Tuban, 24 januari 2016
Bruk!
Tumbukan keras antara roda pesawat dan aspal landasan bandara menyadarkan Kejora dari lamunannya. Pikirannya yang tadinya melayang jauh sontak tertarik ke realita.
“Aku di sini..., “ batinnya.
Pandangannya menerawang menembus jendela pesawat. Hamparan Samudra Indonesia di sepanjang landasan Ngurah Rai seolah ingin meyakinkan Kejora bahwa dia benar-benar berada di Pulau Dewata, di tanah kelahirannya. Rasa sesak mulai memenuhi dadanya, bimbang antara percaya dan tidak.
“Inilah realitaku,”bisiknya pelan.
Dengan gerakan enggan Kejora melepaskan sabuk pengamannya. Penumpang pesawat yang lain sudah mulai berdiri untuk mengambil barang di laci kabin mereka. Kejora hanya meraih jaket hitam yang sepanjang perjalanan dia gunakan sebagai pengganjal kepala. Down jacket itu dilipatnya, lalu dimasukkannya ke dalam ransel yang hanya berisi laptop dan dua t-shirt hitam. Tidak ada niatnya untuk mengenakan jaket setebal itu di Bali yang bersuhu duapuluh sembilan derajat ini.
“Aku salah kostum.” Kejora mengamati winter boot dan sweater wol yang dikenakannya.
Tak ada pilihan lain, Kejora melangkah pelan menyusuri garbarata menuju ke terminal kedatangan. Hawa tropis mulai terasa menyapanya. Dalam situasi normal, Kejora akan tersenyum saat dia mulai menghirup udara Bali. Namun kehangatan yang selalu dirindunya saat masih di Belanda ini, tak mampu menghadirkan rasa syukur atas kedatangannya di Indonesia pada saat itu.
Kejora hanya melirik ke arah conveyor belt di area pengambilan barang. Tidak ada lagi barang yang harus dia ambil. Hanya ransel berisi laptop, jaket dan kaos, yang sempat dia bawa dari Belanda. Langkahnya lurus menuju ke arah area penjemputan. Kejora tahu, tidak akan ada seorang pun yang berdiri di deretan penjemput yang akan melambai ke arahnya. Namun begitu, langkah Kejora tetap terhenti untuk memastikan. Dipandanginya satu per satu wajah penjemput, berharap paling tidak ada satu yang dikenalnya. Matanya mulai memanas, panik mulai menyerangnya.
“Tenang, Kejora…,” ujarnya menenangkan diri sendiri.
Tangannya merogoh ke saku jeansnya. Kejora meremas lembaran euro yang tak seberapa, yang ditemukannya setelah menjungkirbalikkan isi dompet dan tasnya di Schiphol sebelum boarding kemarin. Empat puluh euro saja.
Matanya beralih ke deretan loket jasa money changer. Dicarinya loket yang menawarkan kurs yang paling menguntungkannya. Namun rata-rata sama. Kejora memutuskan untuk berjalan ke salah satu loket yang dijaga seorang laki-laki muda yang asyik dengan ponselnya.
“Siang, pak… Tukar hanya empat puluh euro, bisa?” tanya Kejora ke penjaga loket itu.
Dia hanya mengangguk dan mengambil uang yang diulurkan Kejora.
“Tanda tangan di sini… Juga alamat tinggal di Bali,” perintah laki-laki itu sambil menunjukkan baris di formulir yang harus diisi Kejora.
“Saya… saya belum tahu akan tinggal di mana, pak,” jawab Kejora tersekat.
Lagi-lagi panik mulai melandanya. Dadanya berdetak cepat. Persendiannya terasa lemas. Satu realita kembali hadir menyadarkannya. Kejora kembali ke Bali hanya dengan passport, uang empat puluh euro, sedikit barang, dan tanpa tujuan, tanpa telefon yang bisa membantunya mengkontak seseorang di Bali. Kepalanya berdenyut. Keringat mulai menetes. Entah karena panik atau karena suhu Bali yang tinggi.
“Tanda tangan saja, “ jawab si penjaga loket sambil menghitung lembaran rupiah. Kejora mengangguk.
Bergegas Kejora menyimpan lembaran rupiah sejumlah 548 ribu di ranselnya. Sambil beranjak meninggalkan loket, Kejora merancang langkahnya selanjutnya. Uang 548 ribu ini harus membantunya bertahan hidup sendirian di sini, tanpa tujuan.
***
Teh hijau yang dipesannya tersaji di atas meja tempat di mana Kejora mulai membuka laptopnya. ‘Kedoya’ tertulis di gelas plastik berisi teh hijau itu. Kejora hanya tersenyum simpul saat dia membaca namanya berubah menjadi Kedoya. Tak heran, batinnya. Tidak di Belanda, tidak di Bali, kedai kopi dengan brand ini selalu keliru menuliskan namanya. Padahal dia sudah dengan sengaja menyebutkan namanya dengan lambat: Ke-jo-ra.
Tak apalah. Kejora sudah puas mendapatkan password wi-fi, walau harus merelakan 24 ribu dari uang yang ingin dihematnya berpindah tangan.
Perlahan diketikkannya password tersebut. Connected. Kejora menghela nafas lega.
Ping!
“Oh, shit!” maki Kejora dalam hati.
Bunyi notifikasi email terkirim mengingatkannya pada email yang ditulisnya dalam perjalanan di pesawat. Email yang berisi keputusasaan dan salam perpisahan yang tak sempat dia sampaikan kepada siapapun di Belanda. Satu email yang dia kirim ke beberapa orang itu memang telah tersimpan dikotak outbox-nya dan akan otomatis terkirim saat laptopnya tersambung dengan koneksi internet.
Kejora mengutuki dirinya, kenapa dalam kesedihannya dia telah menuliskan email yang isinya sangat konyol menurutnya. Kejora tak ingin orang-orang tahu bahwa dia pun bisa rapuh, bahwa dia tidak sekuat yang orang-orang kira. Kini email sudah terkirim. Saat ini semua pasti sudah menerima dan mungkin membacanya. Kepalanya mulai berdenyut lagi.
Triiiiiing…
Kejora dikejutkan oleh suara sambungan skype dari laptopnya.
Ellen. Sekarang baru pukul enam pagi di Amsterdam. Biasanya Ellen belum bangun sepagi itu.
Kejora menekan tombol hijau tanda dia menerima panggilan masuk tersebut.
“Ya, Len…”
Wajah Ellen muncul di layar monitornya.
“Jora…? Oh thanks God akhirnya aku bisa menghubungimu. Gila! Kau membuatku tidak tidur semalaman. Kamu sudah sampai, Jora? “
Kejora hanya mengangguk.
“Kau benar-benar gila, Jora! Aku juga baru saja membaca emailmu. Apa maksudmu, Jora?”
Kejora tidak menjawab dan mulai tersedu. Dia tidak mempedulikan pengunjung lain di kedai kopi itu.
“Ya sudah… Kita bicarakan itu nanti, Jora. Sekarang apa rencanamu?”
Kejora hanya menggeleng perlahan. Air matanya belum surut.
“Kau punya tempat tujuan malam ini?“
Kejora menggeleng lagi.
“Robert dan Igo, teman SMA kita, mereka ada di Bali. Mau aku hubungi mereka untuk menjemput kamu? Setidaknya kamu punya tempat untuk malam ini,” usul Ellen.
“Jangan, Len… Aku tidak mau menyusahkan orang lain…”
“Jora! Ini bukan waktunya menjaga gengsimu!“
“Bukan, Len… Tapi… Aku tidak ingin… Aku ingin sendiri, aku ga ingin ketemu siapa-siapa.”
“Ya sudah, sekarang kamu bilang apa yang kamu ingin aku lakukan. Aku bantu kamu dari sini”
“Sebentar, Len…”
Kejora membuka google contact-nya. Itu satu-satunya harapannya untuk menemukan sebuah nomer telefon yang bisa dan ingin dihubunginya saat itu. Matanya tertuju pada sebuah nama: Salim.
“Salim, Len… Kamu bisa tolong telfonin dia? Aku tidak ada hape. Ini nomernya,” Kejora menyebutkan sederetan nomer yang harus dihubungi Ellen.
“Oke… Tapi siapa Salim?”
“Dia sopir di rental langgananku kalau aku di Bali,“ jawab Kejora.
“Heh? Trus maksudmu?“
“Aku mau minta tolong dia anterin aku nyari hotel transit yang dua ratusan ribu buat malam ini.”
“Uangmu cukup?” tanya Ellen terdengar kawatir.
“Aku masih ada lima ratus ribu, Len”
“Hah? Sampai kapan? Mana cukup?”
“Sudah, Len, yang penting malam ini aku ada tempat. Aku masih lelah, Len”
“Ya sudah, aku telfon Salim untukmu. Dia harus temui kamu di situ?“
Kejora mengangguk.
“Kita keep contact, Kejora.”
“Tergantung wi-fi, Len.”
“Kamu harus cari! Take care!“
Nada bicara Ellen yang terkesan memerintah mengakiri percakapan itu. Kejora menghabiskan sisa teh hijau tanpa rasa akibat es batu yang mencair. Dibersihkannya ingus di hidungnya, lalu duduk tenang menunggu Salim.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H