"Aku semalam mengawini anak Kamerad Koba, dia sangat puas dan terpesona denganku, sepertinya aku akan menjadi pengganti Dewi Paramastri, yang kecantikannya tidak tertandingi dan dimaui seluruh laki-laki di berbagai penjuru dunia. Bagaimana denganmu, Yuki?"
"Jatuh tepat dipelukan, Ghandi benar-benar mencintaiku, kami menghabiskan malam dengan gelora asmara yang membakar gubuk tua," kata Yuki yang kemudian ia tertawa karena mendengar ucapannya sendiri.Â
Yuri keluar dari bilik mandi, dengan memasang wajah datar yang hendak berjalan ke lemari pakaiannya.Â
"Kamu di kamar semalaman, Yuri?" tanya kembarannya.Â
"Tidak, hanya setengah malam, setengahnya aku habiskan di bawah pohon jati dengan batu-batu bodoh yang tidak berguna."
"Apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Emma.Â
"Aku hendak menghancurkan gumpalan tanah putih itu, namun malah makin mengeras dan kuat".
Ajeng masuk ke tengah bilik dan perbincangan mereka, yang sontak saja mengejutkan. Ada bercak-bercak darah di kain songket yang membuat semua menjadi bertanya-tanya.Â
"Apa yang terjadi, Ajeng?" Yuri mendekati dan merangkul untuk duduk di atas ranjangnya.
"Aku menusukkan ranting kayu ke dalam kemaluanku. Aku tidak sudi dikawini jembalang."
Semua mematung terkejut, Suna bangun dari tidurnya, sepertinya memang sudah membuka mata sedari tadi dan mendengarkan obrolan kawan-kawannya, hanya saja badannya membelakangi mereka sehingga tidak ada yang mengetahui.Â