Sekali lagi, ketakutanku yang sudah mengendap terlalu matang ini berhasil kubungkus rapi dalam semacam drama berseri.
Lalu, lapisan kaca di pelupuk matamu mendadak pecah. Serpihannya membuat wajahmu basah.
Dengan terisak, kau sampaikan hal yang membuat kepalaku terlindas sesak.
"Ayah pengen ketemu kamu. Ayah mau kasih kamu sarung dan sajadah."
Matamu yang sembab itu kini menatap kolong meja, seolah maaf ayahmu bisa dicari di sana.
"Beliau memberi pilihan lain?" Aku menahan napas.
Kamu mengangguk pelan. "Kalau tidak, bulan depan aku akan dikirim sekolah. Ke Belanda." Untuk pertama kalinya, kamu meremas tanganku. Dan, anehnya, justru kali ini aku kehilangan nyali. Tanganmu tiba-tiba tampak seperti keramik rapuh yang akan hancur dalam sekali sentuh.
Kamu menatapku. Dari situ, aku tahu bahwa bagimu masalah ini sudah mendapat titik temu.
Sebongkah napas kugebah.
Lin, kamu salah. Perbedaan kita, kamu pun pasti tahu, lebih dari urusan sarung dan sajadah.
"Jadi kapan kamu mau ke rumah? Ketemu ayah?"