Mohon tunggu...
Putri EkaSari
Putri EkaSari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawati

Semoga menulis menjadikan amal shalih yang bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: KDRT, pelampiasan kala Emosi Melanda

21 November 2024   05:50 Diperbarui: 21 November 2024   19:19 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: psbhfhunila.com, KDRT

Plak.. Plak.. Suara tamparan keras yang diiringi dengan tangisan Ibu mengudara di ruangan tamu.

Segala sumpah serapah, teriakan dan kata-kata Binatang keluar dari mulut Ayah. Membuat aku dan adikku yang berdiam di kamar ketakutan.

"Dasar ga becus.." Kata Ayah sambil berteriak dan marah.

Kami menggeratakkan gigi, menggigil ketakutan. Takut, jika Ibu dianiaya Ayah, takut jika Ayah juga melampiaskan amarahnya kepada kami.

Karena bukan kali ini saja Ayah marah, membentak tak karuan. Ketika emosi, tak hanya kekerasan verbal yang ia lakukan, pun kekerasan fisik dilayangkan kepada kami. 

Tak jarang kami melihat perbuatan Ayah. Yang ringan tangan, memukul, menendang, bahkan berusaha mencekik Ibu.

Betapa miris Aku yang membayangkannya. Spontan tangan memeluk adikku erat dan menutup telinganya rapat, agar kata-kata Binatang tak terserap ke dalam jiwa adikku. 

Ya, aku khawatir, dia adik lelakiku yang kelak akan menjadi seorang Ayah. Kemudian akan melakukan hal yang sama kepada istrinya tanpa sengaja, karena trauma masa kecil yang meresap ke alam bawah sadar.

Ku kecup rambut Adik dan ku hapus air mata yang turun berlinang di matanya. Ya Allah.. kuatkan kami, batinku dalam hati.

"Jangan menangis dik, Semoga Ibu tak apa-apa'' Ucapku seraya berbisik di telinganya.

''Iya kak..'' Jawabnya perlahan.

Kami merapat dalam diam, tak bersuara. Karena khawatir, jika Ayah dengar kami membicarakannya tentu ia akan marah. Dan kemudiaan kami yang nantinya akan jadi sasaran amarahnya.

Tiba-tiba terikan terdengar lirih dari ruang tamu..

"Tolong.. tolong.. kak.. de" Ibu memanggil-manggil dari ruang tamu.

Kami yang semula terdiam takut, hanya saling melirik berpandangan. Tak berani bangkit hanya kembali memasang telinga. Tak berapa lama, erangan Ibu Kembali terdengar..

"Kak.. De.. tolong Ibu" kata Ibu seolah sambil menahan sakit.

Kali ini aku langsung segera bangkit setengah berlari ke ruang tamu, sambil khawatir terjadi pada Ibu. Adikku pun tiba-tiba sigap berlari, dan ada di depan Ibu.

Dengan mata kepala kami, kami lihat Ibu sudah bersimbah darah. Aliran warna merah segar, mengalir dari hidungnya yang seperti bengkok.

"Ya Allah Bu.." Aku berkata lirih sambil memegangi tangannya lalu mengambil tisu.

Sementara adikku dengan amarahnya memandang Ayah yang terduduk kaku di kursi yang tak jauh dari Ibu. Aku sangat paham amarah membakar dari sinar matanya. 

Jika saja Ia sudah besar, dan bisa melawan, tentu Ia akan memukul balik Ayah. Dan membalas perlakuan Ayah yang menyakiti Ibu kami tercinta.

"Bu apa kita harus ke Rumah sakit?" kataku sambil berbisik kepada Ibu.

"Tak usah nak.. Semoga nanti darahnya berhenti sendiri" Katanya sembari mengelap darah yang masih keluar dari hidungnya, seperti mimisan. Rembesannya menetes tak hanya ke baju, tapi juga menggenang di lantai.

Aku kebingungan, seraya melirik takut-takut ke arah Ayah. Berharap Ia pemimpin di rumah ini bisa memutuskan apa yang harus kami lakukan untuk menghentikan pendarahan Ibu.

Karena kami hanyalah 2 anak kecil yang bingung mau berbuat apa. Usiaku masih 10tahun, dan adikku 5tahun. Aku belum mendapatkan Pelajaran pertolongan pertama di Sekolah.

Jadi aku pun kebingungan. Memperhatikan Ayah yang masih diam tak berbicara apa-apa. Raut mukanya tertunduk dan juga kebingungan, entah menyesal atau bagaimana.

Tanpa pikir panjang, Aku pun lekas berbalik ke belakang. Mengambilkan segelas air putih di dapur dan tisu, kemudian menyerahkannya pada Ibu.

"Minumlah Bu.." Kataku sambil memberikan segelas air putih ke hadapannya.

Ku lihat Ibu bersandar sambil menyesap air hingga habis. Ibu tentu kehausan setelah berusaha melawan pukulan Ayah dan kemudian menangis selepasnya.

Lalu kemudian aku beranjak kembali mencari lap di dapur. Untuk menghapus darah yang berceceran menggenang di lantai.

"Bu.. perlukah kita memanggil bantuan ke tetangga? Pakde dan Bude Sastro mungkin bisa membantu.." Ujarku lagi setengah berbisik kembali ketika kembali di hadapan Ibu.

Aku berharap, mungkin bantuan dari tetangga bisa menyelesaikan permasalahan ini. Aku khawatir jika Ibu akan banyak kehilangan darah dari hidungnya dan pingsan.

"Jangan Nak.. tak usah.. Ibu malu.." Ucap Ibu sambil mengelap darah yang masih keluar dari hidungnya.

Aku bimbang dengan kata-katanya, malu bagaimana? Tentu teriakan, bentakan Ayah yang menggelegar seperti halilintar, kala marah. Sudah pasti terdengar hingga ke rumah tetangga, tanpa kami bicara.

"Bu.. tapi itu darahnya.." Sahutku tak habis pikir, sambil beringsut menuju ke pintu ruang tamu. Aku bertekad ke rumah tetangga sebelah. Jika memang Ayah tak berbuat sesuatu.

Namun, Ibu memegang tanganku kencang. Berusaha mencegah aku tak keluar rumah.

"Tak Usah Kak..ini darahnya sudah mau berhenti.." Ujarnya lagi.

Sambil keheranan, Aku mendekati dan duduk di sebelahnya. Mengecek darah yang sebelumnya keluar dari hidung. Memang darahnya mulai sedikit keluar, seolah perlahan surut dan berhenti. Setelah sebelumnya banyak dan mengalir, mungkin karena disumpal tisu,pikirku.

Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku kala menimbang-nimbang lagi, apa yang harus dilakukan berikutnya.

Rasa kesal dan berbagai pertanyaan bergemuruh di dalam dada. Kenapa Ibu masih saja bertahan dengan Ayah? Apakah perempuan tak bisa menuntut akan kekejaman laki-laki yang tak lain suaminya sendiri?

Saya keheranan, mengapa kasus yang mirip dengan hal ini banyak terjadi di luar sana. Mengapa sebagai seorang laki-laki yang bergelar Imam rumah tangga, tak memiliki kesadaran kala emosi melanda.

Bukankah ketika memutuskan menikah, Ia sudah bersumpah saat ijab kabul dengan Allah, TuhanNya. Sebagai seorang suami, Ia menjadi bertanggung jawab atas segala perlakuan kepada istri dan anaknya kelak.

Kejadian serupa pun banyak kita lihat di masyarakat. Ketika emosi menjadi alasan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dilakukan, padahal sesuatu yang tidak boleh dilakukan.

Karena trauma tidak hanya dialami oleh sang istri, namun juga anak-anaknya. Bahkan beberapa perempuan menjadi takut untuk menikah kala dewasa.

Sebab Ia melihat sosok laki-laki dalam bayangannya, bukan sebagai sosok pelindung. Tapi hanya sebagai seseorang yang kerap melakukan intimidasi pada perempuan yang lebih lemah, ketika tak sesuai dengan kemauan suaminya. 

Pemahaman ini semoga bisa diperbaiki. Karena sebenarnya marah adalah salah satu bentuk emosi yang sebagai individu, kita wajib mengontrol diri. 

Sesuai pesan Rasulullah SAW, ketika amarah melanda dan dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Lalu beristighfar dan mengambil wudhu. 

Semoga tidak ada lagi kasus KDRT serupa cerita tadi di masa depan.

-Terinspirasi dari Kasus KDRT yang dilakukan terhadap seorang selebgram, Solo 21Nov24-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun