pagi ini berbeda. Aku sama sekali tidak mendapati itu lagi. Sudah kususuri seluruh petak dalam rumah kecilku. Tak ada pesan di meja. Tak ada secarik kertas di kasur. Tak ada kabar di kotak masuk sms. Nomor dia juga tidak aktif.
Selama ini, jika istriku pergi, ia akan selalu meninggalkan pesan. Kadang di meja makan, sesekali ditaruh di kasur. Buat urusan pesan, ia jarang menggunakan HP. Baginya, HP itu hanya mengganggu kenyamanan hidup. Ia lebih percaya pada kekuatan hati. Ia sangat perasa. Ini tak menunjukkan ia perempuan cengeng, mudah tersinggung atau suka kalap dalam segala jenis peristiwa. Tidak.
Satu kali, mendadak ibu dan bapak mampir ke rumah kami. Benar-benar dadakan. Tak ada sedikitpun kabar lewat sms atau telpun. Hari itu, istriku masak besar. Aku sempat cari tahu kepadanya. Ia hanya menggeleng, sedikit bersuara bahwa tiba-tiba ia ingin masak besar saja. Bukankah tidak setiap tindakan perlu alasan yang rasional?
Aku hanya bisa menggerutu kecil. Serumah cuma kami berdua. Kalau sampai ada makanan yang sisa, maka itu namanya kufur nikmat. Dan jika sudah begitu, ia dengan memelas mohon maaf, memintaku buat menarik ucapannya.
Istriku tak ingin sedikitpun aku marah. Ia sangat takut jika sewaktu-waktu ruhnya dicabut dari jasad dalam keadaan aku marah. Katanya, tiap hari yang selalu dicari ialah hanya ridhaku. Seperti yang sering disampaikan asatidz, ketika seorang perempuan sudah bersuami, maka surga neraka dia sangat bergantung pada ridha suami.
Dan hari itu, masakan yang banyak itu memang dipersembahkan buat ibuku. Tak ada sisa. Aku juga heran bagaimana ini terjadi. Semua tanpa ada berita bahwa ibu dan bapak akan mampir ke rumah.
Di mana istriku sekarang?
Aku terus berpikir mencari jawabnya, menghitung segala kementakan. Tidak mungkin ia sedang berada di rumah Mutia. Tadi aku lewat depan rumahnya, terlihat sepi saja. Jika Mutia ada di rumah pagi-pagi begini, gorden putih di jendela kaca besarnya selalu disingkap. Tidak mungkin juga di rumah Ruqayya. Apalagi di rumah Sumayyah.
Lalu di mana istriku? Apa istriku pulang ke Sleman? Ah, itu tidak mungkin. Istriku selalu minta ijin jika hendak menjenguk ibunya.