Suna pun pergi menuju asramanya bersamaan andong dengan kusir yang duduk di muka. Asramanya yang masih satu kota membuat perjalanan tidak terasa jauh, ia sampai bertepatan dengan waktu dimulainya sabung ayam di tanah lapang samping asrama.Â
Masa itu sekitar pukul tujuh malam, merupakan waktu yang masih terlalu sore jika digunakan untuk tidur berselimut hangat di atas ranjang, kecuali sebuah tempat pelacuran. Suna turun dari andongnya menghampiri keramaian sabung ayam.Â
Di sana juga terdapat empat kawan sekamarnya yang sudah lebih dulu berdiri siap menyaksikan pertunjukan sabung ayam dengan sigaret yang diapit jari.
"Aku punya permainan," kata Suna kepada kawan-kawannya.
"Coba kita lihat, apa yang dia bawa dari pemakaman pelacur tersohor di Tamsil," kata Yuri, gadis keturunan Jepang, anak dari salah satu wanita di rumah Mama Kalong.
Suna mengeluarkan kantong serut dalam tas rajut coklat yang menyelempang di bahunya. Membuka tali kantong dan mengeluarkan beberapa gumpalan tanah putih yang keras.
"Kamu mau kita nimpuk ayam-ayam itu, Suna?" Kata Emma, gadis keturunan Belanda, anak dari pemilik tanah lapang yang dipakai sebagai tempat sabung ayam itu.Â
"Ini tanah putih, aku bawa dari pemakaman nenek cantik, Dewi Paramastri yang paras kecantikan tidak tertandingi. Kata Rosinah, tanah ini akan hancur menjadi butir-butir pasir halus, kalau gadis yang menyimpannya kehilangan keperawanan karena ditiduri jembalang".
"Lalu?" kata Yuki, saudara kembar Yuri. Sedikit terlihat perbedaan di antara mereka berdua, yaitu warna kulit, Yuki sedikit lebih gelap dari Yuri.Â
"Ini permainannya, kita akan membuktikan kata-kata itu".
"Maksud kamu apa Suna? Kita masih enam belas tahun, ibu-ibu kita mengasingkan ke asrama untuk tidak bercinta sebelum delapan belas tahun, bagaimana kalau sampai terdengar ke telinga mereka?" kata Ajeng, asli kelahiran Pribumi.Â