"Bercinta denganku."
"Tapi, ada Ibumu di sana, dan kau masih enam belas tahun, kalau keperawananmu hilang dan terdengar ke telinganya, bukan hanya keluar dari asrama, kamu juga akan menjadi pelayan tentara Jepang di rumah Mama Kalong."
"Aku tahu itu, tapi aku ingin bercinta denganmu malam ini. Apa birahi tidak memancing membakarmu jika bercinta dengan perawan Jepang sepertiku? Ataukah kamu lebih menikmati tidur bersama pelacur berpengalaman di rumah Mama Kalong? Seperti sebelum kau mengenalku, Ghandi."
"Aku mencintaimu Yuki, kita bisa saling mencintai di mana pun, tidak harus pergi ke Mama Kalong. Sekitar jarak lima puluh dua kaki dari asramamu, ada gubuk kosong, jika kau mau kita bisa ke sana."
Di taman kembang yang gelap dan sepi, Ajeng termenung murung, memikirkan permainan konyol itu. Bagaimana ia bisa mengawini laki-laki di tanah itu kalau Bupatinya adalah Ayahnya sendiri. Meskipun ia menanggalkan pakaiannya di hadapan tentara-tentara Jepang dan Belanda sekalipun, tidak akan mungkin ada yang berani menyentuhnya.Â
Mereka pasti akan lebih memilih pergi dan bermain dengan pelacur-pelacur di rumah Mama Kalong meskipun harus mengeluarkan uang sewa daripada hidup sengsara akibat menyetubuhinya.
Sebagai perawan dengan pesona kecantikan di atas rata-rata, Ajeng merasa sangat terhina jika keperawanannya lebih dulu diambil oleh jembalang, baginya lebih baik melayani prajurit-prajurit Ayahnya meskipun itu juga terdengar menjijikan.Â
Pikirannya mulai kalut ia melihat ranting kayu panjang yang sebesar telunjuk, menyingkap kain songket yang melilit di pinggangnya, sambil mengendalikan napas dan memejamkan mata, ia memasukkan ranting kayu tersebut ke dalam kemaluannya, bibir atas dan bawahnya saling menggigit untuk mencegah keluarnya suara teriaknya yang tak kuat menahan rasa sakit.Â
Sedangkan Emma bersama anak laki-laki Kamerad Koba, rekan bisnis Ayahnya. Mereka berjalan dengan rangkulan mesra ke rumah Mama Kalong, dengan persetujuan Ayahnya dan perjanjian yang tidak akan terdengar sampai ke telinga Ibunya. Emma, merasa diuntungkan dengan adanya permainan ini, dengan begitu ia bisa melepaskan birahinya tidak hanya seperti melihat kambing kawin di ternak asrama. Ia akan menjajal kebolehan di atas ranjang, menantang diri seberapa piawai dan menggoda tubuhnya di mata laki-laki.Â
Kelima gadis itu sibuk masing-masing dengan permainan yang mereka setujui bersama. Hingga tak terasa kalau hari itu sudah berganti, fajar mulai keluar tanpa malu-malu dari ufuknya, cahaya kemerah-merahan tampak di langit sebelah timur menjelang matahari terbit. Satu persatu gadis itu masuk ke dalam bilik asrama dengan mimik wajah yang beragam. Namun Suna masih berselimut hangat di atas ranjangnya.
"Kamu terlihat bahagia sekali, Emma," kata Yuki yang baru saja masuk dan menjumpai wajah Emma dengan senyum simpul.