Kamu selalu menjadi simpul matiku, Lin. Kamu pun pasti tahu.
Kutarik tanganku dari genggamanmu, selembut yang aku mampu.
Tapi, bahkan simpul yang baik dan kuat sekalipun harus mudah dilonggarkan dan diuraikan, kan, Lin? Meski untuk itu kuku kita mungkin harus patah dan berdarah.
Kamu menangis. "Aku nggak pernah percaya Tuhan ada di atas sana, Ben. Yang aku percaya, Dia ada di sini. Sedekat ini," Kamu menunjuk leher dengan jarimu.
Aku mengangguk.
Seandainya sepakat soal itu saja sudah cukup ya Lin...
"Ben," ujarmu sambil menatap mataku lagi. "Apakah menurutmu Tuhan pernah salah meletakkan takdir?"
Entah untuk yang ke berapa kalinya, suaraku tersesat. Dan dalam kondisi senyalang singa, mataku mendadak terasa berat...
Aku menggeleng.
Tuhan terlalu besar untuk berbuat salah, Lin... meski kamu bukan seperti pembatas buku yang bisa dengan mudah dicari penggantinya olehku.
"Ayo pulang, Lin. Sudah jam sepuluh. Aku nggak mau bikin ayah dan ibu khawatir."