Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

Universitas Al-Azhar Mesir Konsentrasi Ilmu Hadis SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Ilmu Hadis dan Tradisi Kenabian Anggota MUI Kec. Biringkanaya Makassar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Penamaan Anak: Perspektif Foucault

4 Agustus 2024   17:05 Diperbarui: 4 Agustus 2024   17:09 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan identitas individu. Sebagai tanda pengenal pertama yang diberikan kepada seseorang, nama tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memanggil atau mengenali, tetapi juga sebagai simbol dari harapan, nilai, dan warisan budaya yang ditanamkan oleh orang tua. 

Dalam banyak budaya, nama mengandung makna mendalam yang mencerminkan karakteristik, sejarah keluarga, atau harapan orang tua terhadap masa depan anak. 

Dengan demikian, nama menjadi bagian integral dari identitas pribadi dan sosial seseorang. Melalui nama, individu sering kali terhubung dengan kelompok sosial tertentu, tradisi, dan norma budaya. Nama dapat mempengaruhi persepsi orang lain terhadap individu tersebut, serta membentuk cara seseorang memandang diri sendiri. 

Dalam konteks sosial, nama juga dapat menjadi cerminan status sosial, etnisitas, dan identitas gender. Oleh karena itu, penamaan anak merupakan keputusan penting yang tidak hanya berdampak pada individu tersebut, tetapi juga pada interaksi sosial dan penerimaan mereka di masyarakat.

Di Indonesia, penamaan anak sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya yang beragam. Setiap daerah memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda dalam memberikan nama kepada anak-anak mereka. 

Dalam masyarakat Jawa, misalnya, nama sering kali dipilih berdasarkan arti yang dianggap membawa keberuntungan atau berkah. 

Sementara itu, di masyarakat Batak, nama anak biasanya mengandung unsur nama marga yang menunjukkan identitas keluarga besar dan hubungan kekerabatan.

Pengaruh agama juga sangat kuat dalam proses penamaan anak di Indonesia. Banyak keluarga Muslim yang memilih nama anak berdasarkan tokoh atau makna intisari dalam Al-Qur'an atau sejarah Islam, dengan harapan anak-anak mereka akan meneladani sifat-sifat mulia dari tokoh-tokoh tersebut. Begitu pula, dalam keluarga Kristen, nama-nama dari tokoh Alkitab sering digunakan sebagai bentuk penghormatan dan doa.

Selain itu, globalisasi dan modernisasi telah membawa perubahan dalam pola penamaan anak. Banyak orang tua yang kini memilih nama-nama yang terdengar internasional atau modern, yang kadang kala tidak sesuai dengan norma-norma tradisional yang ada. Fenomena ini mencerminkan dinamika sosial di mana identitas tradisional dan modern berinteraksi dan kadang kala berbenturan.

Namun, tidak jarang terjadi situasi di mana nama yang diberikan dianggap tidak lazim atau tidak sesuai dengan norma gender yang diterima masyarakat. Misalnya, beberapa nama yang secara tradisional digunakan untuk laki-laki di Indonesia mungkin dianggap sebagai nama perempuan dalam konteks budaya lain. 

Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan stigma sosial yang memengaruhi bagaimana individu tersebut diperlakukan oleh masyarakat sekitar.

Dengan demikian, latar belakang sosial dan budaya sangat memengaruhi bagaimana nama dipilih dan diterima dalam masyarakat Indonesia. Penamaan anak bukan hanya sebuah keputusan pribadi, tetapi juga sebuah tindakan sosial yang mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan harapan yang ada dalam masyarakat tersebut.

Konsep normalisasi menurut Michel Foucault adalah proses di mana standar atau norma tertentu diinternalisasi dan diterima sebagai kebiasaan dalam masyarakat. 

Foucault, seorang filsuf Prancis, mengemukakan bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui institusi formal seperti pemerintah atau hukum, tetapi juga melalui praktik sehari-hari dan keyakinan sosial yang membentuk perilaku individu. Normalisasi adalah cara di mana kekuasaan tersebar secara halus dan efektif, menciptakan seperangkat aturan yang tampak wajar dan alami bagi anggota masyarakat.

Dalam konteks normalisasi, individu diawasi dan diatur oleh norma-norma sosial yang menentukan apa yang dianggap benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai. Proses ini menciptakan hierarki dan klasifikasi yang mengontrol tindakan dan pikiran individu tanpa mereka sadari. Foucault menyoroti bahwa norma-norma ini sering kali tidak dipertanyakan karena dianggap sebagai bagian dari tatanan alamiah kehidupan sosial.

Normalisasi juga berkaitan erat dengan konsep disiplin, di mana individu dibentuk untuk mematuhi standar tertentu melalui mekanisme pengawasan dan penilaian. 

Dalam sistem pendidikan, misalnya, anak-anak diajarkan untuk mematuhi aturan dan norma yang telah ditetapkan, yang kemudian membentuk cara mereka berpikir dan berperilaku di masa dewasa.

Dalam konteks penamaan anak, normalisasi berarti bahwa ada nama-nama tertentu yang dianggap sesuai dengan gender dan budaya, sementara nama-nama lain dianggap menyimpang. 

Norma-norma ini tidak hanya menentukan pilihan nama yang "benar" atau "salah", tetapi juga mempengaruhi bagaimana individu tersebut diperlakukan oleh orang lain. 

Nama yang tidak sesuai dengan norma yang diterima dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi, yang menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui proses normalisasi.

Dengan memahami konsep normalisasi Foucault, dapat dilihat bagaimana kekuasaan dan kontrol sosial beroperasi melalui praktik sehari-hari seperti penamaan anak. Ini menunjukkan bahwa keputusan yang tampaknya pribadi sebenarnya sangat dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang lebih besar, yang membentuk persepsi dan tindakan individu dalam masyarakat.

Norma sosial dan kekuasaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan penamaan anak. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, penamaan anak tidak hanya sekadar pilihan pribadi orang tua, tetapi juga dipengaruhi oleh harapan, nilai, dan aturan yang berlaku di masyarakat. 

Norma sosial menetapkan standar tentang apa yang dianggap sebagai nama yang cocok atau tidak cocok berdasarkan faktor-faktor seperti gender, status sosial, dan latar belakang budaya.

Misalnya, dalam beberapa komunitas, ada ekspektasi bahwa nama anak harus mencerminkan identitas gender yang jelas. Nama-nama yang dianggap maskulin atau feminin sering kali dipilih untuk menghindari kebingungan atau stigma sosial. 

Kekuasaan sosial berperan dalam menegakkan norma-norma ini melalui berbagai mekanisme, seperti persetujuan sosial, penghargaan, atau bahkan tekanan dan sanksi. Orang tua yang memilih nama yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat mungkin menghadapi penilaian atau kritik dari lingkungan sekitarnya.

Kekuasaan juga beroperasi melalui institusi seperti keluarga, sekolah, dan media, yang semuanya berkontribusi dalam membentuk persepsi tentang apa yang dianggap sebagai nama yang pantas. 

Misalnya, media sering kali mempromosikan nama-nama yang populer atau dianggap modern, yang kemudian mempengaruhi preferensi orang tua dalam memilih nama untuk anak mereka. Institusi pendidikan juga dapat memperkuat norma-norma ini dengan memperlakukan anak-anak yang memiliki nama-nama yang tidak lazim secara berbeda, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, kekuasaan dalam konteks penamaan anak juga dapat dilihat melalui aspek hukum dan administrasi. Di beberapa negara, ada aturan yang mengatur tentang nama-nama yang boleh digunakan, yang mencerminkan kekuasaan negara dalam menentukan apa yang dianggap sah atau tidak sah. Meskipun di Indonesia aturan semacam itu mungkin tidak seketat di beberapa negara lain, pengaruh norma sosial tetap kuat dalam membentuk pilihan orang tua.

Dengan demikian, keputusan penamaan anak adalah contoh bagaimana norma sosial dan kekuasaan bekerja sama dalam mengarahkan perilaku individu. Melalui proses normalisasi, masyarakat menciptakan dan menegakkan standar yang memengaruhi pilihan pribadi, menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat mengontrol bahkan aspek-aspek yang tampaknya paling pribadi dari kehidupan seseorang.

Norma-norma sosial dan budaya di Indonesia memainkan peran penting dalam mengatur penamaan anak. Masyarakat Indonesia yang sangat heterogen memiliki beragam tradisi dan kebiasaan yang berbeda dalam proses penamaan anak, yang sering kali mencerminkan nilai-nilai dan harapan budaya masing-masing. 

Misalnya, dalam budaya Jawa, nama anak biasanya dipilih berdasarkan arti tertentu yang dianggap dapat membawa keberuntungan, kebahagiaan, atau sifat-sifat mulia. Nama-nama ini sering kali diambil dari bahasa Jawa kuno atau dari kitab-kitab klasik yang sarat dengan makna filosofis.

Dalam komunitas Batak, penamaan anak tidak hanya mencerminkan identitas pribadi tetapi juga identitas kolektif melalui penggunaan nama marga. Nama marga ini menunjukkan afiliasi keluarga besar dan hubungan kekerabatan, yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat Batak. Hal ini menekankan pentingnya ikatan keluarga dan komunitas dalam budaya Batak.

Selain itu, agama memainkan peran yang sangat kuat dalam penamaan anak di Indonesia. Banyak keluarga Muslim, misalnya, memilih nama-nama yang memiliki konotasi religius dan diambil dari tokoh-tokoh dalam Al-Qur'an atau sejarah Islam. Nama-nama seperti Muhammad, Aisyah, dan Fatimah sangat umum karena dianggap membawa berkah dan mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang ingin diwariskan kepada anak-anak. Demikian pula, keluarga Kristen sering kali memilih nama-nama dari Alkitab seperti Yohanes, Maria, atau Yosef sebagai bentuk penghormatan dan harapan akan kehidupan yang saleh.

Globalisasi juga membawa pengaruh dalam pola penamaan anak di Indonesia. Nama-nama yang terdengar modern atau internasional semakin populer di kalangan orang tua yang ingin memberikan identitas yang dianggap lebih kosmopolitan kepada anak-anak mereka. Fenomena ini mencerminkan interaksi antara budaya lokal dan global, di mana nilai-nilai tradisional dan modern saling beradaptasi dan terkadang berbenturan.

Namun, norma-norma ini juga dapat menciptakan tantangan. Nama-nama yang dianggap tidak sesuai dengan norma gender yang diterima atau yang tidak lazim dalam budaya tertentu dapat menimbulkan stigma sosial. Anak-anak dengan nama-nama yang dianggap aneh atau tidak lazim mungkin menghadapi perlakuan berbeda atau bahkan diskriminasi di lingkungan sosial mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana norma sosial tidak hanya membentuk preferensi individu tetapi juga memiliki dampak nyata pada pengalaman sosial dan penerimaan individu dalam masyarakat.

Dengan demikian, norma-norma sosial dan budaya di Indonesia sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan nama anak. Penamaan anak menjadi cerminan dari nilai-nilai, tradisi, dan harapan masyarakat, sekaligus menunjukkan bagaimana kekuasaan dan norma sosial dapat mengarahkan dan mengontrol keputusan pribadi.

Nama-nama yang dianggap tidak lazim di Indonesia sering kali berasal dari beberapa sumber. Nama-nama yang diadopsi dari budaya asing atau yang memiliki ejaan yang tidak umum di Indonesia sering kali dipandang sebagai tidak lazim. Misalnya, nama-nama yang berasal dari bahasa asing seperti "Axel," "Zara," atau "Kayla," mungkin dianggap modern tetapi juga bisa menimbulkan kebingungan atau ketidakpastian di masyarakat yang lebih tradisional.

Selain itu, nama-nama yang tidak sesuai dengan norma gender yang diterima juga dapat dianggap tidak lazim. Contoh kasus adalah penggunaan nama "Andi" yang di beberapa daerah di Indonesia dianggap sebagai nama laki-laki, tetapi di daerah lain bisa dianggap sebagai nama perempuan. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan stigma sosial bagi individu yang menyandang nama tersebut. Nama-nama seperti "Putri" atau "Indah" yang secara tradisional dianggap nama perempuan, ketika digunakan untuk laki-laki, dapat menyebabkan anak tersebut mengalami perlakuan berbeda dari teman sebayanya.

Stigma yang terkait dengan penggunaan nama-nama yang tidak lazim bisa sangat bervariasi. Anak-anak dengan nama yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial mungkin mengalami ejekan atau penolakan dari teman sebaya. Di lingkungan sekolah, mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam mendapatkan penerimaan atau bahkan diskriminasi dari guru dan staf sekolah yang memiliki persepsi tertentu tentang nama-nama yang tidak lazim.

Lebih jauh lagi, stigma ini tidak hanya terbatas pada masa kanak-kanak. Di dunia profesional, nama yang dianggap tidak lazim atau asing bisa memengaruhi persepsi rekan kerja dan atasan. Misalnya, nama yang sulit diucapkan atau yang tidak umum dalam budaya Indonesia bisa membuat individu tersebut merasa terasing atau dipandang sebagai "lain" oleh lingkungan profesionalnya. Hal ini menunjukkan bagaimana norma-norma sosial yang terkait dengan penamaan anak memiliki dampak jangka panjang pada identitas dan pengalaman sosial individu.

Secara keseluruhan, norma-norma sosial yang ketat tentang penamaan anak dapat menimbulkan tantangan signifikan bagi individu yang menyandang nama-nama yang dianggap tidak lazim. Stigma yang terkait dengan penggunaan nama-nama ini menunjukkan bagaimana norma dan kekuasaan bekerja sama dalam membentuk pengalaman sosial seseorang, dan bagaimana pentingnya pendidikan dan kesadaran untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan menerima keberagaman dalam penamaan anak.

Stigma sosial terbentuk berdasarkan norma gender dan budaya melalui proses internalisasi nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Norma gender menetapkan harapan dan peran yang jelas untuk laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal penamaan. Ketika nama seseorang tidak sesuai dengan harapan ini, individu tersebut sering kali mengalami reaksi negatif dari lingkungan sekitarnya. Misalnya, seorang anak laki-laki yang diberi nama yang dianggap feminin dapat menghadapi ejekan atau diskriminasi karena namanya tidak sesuai dengan norma maskulinitas yang diterima.

Norma budaya juga memainkan peran penting dalam pembentukan stigma sosial. Setiap budaya memiliki seperangkat aturan yang mengatur perilaku yang dianggap pantas atau tidak pantas, termasuk dalam hal penamaan. Nama-nama yang tidak sesuai dengan tradisi budaya setempat sering kali dipandang sebagai tanda penyimpangan. 

Di Indonesia, nama-nama yang tidak berasal dari bahasa atau tradisi lokal mungkin dianggap sebagai tanda kurangnya keterikatan dengan nilai-nilai budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan individu yang memiliki nama tersebut dipandang sebagai orang luar atau tidak autentik.

Proses pembentukan stigma sosial juga diperkuat oleh media dan institusi pendidikan. Media sering kali mempromosikan stereotip tentang nama-nama tertentu, menciptakan persepsi publik tentang apa yang dianggap normal atau tidak normal. Misalnya, nama-nama yang sering muncul dalam film atau acara televisi sebagai nama karakter antagonis atau tokoh yang tidak diinginkan dapat membentuk opini masyarakat tentang nama tersebut. Institusi pendidikan juga berkontribusi dalam memperkuat norma-norma ini melalui kurikulum dan interaksi sehari-hari. Anak-anak diajarkan untuk mematuhi norma sosial sejak dini, 

termasuk dalam hal bagaimana mereka memandang dan merespons nama-nama yang tidak lazim.
Selain itu, keluarga sebagai unit sosial terkecil juga berperan dalam mentransmisikan norma-norma ini kepada anak-anak mereka. Orang tua yang terikat dengan norma gender dan budaya yang ketat mungkin merasa tekanan untuk memberikan nama yang sesuai dengan harapan sosial agar anak mereka diterima dengan baik oleh masyarakat. Tekanan ini bisa datang dari keluarga besar, teman, atau komunitas yang lebih luas, menciptakan lingkaran kekuasaan yang memperkuat norma-norma tersebut.

Dengan demikian, stigma sosial yang terkait dengan penamaan anak terbentuk melalui kombinasi norma gender dan budaya yang diinternalisasi dan diperkuat oleh berbagai elemen masyarakat. Proses ini menunjukkan bagaimana kekuasaan beroperasi dalam cara yang halus namun efektif, membentuk persepsi dan perilaku individu serta mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan oleh orang lain dalam lingkungan sosial mereka.

Dampak stigma sosial terhadap orang tua dan anak yang namanya dianggap tidak lazim bisa sangat signifikan dan berdampak jangka panjang. Bagi orang tua, tekanan sosial untuk mematuhi norma-norma penamaan yang diterima dapat menimbulkan perasaan cemas dan ragu-ragu saat memilih nama untuk anak mereka. Mereka mungkin merasa terjebak antara keinginan untuk memberikan nama yang memiliki makna pribadi atau budaya khusus dan tekanan dari masyarakat yang mengharapkan nama yang sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku. Dalam beberapa kasus, orang tua mungkin menghadapi kritik atau penilaian negatif dari keluarga besar, teman, atau komunitas jika mereka memilih nama yang dianggap tidak lazim. Hal ini bisa menyebabkan stres emosional dan perasaan isolasi sosial.

Bagi anak, memiliki nama yang tidak lazim dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka, mulai dari interaksi sosial hingga perkembangan identitas. Di lingkungan sekolah, anak-anak dengan nama yang dianggap aneh atau tidak sesuai norma mungkin menjadi sasaran ejekan atau bullying dari teman sebaya. Pengalaman ini dapat mengganggu kesejahteraan emosional dan psikologis mereka, menyebabkan penurunan rasa percaya diri dan harga diri. Selain itu, perlakuan diskriminatif dari guru atau staf sekolah yang memiliki persepsi tertentu tentang nama-nama yang tidak lazim dapat mempengaruhi prestasi akademik dan pengalaman belajar anak.
Di luar lingkungan sekolah, stigma sosial juga dapat mempengaruhi interaksi anak dengan komunitas yang lebih luas. Anak-anak yang merasa bahwa nama mereka menjadi sumber stigma mungkin mengembangkan perasaan malu atau enggan untuk memperkenalkan diri dalam situasi sosial. Hal ini bisa menghambat kemampuan mereka untuk membentuk hubungan sosial yang sehat dan memperkuat perasaan keterasingan.
Pada tingkat yang lebih luas, stigma sosial yang terkait dengan nama juga dapat mempengaruhi kesempatan profesional di masa depan. Nama yang dianggap tidak lazim atau sulit diucapkan mungkin menghadirkan tantangan dalam dunia kerja, di mana persepsi tentang nama dapat mempengaruhi penilaian atasan atau rekan kerja. Individu dengan nama yang tidak lazim mungkin menghadapi prasangka atau stereotip yang dapat menghambat perkembangan karier dan peluang mereka.
Dengan demikian, dampak stigma sosial terhadap orang tua dan anak yang namanya dianggap tidak lazim sangat kompleks dan menyentuh berbagai aspek kehidupan. Tantangan yang dihadapi oleh mereka menunjukkan betapa kuatnya pengaruh norma sosial dan kekuasaan dalam membentuk pengalaman dan identitas individu. Penting untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang pentingnya penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman dalam penamaan anak untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Hasil wawancara atau studi kasus tentang pengalaman orang tua dalam memilih nama untuk anak mereka memberikan wawasan yang lebih mendalam mengenai dinamika sosial dan emosional yang terlibat dalam proses tersebut. Dalam sebuah studi kasus yang dilakukan di sebuah komunitas perkotaan di Indonesia, beberapa orang tua mengungkapkan berbagai pertimbangan dan tantangan yang mereka hadapi saat memilih nama untuk anak mereka.
Seorang ibu bernama Rina menceritakan bahwa ia dan suaminya ingin memberikan nama yang unik dan bermakna untuk putri mereka. Mereka memilih nama "Alya," yang dalam bahasa Arab berarti "langit" atau "tinggi." Meskipun nama ini memiliki makna yang indah dan positif, Rina menghadapi kritik dari keluarga besarnya yang menganggap nama tersebut terlalu modern dan tidak sesuai dengan tradisi keluarga. Rina merasa tertekan dan bingung, tetapi akhirnya memutuskan untuk tetap menggunakan nama tersebut karena keyakinannya pada makna positif dan harapan baik yang ingin disematkan kepada anaknya.
Studi kasus lainnya melibatkan seorang ayah bernama Budi yang memilih nama "Rizky" untuk anak laki-lakinya, yang berarti "rezeki" atau "berkah" dalam bahasa Indonesia. Meskipun nama ini umum digunakan dan memiliki makna yang baik, Budi menghadapi ejekan dari beberapa rekan kerjanya yang menganggap nama tersebut terlalu sederhana dan tidak mencerminkan status sosial. Budi merasa frustrasi dengan tanggapan tersebut, tetapi tetap teguh pada pilihannya karena baginya, nama tersebut mencerminkan harapan akan keberuntungan dan kesejahteraan bagi anaknya.
Dalam wawancara lain, seorang ibu bernama Maya menceritakan bahwa ia memilih nama "Anindya," yang berarti "sempurna" dalam bahasa Sansekerta, untuk putrinya. Maya merasa nama ini sangat cocok karena mencerminkan harapan dan doa agar anaknya tumbuh menjadi pribadi yang sempurna dalam segala aspek. Namun, Maya mengalami kebingungan ketika beberapa tetangga dan teman-temannya menganggap nama tersebut terlalu sulit diucapkan dan terlalu asing. Maya akhirnya memutuskan untuk menggunakan nama panggilan yang lebih sederhana di lingkungan sehari-hari, sambil tetap mempertahankan nama "Anindya" dalam dokumen resmi.
Studi kasus ini menunjukkan bahwa keputusan untuk memilih nama anak melibatkan berbagai pertimbangan, mulai dari makna dan harapan yang ingin disematkan, hingga tanggapan dan norma sosial yang ada di masyarakat. Pengalaman orang tua ini menggarisbawahi betapa kuatnya pengaruh norma sosial dan kekuasaan dalam membentuk pilihan pribadi, serta dampaknya terhadap identitas dan penerimaan sosial anak. Narasi ini juga mengilustrasikan pentingnya dukungan sosial dan penerimaan keberagaman dalam penamaan anak, sehingga orang tua dapat merasa lebih bebas dan nyaman dalam memilih nama yang sesuai dengan nilai-nilai dan harapan mereka.

Dalam sebuah studi kasus yang mendalam mengenai pengalaman orang tua dalam memilih nama untuk anak mereka, terdapat beberapa kisah yang menggambarkan tantangan unik yang dihadapi ketika nama perempuan dalam bahasa Arab dianggap sebagai nama laki-laki di Indonesia. Salah satu contoh adalah pengalaman pasangan orang tua, Ahmad dan Aisyah, yang memilih nama "Hanan" untuk putri mereka. Dalam bahasa Arab, "Hanan" berarti kasih sayang dan merupakan nama yang umum digunakan untuk perempuan. Namun, di Indonesia, nama tersebut lebih sering diasosiasikan dengan laki-laki, yang menyebabkan kebingungan dan stigma sosial.
Ahmad dan Aisyah menceritakan bahwa mereka memilih nama "Hanan" karena ingin putri mereka tumbuh dengan nilai-nilai kasih sayang dan kelembutan. Mereka terinspirasi oleh makna indah yang terkandung dalam nama tersebut dan merasa bahwa nama ini sangat cocok untuk anak perempuan mereka. Namun, ketika mereka mulai memperkenalkan putri mereka kepada keluarga besar dan masyarakat sekitar, mereka sering kali mendapat tanggapan yang mengejutkan. Banyak yang mengira bahwa "Hanan" adalah nama anak laki-laki, dan beberapa bahkan mengkritik pilihan nama tersebut sebagai tidak lazim dan tidak sesuai.
Tantangan yang dihadapi orang tua dalam menghadapi norma sosial dan stigma terkait penamaan anak sangat beragam dan kompleks. Salah satu tantangan utama adalah tekanan sosial dari keluarga besar dan komunitas. Banyak orang tua merasa terjebak antara keinginan untuk memberikan nama yang memiliki makna khusus dan tekanan untuk mematuhi norma yang diterima secara luas. Kritik dan penilaian dari keluarga besar dapat menyebabkan stres emosional yang signifikan, membuat orang tua merasa tidak nyaman atau bahkan ragu dalam keputusan mereka.
Di lingkungan sekolah, anak-anak dengan nama yang dianggap tidak lazim sering kali menjadi sasaran bullying atau ejekan dari teman sebayanya. Orang tua harus menghadapi situasi ini dengan memberikan dukungan emosional kepada anak mereka, sambil berusaha untuk mengedukasi pihak sekolah tentang pentingnya penerimaan dan keberagaman. Hal ini bisa menjadi proses yang menantang, terutama jika norma-norma sosial yang kaku telah mengakar kuat dalam budaya sekolah.
Selain itu, orang tua juga menghadapi tantangan dalam menjelaskan pilihan nama mereka kepada anak-anak mereka sendiri. Anak-anak yang merasa bahwa nama mereka menjadi sumber stigma mungkin mengalami kebingungan atau merasa rendah diri. Orang tua harus menemukan cara untuk mengkomunikasikan makna positif dan nilai-nilai yang mendasari pilihan nama tersebut, agar anak-anak mereka dapat merasa bangga dengan identitas mereka.
Di dunia profesional, stigma sosial terhadap nama yang dianggap tidak lazim dapat mempengaruhi peluang karier dan interaksi sosial. Orang tua harus mempersiapkan anak-anak mereka untuk menghadapi potensi prasangka atau stereotip yang mungkin mereka temui di tempat kerja atau lingkungan profesional lainnya. Ini memerlukan strategi pengembangan diri yang kuat dan kemampuan untuk menavigasi norma-norma sosial yang berlaku.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah resistensi terhadap perubahan norma. Meskipun beberapa orang tua mungkin berusaha untuk mengubah persepsi sosial melalui contoh pribadi, mereka sering kali menghadapi resistensi yang kuat dari masyarakat yang terbiasa dengan norma-norma yang ada. Edukasi dan dialog terbuka tentang pentingnya penerimaan dan inklusivitas dalam penamaan anak bisa menjadi alat yang efektif untuk mengatasi resistensi ini, meskipun prosesnya mungkin memerlukan waktu dan usaha yang signifikan.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi orang tua dalam menghadapi norma sosial dan stigma terkait penamaan anak mencerminkan kompleksitas interaksi antara nilai-nilai pribadi dan tekanan sosial. Pengalaman ini menekankan pentingnya dukungan komunitas, edukasi, dan upaya berkelanjutan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menerima keberagaman dalam penamaan anak.
Untuk mengatasi stigma sosial terkait penamaan anak, orang tua menggunakan berbagai strategi yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan penerimaan sosial. Salah satu strategi yang umum digunakan adalah edukasi dan sosialisasi. Orang tua berusaha untuk mengedukasi lingkungan sekitar, termasuk keluarga besar, teman, dan komunitas, tentang makna dan nilai-nilai positif yang mendasari nama yang mereka pilih. Melalui diskusi dan penjelasan yang mendalam, mereka berharap dapat mengubah persepsi negatif dan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya makna di balik nama tersebut.
Selain itu, beberapa orang tua memilih untuk menggunakan nama panggilan yang lebih mudah diterima di masyarakat, sementara tetap mempertahankan nama resmi yang mereka anggap bermakna. Strategi ini membantu anak untuk lebih mudah berintegrasi dalam lingkungan sosial mereka tanpa harus menghadapi stigma atau diskriminasi secara langsung. Misalnya, nama resmi anak mungkin tetap "Hanan," tetapi dalam keseharian mereka menggunakan nama panggilan seperti "Nana" yang lebih umum dan diterima.
Orang tua juga sering kali membangun jaringan dukungan dengan orang tua lain yang memiliki pengalaman serupa. Melalui kelompok-kelompok diskusi atau komunitas online, mereka berbagi cerita, strategi, dan dukungan emosional. Jaringan dukungan ini memberikan kekuatan tambahan dan rasa solidaritas, yang sangat membantu dalam menghadapi tekanan sosial dan stigma. Selain itu, komunitas ini dapat menjadi platform untuk kampanye kesadaran yang lebih luas tentang pentingnya menerima keragaman dalam penamaan anak.
Strategi lain yang digunakan adalah penanaman nilai-nilai kepercayaan diri dan kebanggaan dalam diri anak sejak dini. Orang tua berusaha untuk menanamkan rasa bangga terhadap identitas mereka dan makna di balik nama mereka. Dengan cara ini, anak-anak dapat menghadapi stigma sosial dengan lebih percaya diri dan tidak merasa terpengaruh oleh pendapat negatif dari lingkungan sekitar. Pendidikan tentang sejarah keluarga, nilai-nilai budaya, dan makna spiritual dari nama mereka sering kali menjadi bagian dari strategi ini.
Orang tua juga sering kali bekerja sama dengan institusi pendidikan untuk memastikan bahwa sekolah menjadi lingkungan yang mendukung dan inklusif. Mereka berdialog dengan guru dan staf sekolah tentang pentingnya menghargai keberagaman dan menghindari diskriminasi berdasarkan nama. Melalui pendekatan ini, orang tua berharap dapat menciptakan lingkungan yang lebih positif dan mendukung bagi anak-anak mereka di sekolah.
Terakhir, kampanye kesadaran melalui media sosial dan platform publik juga merupakan strategi efektif yang digunakan oleh beberapa orang tua. Dengan memanfaatkan media sosial, mereka dapat menjangkau audiens yang lebih luas untuk mengedukasi dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya inklusivitas dalam penamaan anak. Kampanye ini dapat membantu mengubah persepsi publik dan mendorong masyarakat untuk lebih menerima dan menghargai keragaman.
Dengan berbagai strategi ini, orang tua berusaha untuk mengatasi stigma sosial dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi anak-anak mereka. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, dengan pendekatan yang tepat dan dukungan yang kuat, adalah mungkin untuk mengubah norma sosial dan meningkatkan penerimaan terhadap keragaman dalam penamaan anak.

Pendekatan yang diambil orang tua untuk membangun resistensi terhadap norma sosial yang kaku melibatkan beberapa langkah strategis yang bertujuan memperkuat keyakinan pribadi dan mempengaruhi perubahan sosial. Salah satu pendekatan utama adalah memperkuat pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya keberagaman dan inklusivitas dalam penamaan anak. Orang tua sering kali mendalami literatur dan penelitian tentang identitas, budaya, dan psikologi untuk memperkaya pemahaman mereka. Dengan memiliki landasan pengetahuan yang kuat, mereka lebih siap menghadapi kritik dan tekanan sosial, serta mampu memberikan argumen yang kuat untuk mempertahankan pilihan nama anak mereka.
Selain itu, orang tua juga aktif terlibat dalam komunitas yang mendukung nilai-nilai inklusivitas dan keberagaman. Melalui partisipasi dalam diskusi kelompok, seminar, atau forum online, mereka dapat berbagi pengalaman dan belajar dari orang tua lain yang menghadapi tantangan serupa. Komunitas ini tidak hanya menyediakan dukungan emosional tetapi juga menjadi wadah untuk menyebarkan gagasan dan praktik baik yang dapat membantu mengubah persepsi masyarakat secara lebih luas.
Strategi lain yang digunakan adalah mengajarkan anak-anak tentang pentingnya identitas dan nilai-nilai yang mendasari nama mereka. Orang tua berusaha menanamkan rasa bangga dan percaya diri dalam diri anak-anak mereka, sehingga mereka dapat menghadapi stigma sosial dengan lebih kuat. Pendidikan tentang sejarah keluarga, makna budaya, dan simbolisme di balik nama mereka sering kali menjadi bagian dari pendekatan ini. Dengan memahami dan menghargai nama mereka sendiri, anak-anak akan lebih tangguh dalam menghadapi norma sosial yang kaku.
Orang tua juga sering kali mengambil langkah proaktif dengan mendekati institusi pendidikan dan komunitas lokal untuk mengadvokasi perubahan. Mereka berdialog dengan guru, kepala sekolah, dan pemimpin komunitas untuk menjelaskan pentingnya inklusivitas dan penghargaan terhadap keberagaman nama. Upaya ini bisa mencakup penyelenggaraan lokakarya atau seminar di sekolah tentang keberagaman budaya dan identitas, yang bertujuan meningkatkan kesadaran dan mengurangi prasangka.
Selain itu, kampanye kesadaran publik melalui media sosial juga menjadi alat yang efektif. Orang tua menggunakan platform ini untuk berbagi cerita, informasi, dan edukasi tentang pentingnya menerima keberagaman dalam penamaan anak. Dengan menciptakan narasi yang positif dan inspiratif, mereka berharap dapat mempengaruhi opini publik dan mendorong masyarakat untuk lebih terbuka dan menghargai perbedaan.
Dengan berbagai pendekatan ini, orang tua berusaha membangun resistensi terhadap norma sosial yang kaku, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menerima bagi anak-anak mereka. Upaya mereka menunjukkan bahwa melalui pengetahuan, komunitas, pendidikan, dan advokasi, adalah mungkin untuk mengubah norma-norma sosial dan mempromosikan keberagaman sebagai nilai yang penting dalam masyarakat.

Pentingnya edukasi dan peningkatan kesadaran sosial dalam mengubah persepsi masyarakat tentang penamaan anak tidak bisa diremehkan. Edukasi memainkan peran kunci dalam membuka wawasan dan mengubah pola pikir yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat. Dengan meningkatkan pengetahuan tentang keberagaman budaya dan makna di balik nama, masyarakat dapat belajar untuk lebih menghargai perbedaan dan mengurangi prasangka yang tidak berdasar.
Melalui program pendidikan di sekolah, anak-anak dapat diajarkan tentang pentingnya menghormati identitas individu, termasuk nama. Kurikulum yang mencakup studi tentang berbagai budaya dan tradisi penamaan dari seluruh dunia dapat membantu anak-anak memahami bahwa nama adalah bagian penting dari identitas seseorang dan memiliki makna yang mendalam. Edukasi ini tidak hanya membantu mengurangi stigma di kalangan anak-anak tetapi juga mempengaruhi sikap orang tua dan masyarakat secara lebih luas.
Peningkatan kesadaran sosial juga dapat dicapai melalui kampanye publik yang efektif. Media massa dan media sosial adalah alat yang kuat untuk menyebarkan pesan tentang pentingnya inklusivitas dan penghargaan terhadap keberagaman. Kampanye yang menyoroti cerita-cerita inspiratif tentang orang tua dan anak-anak yang memilih nama yang unik dan bermakna dapat membantu mengubah persepsi negatif menjadi positif. Pesan-pesan ini dapat menciptakan narasi baru yang lebih inklusif dan menginspirasi masyarakat untuk lebih menerima dan menghargai perbedaan.
Selain itu, pelibatan komunitas dalam dialog terbuka tentang isu penamaan anak juga sangat penting. Forum diskusi, lokakarya, dan seminar yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk orang tua, pendidik, pemimpin komunitas, dan tokoh agama, dapat menjadi platform untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Dialog ini dapat membantu memecah stereotip dan mengurangi ketegangan yang mungkin timbul dari perbedaan persepsi tentang nama.
Pendidikan dan peningkatan kesadaran sosial juga memerlukan dukungan dari pemerintah dan institusi resmi. Kebijakan yang mendukung inklusivitas dan penghargaan terhadap keberagaman nama, serta kampanye publik yang didukung oleh pemerintah, dapat memberikan landasan yang kuat untuk perubahan sosial. Dukungan ini dapat berupa regulasi yang mencegah diskriminasi berdasarkan nama, serta program-program yang mempromosikan pendidikan multikultural di semua tingkat pendidikan.
Dengan demikian, edukasi dan peningkatan kesadaran sosial adalah langkah penting dalam mengubah persepsi masyarakat tentang penamaan anak. Melalui upaya ini, masyarakat dapat menjadi lebih terbuka dan menghargai keberagaman, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua individu, terlepas dari nama mereka. Upaya kolektif ini menunjukkan bahwa perubahan positif adalah mungkin ketika ada komitmen bersama untuk menghormati dan merayakan perbedaan.

Untuk mendukung orang tua dalam memilih nama yang sesuai dengan nilai-nilai mereka, berbagai upaya dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, dan institusi pendidikan. Salah satu upaya yang penting adalah penyediaan sumber daya dan informasi yang memadai. Buku, situs web, dan aplikasi yang memberikan penjelasan tentang makna nama-nama dari berbagai budaya dan bahasa dapat membantu orang tua dalam membuat keputusan yang berdasarkan pengetahuan yang komprehensif. Sumber daya ini sebaiknya mencakup informasi tentang sejarah, arti, dan konotasi nama-nama tertentu, sehingga orang tua dapat memilih nama yang sesuai dengan nilai-nilai dan harapan mereka.
Penyelenggaraan seminar dan lokakarya tentang penamaan anak juga dapat menjadi sarana yang efektif untuk mendukung orang tua. Acara-acara ini dapat menghadirkan para ahli budaya, psikolog, dan tokoh agama yang dapat memberikan wawasan dan panduan tentang pentingnya nama dalam pembentukan identitas dan bagaimana memilih nama yang sesuai dengan nilai-nilai keluarga. Diskusi-diskusi ini juga dapat memberikan dukungan emosional dan komunitas bagi orang tua yang merasa tertekan oleh norma-norma sosial yang kaku.
Selain itu, advokasi untuk kebijakan yang mendukung keberagaman dan inklusivitas dalam penamaan anak sangat penting. Pemerintah dan lembaga terkait dapat mengembangkan regulasi yang melarang diskriminasi berdasarkan nama dan memastikan bahwa semua nama, terlepas dari asal budaya atau konotasi gender, diterima dengan baik dalam dokumen resmi dan institusi pendidikan. Kebijakan ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi orang tua dan anak-anak, serta mendorong perubahan positif dalam persepsi masyarakat.
Di lingkungan sekolah, program pendidikan yang menekankan pentingnya keberagaman dan inklusivitas dapat memberikan dampak signifikan. Sekolah dapat mengintegrasikan kurikulum multikultural yang mencakup studi tentang tradisi penamaan dari berbagai budaya, serta mengadakan kegiatan yang merayakan keberagaman nama. Langkah-langkah ini tidak hanya mendukung anak-anak dalam menerima identitas mereka sendiri, tetapi juga mengajarkan mereka untuk menghormati identitas orang lain.
Media massa juga berperan penting dalam mendukung orang tua. Kampanye kesadaran yang disiarkan melalui televisi, radio, dan media sosial dapat membantu mengubah persepsi publik tentang penamaan anak. Menampilkan cerita-cerita sukses dan inspiratif tentang orang tua yang memilih nama yang bermakna dapat memberikan contoh positif dan memperkuat pesan bahwa keberagaman dalam penamaan anak adalah sesuatu yang harus dirayakan.
Akhirnya, komunitas lokal dapat berperan aktif dalam mendukung orang tua melalui berbagai inisiatif. Grup diskusi, pertemuan komunitas, dan program mentoring dapat memberikan ruang bagi orang tua untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan dukungan. Dengan membangun jaringan dukungan yang kuat, orang tua dapat merasa lebih berdaya dan percaya diri dalam memilih nama yang sesuai dengan nilai-nilai mereka, tanpa harus khawatir tentang stigma atau diskriminasi.
Dengan berbagai upaya ini, orang tua dapat merasa lebih didukung dalam proses penamaan anak, dan masyarakat dapat bergerak menuju penerimaan yang lebih besar terhadap keberagaman. Upaya kolektif ini menunjukkan bahwa dengan kerjasama dan komitmen, adalah mungkin untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghargai setiap individu, terlepas dari nama mereka.

Analisis strategi orang tua dalam mengatasi stigma sosial terkait penamaan anak dapat dilihat melalui lensa teori Michel Foucault tentang kekuasaan dan normalisasi. Foucault mengemukakan bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi secara represif melalui institusi-institusi formal, tetapi juga secara produktif melalui norma-norma sosial yang diinternalisasi oleh individu. Dalam konteks ini, normalisasi adalah proses di mana standar atau norma tertentu diterima sebagai yang wajar dan alamiah dalam masyarakat, sehingga individu yang menyimpang dari norma ini dianggap "abnormal" atau "menyimpang."
Orang tua yang memilih nama yang dianggap tidak lazim oleh masyarakat sering kali berhadapan dengan mekanisme kekuasaan yang halus namun efektif. Norma-norma sosial tentang penamaan anak menciptakan tekanan bagi orang tua untuk mematuhi standar yang diterima, dan ketika mereka memilih untuk tidak melakukannya, mereka harus menghadapi stigma sosial sebagai konsekuensinya. Strategi orang tua dalam mengatasi stigma ini dapat dilihat sebagai bentuk resistensi terhadap kekuasaan dan normalisasi.
Salah satu strategi utama yang digunakan oleh orang tua adalah edukasi dan sosialisasi, yang dapat dianalisis sebagai upaya untuk mempengaruhi dan mengubah norma-norma yang ada. Dengan mengedukasi lingkungan sekitar tentang makna dan nilai di balik nama yang mereka pilih, orang tua berusaha menciptakan narasi alternatif yang dapat menantang norma-norma yang diterima. Hal ini sejalan dengan gagasan Foucault tentang resistensi, di mana individu atau kelompok berupaya mengubah cara pandang yang dominan melalui penyebaran pengetahuan dan wacana baru.
Strategi lain, seperti penggunaan nama panggilan yang lebih diterima sambil mempertahankan nama resmi, mencerminkan cara orang tua menavigasi kekuasaan yang mengatur norma sosial. Dengan cara ini, mereka berusaha meminimalkan dampak negatif stigma sosial sambil tetap mempertahankan identitas yang mereka anggap penting. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat dinegosiasikan dan diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari, bukannya ditolak secara langsung.
Jaringan dukungan komunitas dan kelompok diskusi juga merupakan bentuk resistensi terhadap kekuasaan normalisasi. Melalui solidaritas dan berbagi pengalaman, orang tua membentuk komunitas yang dapat menantang norma-norma yang dominan dan menciptakan ruang di mana keberagaman dalam penamaan anak dihargai. Ini mencerminkan konsep Foucault tentang kekuasaan yang bersifat relasional, di mana individu dan kelompok dapat menciptakan sirkuit kekuasaan alternatif yang menentang dan mengubah norma-norma yang ada.
Penanaman nilai-nilai kepercayaan diri dan kebanggaan dalam diri anak-anak juga dapat dianalisis sebagai upaya resistensi terhadap kekuasaan normalisasi. Dengan menanamkan rasa bangga terhadap identitas mereka sendiri, orang tua membantu anak-anak mengembangkan ketahanan terhadap stigma sosial dan memperkuat kemampuan mereka untuk menantang persepsi negatif. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat dihadapi melalui pembentukan subyektivitas yang kuat dan independen.
Kerjasama dengan institusi pendidikan dan advokasi untuk kebijakan inklusif juga mencerminkan strategi resistensi yang berupaya mengubah struktur kekuasaan yang lebih luas. Dengan mendidik guru dan staf sekolah serta mengadvokasi regulasi yang mendukung inklusivitas, orang tua berusaha mengubah institusi-institusi yang memperkuat norma-norma sosial yang kaku. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat ditantang melalui perubahan struktural dan institusional.
Secara keseluruhan, strategi orang tua dalam mengatasi stigma sosial terkait penamaan anak sesuai dengan teori Foucault tentang kekuasaan dan normalisasi. Melalui edukasi, sosialisasi, jaringan dukungan, penanaman nilai-nilai kepercayaan diri, dan advokasi kebijakan, orang tua menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif tetapi juga dapat dihadapi dan diubah melalui resistensi yang produktif dan strategis. Upaya mereka menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah mungkin ketika individu dan kelompok bekerja bersama untuk menantang dan mengubah norma-norma yang ada.

Teori Michel Foucault menawarkan kerangka yang sangat berguna untuk memahami dinamika sosial terkait penamaan anak. Foucault mengemukakan bahwa kekuasaan tersebar di seluruh lapisan masyarakat dan beroperasi melalui norma-norma dan praktik-praktik sehari-hari yang dianggap wajar. Dalam konteks penamaan anak, norma-norma ini mencakup standar sosial dan budaya tentang apa yang dianggap sebagai nama yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan, serta harapan masyarakat terhadap identitas dan peran gender.
Salah satu argumen utama Foucault adalah bahwa kekuasaan bukan hanya bersifat represif tetapi juga produktif. Ini berarti bahwa kekuasaan tidak hanya menekan atau melarang tindakan tertentu tetapi juga menciptakan dan membentuk identitas serta perilaku individu. Dalam hal penamaan anak, norma-norma sosial tentang nama bukan hanya mengatur apa yang dianggap pantas tetapi juga membentuk cara individu memahami diri mereka sendiri dan orang lain. Nama yang dianggap tidak lazim dapat menciptakan identitas yang berbeda dan bahkan menyimpang, yang kemudian diperlakukan secara berbeda oleh masyarakat.
Foucault juga berbicara tentang konsep normalisasi, di mana norma-norma tertentu dijadikan standar yang harus diikuti oleh semua anggota masyarakat. Norma ini menciptakan hierarki sosial di mana mereka yang mematuhi norma-norma ini dipandang sebagai "normal," sementara mereka yang tidak mematuhinya dianggap "abnormal" atau "menyimpang." Dalam konteks penamaan anak, normalisasi berarti bahwa nama-nama yang tidak sesuai dengan norma gender atau budaya yang diterima dapat menyebabkan stigma sosial. Individu dengan nama-nama tersebut mungkin dianggap tidak sesuai dengan harapan sosial, yang dapat mengakibatkan diskriminasi dan marginalisasi.
Teori Foucault juga menekankan pentingnya resistensi terhadap kekuasaan. Resistensi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk penolakan terhadap norma-norma yang dominan dan penciptaan praktik-praktik alternatif. Dalam konteks penamaan anak, resistensi ini dapat terlihat dalam upaya orang tua untuk mempertahankan nama yang mereka pilih meskipun menghadapi tekanan sosial. Dengan menolak untuk mengikuti norma-norma yang kaku, orang tua ini menciptakan ruang untuk keberagaman dan inklusivitas dalam praktik penamaan anak.
Selain itu, Foucault menyoroti bagaimana kekuasaan beroperasi melalui institusi-institusi seperti keluarga, sekolah, dan media. Institusi-institusi ini memainkan peran penting dalam menyebarkan dan memperkuat norma-norma sosial. Dengan memahami bagaimana kekuasaan beroperasi melalui institusi-institusi ini, dapat diidentifikasi cara-cara untuk mengintervensi dan mengubah norma-norma tersebut. Misalnya, dengan mengedukasi guru dan staf sekolah tentang pentingnya inklusivitas dalam penamaan anak, dapat diubah cara pandang dan perlakuan terhadap anak-anak dengan nama-nama yang dianggap tidak lazim.
Foucault juga mengajukan gagasan tentang subjektivitas, yaitu bagaimana individu memahami dan membentuk identitas mereka sendiri dalam konteks kekuasaan. Dalam hal penamaan anak, orang tua dan anak-anak dapat membentuk identitas mereka dengan cara yang menantang norma-norma sosial. Dengan memahami dan menghargai makna di balik nama-nama mereka, mereka dapat mengembangkan identitas yang kuat dan independen yang tidak terikat oleh norma-norma yang kaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun