Mendengar penjelasan ibu sekaligus harapannya padaku. Gimana gitu, hatiku berbisik sedalam mungkin, "Ros, kamu tega berbohong pada orang tuamu. Hari ini, kamu bisa berbohong tapi gimana diwaktu yang lain, apakah kamu masih bisa berbohong pada orang tuamu.''
  Diamku tanpa jawaban, eh malah yang lain juga berbicara ikut mendukung keinginan ibuku.
  "Fahirah, apa yang dikatakan ibumu, itu benar !. Kami sebagai tetangga yang selalu tahu keinginan ibumu. Selama kamu di Makassar, tidak ada cerita dan harapan indah yang dia inginkan selain melihatmu menikah. Lagian juga-kan, calon mu sudah ada, terus apa lagi yang kamu tunggu. Suruh dia untuk melamar mu.''
  Tidak ada tanggapan apa-apa. Bukan Kutidakingin memberi jawaban pada ibu dan mereka yang ingin melihat ku menikah. Hanya saja kebenaran seperti yang hendak ku ungkapkan.
  Sekedarnya saja kukatakan pada ibuku bahwa aku masih belum siap. Karena Kutidakingin dipojokkan lagi dengan pertanyaan aneh-aneh itu, aku berdiri lalu kembali ke kamar tanpa pamit.
  Kuambil hpku yang tadi kusimpan di atas tempat tidur.
  Terlihat pesan masuk, ketika aku buka. Astaghfirullah...! Mataku yang salah atau yang mengirim pesan ini salah nomor.
  Tapi nama dan nomornya sama dengan nomornya Rais.
  Pesan itu berisi, "Fahirah, cepat ke Makassar, aku merindukanmu."
  Dengan segap, kuatur nafasku, emosiku, lalu aku menelponnya balik.
  Tak lama, telpon ku-pun diangkat. Percakapan yang melibatkan seluruh esensi perasaan, terungkap walau hanya pada satu makna sejak kepergian ku meninggal nya.