Kamu tetap diam. Memilih tenggelam dalam bungkam. Tanganmu berhenti memainkan sendok dengan udara, tapi tatapanmu masih saja mencengkeram meja.
"Alin?" Kali ini, nadaku sudah tiba di ujung mengiba. Kuraih tanganmu, yang baru kusadari nyaris sedingin es batu. Kuselipkan jarimu dalam genggaman, lalu pandangan kita akhirnya berkelindan sebagai jawaban.
Sejak tadi, aku tahu betul ada lembaran kusut yang sedang menanti. Tapi saat kulihat sudut matamu itu tergenangi, aku mengerti. Cerita kita berdua mungkin akan berhenti di sini.
Bagaimanapun kerasnya hati ini kutempa menjadi batu, ternyata retak juga oleh gerimis yang turun dari kelopak matamu.
Denyut nadiku berlari. Dan jantungku, tak lama lagi kuyakin akan merosot ke kaki.
"Ruben," katamu setelah terasa berabad-abad kutunggu. Suaramu serak seperti terganjal palu. "Ayah sudah tahu."
Dan palu itu sekarang menghantam kepalaku. Sampai dada ini ikut merasa ngilu.
Segumpal ludah tertahan di tenggorokan. Tak bisa kutelan meski jalan napas sudah mati-matian kulonggarkan.
Aku menatapmu. Beku. Rasanya seperti diikat mati oleh bola matamu.
Pundakmu bergetar. Perutku berputar.
"Lin," kataku, menata suara yang entah bisa keluar darimana. "Bukankah dari awal kita berdua tahu kalau buku yang kita buka ini pasti ada akhirnya?"