Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

S1 Universitas Al-Azhar Mesir. S2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) LPDP Kemenag RI. (Dalam Negeri) Anggota MUI Kec. Biringkanaya. Sulawesi Selatan. Penulis buku "Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan Melalui Cahaya Shalat" dan "Warisan Kasih: Kisah, Kenangan, dan Hikmah Hadis". Prosiding : the 1st International Conference on Religion, Scripture & Scholars Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, berjudul "The Spirit of Ecology in the Hadith: Protecting Nature in Love of Religion" yang terbit pada Orbit Publishing Jakarta. Hal. 237-249. Tahun 2024. Peneliti Jurnal Ilmiah sinta 6 berjudul "Zindiq Al-Walīd bin Yazīd An Analysis of Orthodoxy and Heterodoxy in the perspective of Civil Society in the Umayyad Dynasty" yang terbit pada Journal Analytica Islamica Program Pscasarjana UIN Sumatera Utara Medan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Penamaan Anak: Perspektif Foucault

4 Agustus 2024   17:05 Diperbarui: 4 Agustus 2024   17:09 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain itu, agama memainkan peran yang sangat kuat dalam penamaan anak di Indonesia. Banyak keluarga Muslim, misalnya, memilih nama-nama yang memiliki konotasi religius dan diambil dari tokoh-tokoh dalam Al-Qur'an atau sejarah Islam. Nama-nama seperti Muhammad, Aisyah, dan Fatimah sangat umum karena dianggap membawa berkah dan mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang ingin diwariskan kepada anak-anak. Demikian pula, keluarga Kristen sering kali memilih nama-nama dari Alkitab seperti Yohanes, Maria, atau Yosef sebagai bentuk penghormatan dan harapan akan kehidupan yang saleh.

Globalisasi juga membawa pengaruh dalam pola penamaan anak di Indonesia. Nama-nama yang terdengar modern atau internasional semakin populer di kalangan orang tua yang ingin memberikan identitas yang dianggap lebih kosmopolitan kepada anak-anak mereka. Fenomena ini mencerminkan interaksi antara budaya lokal dan global, di mana nilai-nilai tradisional dan modern saling beradaptasi dan terkadang berbenturan.

Namun, norma-norma ini juga dapat menciptakan tantangan. Nama-nama yang dianggap tidak sesuai dengan norma gender yang diterima atau yang tidak lazim dalam budaya tertentu dapat menimbulkan stigma sosial. Anak-anak dengan nama-nama yang dianggap aneh atau tidak lazim mungkin menghadapi perlakuan berbeda atau bahkan diskriminasi di lingkungan sosial mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana norma sosial tidak hanya membentuk preferensi individu tetapi juga memiliki dampak nyata pada pengalaman sosial dan penerimaan individu dalam masyarakat.

Dengan demikian, norma-norma sosial dan budaya di Indonesia sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan nama anak. Penamaan anak menjadi cerminan dari nilai-nilai, tradisi, dan harapan masyarakat, sekaligus menunjukkan bagaimana kekuasaan dan norma sosial dapat mengarahkan dan mengontrol keputusan pribadi.

Nama-nama yang dianggap tidak lazim di Indonesia sering kali berasal dari beberapa sumber. Nama-nama yang diadopsi dari budaya asing atau yang memiliki ejaan yang tidak umum di Indonesia sering kali dipandang sebagai tidak lazim. Misalnya, nama-nama yang berasal dari bahasa asing seperti "Axel," "Zara," atau "Kayla," mungkin dianggap modern tetapi juga bisa menimbulkan kebingungan atau ketidakpastian di masyarakat yang lebih tradisional.

Selain itu, nama-nama yang tidak sesuai dengan norma gender yang diterima juga dapat dianggap tidak lazim. Contoh kasus adalah penggunaan nama "Andi" yang di beberapa daerah di Indonesia dianggap sebagai nama laki-laki, tetapi di daerah lain bisa dianggap sebagai nama perempuan. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan stigma sosial bagi individu yang menyandang nama tersebut. Nama-nama seperti "Putri" atau "Indah" yang secara tradisional dianggap nama perempuan, ketika digunakan untuk laki-laki, dapat menyebabkan anak tersebut mengalami perlakuan berbeda dari teman sebayanya.

Stigma yang terkait dengan penggunaan nama-nama yang tidak lazim bisa sangat bervariasi. Anak-anak dengan nama yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial mungkin mengalami ejekan atau penolakan dari teman sebaya. Di lingkungan sekolah, mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam mendapatkan penerimaan atau bahkan diskriminasi dari guru dan staf sekolah yang memiliki persepsi tertentu tentang nama-nama yang tidak lazim.

Lebih jauh lagi, stigma ini tidak hanya terbatas pada masa kanak-kanak. Di dunia profesional, nama yang dianggap tidak lazim atau asing bisa memengaruhi persepsi rekan kerja dan atasan. Misalnya, nama yang sulit diucapkan atau yang tidak umum dalam budaya Indonesia bisa membuat individu tersebut merasa terasing atau dipandang sebagai "lain" oleh lingkungan profesionalnya. Hal ini menunjukkan bagaimana norma-norma sosial yang terkait dengan penamaan anak memiliki dampak jangka panjang pada identitas dan pengalaman sosial individu.

Secara keseluruhan, norma-norma sosial yang ketat tentang penamaan anak dapat menimbulkan tantangan signifikan bagi individu yang menyandang nama-nama yang dianggap tidak lazim. Stigma yang terkait dengan penggunaan nama-nama ini menunjukkan bagaimana norma dan kekuasaan bekerja sama dalam membentuk pengalaman sosial seseorang, dan bagaimana pentingnya pendidikan dan kesadaran untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan menerima keberagaman dalam penamaan anak.

Stigma sosial terbentuk berdasarkan norma gender dan budaya melalui proses internalisasi nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Norma gender menetapkan harapan dan peran yang jelas untuk laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal penamaan. Ketika nama seseorang tidak sesuai dengan harapan ini, individu tersebut sering kali mengalami reaksi negatif dari lingkungan sekitarnya. Misalnya, seorang anak laki-laki yang diberi nama yang dianggap feminin dapat menghadapi ejekan atau diskriminasi karena namanya tidak sesuai dengan norma maskulinitas yang diterima.

Norma budaya juga memainkan peran penting dalam pembentukan stigma sosial. Setiap budaya memiliki seperangkat aturan yang mengatur perilaku yang dianggap pantas atau tidak pantas, termasuk dalam hal penamaan. Nama-nama yang tidak sesuai dengan tradisi budaya setempat sering kali dipandang sebagai tanda penyimpangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun