Mohon tunggu...
Puwan Muda Muawanah 121211059
Puwan Muda Muawanah 121211059 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Dian Nusantara

Mahasiswa Universitas Dian Nusantara Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Sarjana Akuntansi Mata Kuliah Akuntansi Forensik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Skandal Kejahatan Akuntansi di Indonesia

22 Mei 2024   22:06 Diperbarui: 22 Mei 2024   22:11 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Meskipun Garuda sedang dalam tahap restrukturisasi, data yang valid menunjukkan adanya indikasi korupsi dalam proses pengadaan pesawat terbang dan leasing dengan merek yang berbeda," tambahnya. Emirsyah Satar bukan orang pertama yang tersandung kasus korupsi di Garuda. Pada 8 Mei 2020, dia divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta.

Selain itu, Emirsyah juga dijatuhi pidana tambahan yaitu membayar uang pengganti senilai 2.117.315,27 dolar Singapura dengan hukuman tambahan 2 tahun penjara. 

Emirsyah terbukti bersalah dalam kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia. Dia juga dituduh melakukan pencucian uang (TPPU). Walaupun begitu, vonis yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yaitu 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar. 

Pada dakwaan pertama, Emirsyah dinyatakan menerima uang dalam bentuk rupiah dan beberapa mata uang asing, termasuk Rp 5.859.794.797, 884.200 dolar Amerika Serikat, 1.020.975 euro, dan 1.189.208 dolar Singapura. 

Uang tersebut diterimanya melalui pengusaha pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang juga pemilik Connaught International Pte Ltd. Uang tersebut digunakan untuk memuluskan beberapa pengadaan yang dilakukan PT Garuda Indonesia, termasuk Total Care Program mesin (RR) Trent 700 dan pengadaan pesawat Airbus A330-300/200.

5. PT Asuransi Jiwasraya

Skandal besar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) melibatkan jumlah dana yang sangat besar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat potensi kerugian negara mencapai Rp 16,8 triliun setelah melakukan penyidikan selama 10 tahun, dari tahun 2008 hingga 2018. Rinciannya termasuk kerugian investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian akibat investasi reksa dana sebesar Rp 12,16 triliun.

Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengumumkan penyitaan aset terkait kasus Jiwasraya senilai Rp 18,4 triliun. Angka ini melebihi nilai kerugian investasi Jiwasraya yang ditetapkan BPK sebesar Rp 16,8 triliun. Namun, aset-aset tersebut tidak akan dikembalikan kepada nasabah.

Hari Setiyono, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), menjelaskan bahwa aset-aset yang disita akan dibuktikan di persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di PN Jakarta Pusat sebelum ditetapkan sebagai barang sitaan milik negara. 

"Pengembalian sebagian atau seluruhnya dari aset yang disita bergantung pada hasil pembuktian di persidangan," ucap Hari kepada CNBC Indonesia pada 21 September 2020.

Ali Mukartono, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, menjelaskan dalam Rapat Panja di Komisi III DPR bahwa aset-aset yang disita tidak akan dikembalikan kepada nasabah karena terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun