Â
      Azan menggema di setiap musollah dan masjid. Pak Asan bangun dari tidurnya sedikit bingung. Dia menyapu tanah pertanian milik masyarakat. Dia teringat anak dan istri yang pasti menunggu kehadirannya. Kemudian, dia begegas mengusap kepala yang hampir tertutupi tanah serta baju dan sarungnya. Lalu pulang ke rumah. Sesampainya, dia melihat rumah dalam kondisi terkunci. Mungkin anak dan istrinya masih tidur. Dia melanjutkan ke masjid untuk sholat jamaah tapi sudah selesai. Dia pun sholat sendiri di teras masjid bagian utara.
Â
      Selepas sholat pak Asan duduk merenung di anak tangga masjid sembari melihat halaman serta mendengar kicauan burung. Kejadian semalam tergambar jelas dalam ingatannya. Hujan cacian anak dan istri padanya, seolah dia gagal menjadi suami yang mendidik keluarga untuk mendekat pada Tuhan.
Â
      Tanpa disadari olehnya, kiai Muhammad selaku imam masjid duduk di samping kanan pak Asan. Seketika dia berdiri sebagai penghormatan atas ilmunya. Kiai Muhammad pun tersenyum melihat ketawadduan pak Asan. Lalu menyurunya untuk duduk kembali.
Â
      "Ada apa, San. Sepertinya ada masalah?" ujar kiai Muhammad dengan menatap mata pak Asan lekat-lekat, seolah beliau ingin membaca pikiran lewat matanya.
Â
      "Enggak ada apa-apa, Kiai?" jawabnya berbohong.
Â