Pak Asan diam tak menanggapi cercaan istri dan anaknya.
      "Jangan diam, dong, Pak. Kenapa tidak jual saja tanah pertanian kita yang tidak ada gunanya...."
      "Cukup...!" bentak pak Asan. Dia mulai terpancing emosinya. "Itu tanah sangkolan[1] dari ayah dan ibuku. Sampai kapan pun aku tidak akan menjualnya," tegas pak Asan.Â
      Kemudian, dia pergi meninggalkan rumahnya yang sesak dengan emosi dan egoisme diri. Dia berjalan melewati jalan setapak dan menanjak menembus gelapnya malam. Dia berjalan tanpa senter apapun, hanya mengandalkan cahaya purnama.  Akhirnya, dia sampai pada sawahnya sendiri yang masih tak ditanami padi atau jagung karena kehabisan biaya untuk membeli bibit. Dia bersujud di tengah hamparan tanah miliknya. Lalu menengadah ke langit meski wajah hampir bertetupi tanah.
      "Ya, Allah, kapan hamba bisa kaya agar anak dan istri bahwa sejahtera. Lihatlah, lahan tanah milik petani lainnya sudah ditanami padi, jagung, semangka... sementara tanah hambah masih rata tanpa ada hasilnya. Hamba ingin seperti warga yang lain, dengan tanah yang banyak dan kehidupan keluarganya selalu terpenuhi. Hamba gak kuat menerima cobaan ini...."
        Dia mengkhiri doanya, kemudian bersujud lagi. Angin malam membelainya dengan kasih sayang sampai dia tertidur di tanahnya sendiri.
Â
***