Tangannya merogoh ke saku jeansnya. Kejora meremas lembaran euro yang tak seberapa, yang ditemukannya setelah menjungkirbalikkan isi dompet dan tasnya di Schiphol sebelum boarding kemarin. Empat puluh euro saja.
Matanya beralih ke deretan loket jasa money changer. Dicarinya loket yang menawarkan kurs yang paling menguntungkannya. Namun rata-rata sama. Kejora memutuskan untuk berjalan ke salah satu loket yang dijaga seorang laki-laki muda yang asyik dengan ponselnya.
“Siang, pak… Tukar hanya empat puluh euro, bisa?” tanya Kejora ke penjaga loket itu.
Dia hanya mengangguk dan mengambil uang yang diulurkan Kejora.
“Tanda tangan di sini… Juga alamat tinggal di Bali,” perintah laki-laki itu sambil menunjukkan baris di formulir yang harus diisi Kejora.
“Saya… saya belum tahu akan tinggal di mana, pak,” jawab Kejora tersekat.
Lagi-lagi panik mulai melandanya. Dadanya berdetak cepat. Persendiannya terasa lemas. Satu realita kembali hadir menyadarkannya. Kejora kembali ke Bali hanya dengan passport, uang empat puluh euro, sedikit barang, dan tanpa tujuan, tanpa telefon yang bisa membantunya mengkontak seseorang di Bali. Kepalanya berdenyut. Keringat mulai menetes. Entah karena panik atau karena suhu Bali yang tinggi.
“Tanda tangan saja, “ jawab si penjaga loket sambil menghitung lembaran rupiah. Kejora mengangguk.
Bergegas Kejora menyimpan lembaran rupiah sejumlah 548 ribu di ranselnya. Sambil beranjak meninggalkan loket, Kejora merancang langkahnya selanjutnya. Uang 548 ribu ini harus membantunya bertahan hidup sendirian di sini, tanpa tujuan.
***
Teh hijau yang dipesannya tersaji di atas meja tempat di mana Kejora mulai membuka laptopnya. ‘Kedoya’ tertulis di gelas plastik berisi teh hijau itu. Kejora hanya tersenyum simpul saat dia membaca namanya berubah menjadi Kedoya. Tak heran, batinnya. Tidak di Belanda, tidak di Bali, kedai kopi dengan brand ini selalu keliru menuliskan namanya. Padahal dia sudah dengan sengaja menyebutkan namanya dengan lambat: Ke-jo-ra.