"Jangan Nak.. tak usah.. Ibu malu.." Ucap Ibu sambil mengelap darah yang masih keluar dari hidungnya.
Aku bimbang dengan kata-katanya, malu bagaimana? Tentu teriakan, bentakan Ayah yang menggelegar seperti halilintar, kala marah. Sudah pasti terdengar hingga ke rumah tetangga, tanpa kami bicara.
"Bu.. tapi itu darahnya.." Sahutku tak habis pikir, sambil beringsut menuju ke pintu ruang tamu. Aku bertekad ke rumah tetangga sebelah. Jika memang Ayah tak berbuat sesuatu.
Namun, Ibu memegang tanganku kencang. Berusaha mencegah aku tak keluar rumah.
"Tak Usah Kak..ini darahnya sudah mau berhenti.." Ujarnya lagi.
Sambil keheranan, Aku mendekati dan duduk di sebelahnya. Mengecek darah yang sebelumnya keluar dari hidung. Memang darahnya mulai sedikit keluar, seolah perlahan surut dan berhenti. Setelah sebelumnya banyak dan mengalir, mungkin karena disumpal tisu,pikirku.
Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku kala menimbang-nimbang lagi, apa yang harus dilakukan berikutnya.
Rasa kesal dan berbagai pertanyaan bergemuruh di dalam dada. Kenapa Ibu masih saja bertahan dengan Ayah? Apakah perempuan tak bisa menuntut akan kekejaman laki-laki yang tak lain suaminya sendiri?
Saya keheranan, mengapa kasus yang mirip dengan hal ini banyak terjadi di luar sana. Mengapa sebagai seorang laki-laki yang bergelar Imam rumah tangga, tak memiliki kesadaran kala emosi melanda.
Bukankah ketika memutuskan menikah, Ia sudah bersumpah saat ijab kabul dengan Allah, TuhanNya. Sebagai seorang suami, Ia menjadi bertanggung jawab atas segala perlakuan kepada istri dan anaknya kelak.
Kejadian serupa pun banyak kita lihat di masyarakat. Ketika emosi menjadi alasan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dilakukan, padahal sesuatu yang tidak boleh dilakukan.