Mohon tunggu...
Puspita85
Puspita85 Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Ibu rumah tangga yang menjadikan hobi sebagai jalan menjemput rezeki.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suka Duka Berkumpul dengan Orang Tua

26 Oktober 2022   20:38 Diperbarui: 26 Oktober 2022   20:43 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dasar, menantu pemalas!" umpat Mak Dami, hanya karena Tejo tidak langsung datang saat dipanggil ketika ibu mertuanya itu sedang berada di kandang sapi. 

Pada saat hendak menghampiri mertuanya, Tejo melihat Surti--istrinya--kesulitan membawa kayu bakar sambil menggendong anaknya. Tejo mengambil alih kayu bakar yang dibawa Surti, kemudian meletakkannya dekat tungku. Baru kemudian Tejo menemui Ibu mertuanya.

"Lama amat, sih! Dari tadi dipanggil baru nongol!" sentaknya, ketika Tejo sudah berada di dekatnya.

"Maaf, Bu. Tadi aku bantu Surti ngangkat kayu bakar. Ada apa, Bu?" Lelaki itu berusaha bersikap biasa pada ibu mertuanya.

"Nanti ada blantik sapi ke sini, mau lihat-lihat sapi jantan, kalau harganya cocok bisa langsung dijual. Nah kamu bersihkan tuh sapi, mandiin dan kasih makan yang banyak!" titahnya pada sang menantu.

"Iya, Bu," balas Tejo tanpa membatah.

"Ya, sudah. Oh iya hari ini kamu gak usah ke sawah, tunggu blantiknya saja!" Wanita itu berucap tegas sebelum berlalu meninggalkan menantunya yang masih berdiri di tempatnya.

Sepeninggalan Bu Dami, Tejo langsung melaksanakan perintah mertuanya itu. Mengeluarkan sapi jantan, kemudian satu per satu sapi-sapi itu dibersihkan.

Ada lima ekor sapi jantan dan tiga ekor sapi betina. Semua Tejo yang merawat dari mencari rumput, memberi makan dan minum juga membersikan kandang.

***

"Sarapan dulu, Mas," ajak Surti setelah dia menemui suaminya yang sedang memandikan sapi.

"Iya, ntar dulu, Dek," sahut Tejo tanpa menoleh, pandangannya fokus pada sapi yang sedang dibersihkannya.

"Nanti dilanjut lagi, Mas. Sekarang sarapan dulu," ujar Surti lagi.

"Iya nanti nek selesai yang ini," sahut Tejo. kali ini dia menghentikan kegiatannya, kemudian menatap penuh cinta pada wanita yang sangat dicintainya itu.

Surti pun kembali melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan buat suaminya. Sepiring nasi, semangkuk sayur rebung dan sepotong ikan asin. Sudah menjadi kebiasaan Surti menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Memisahkan sayur untuk suami dan orang tuanya di mangkuk yang berbeda. 

*** 

"Ini, Mas," Surti menyerahkan bekal pada suaminya.

"Aku hari ini gak ke sawah, Dik." Dia menjawab sambil terus mengasah sabit. 

"Loh, kenapa, Mas?" Surti merasa heran, karena sudah menjadi keseharian Tejo pergi ke sawah setelah sarapan.

"Nanti ada blantik mau kesini, mau lihat-lihat sapi." Akhirnya lelaki itu berkata setelah dilihatnya sang istri seperti kebingungan.

"Oh ... memang ibu mau jual sapi? Kira-kira buat apa ya, Mas?" Surti mendekati suaminya, ingin mendengar jawaban Tejo tentang rencana orang tuanya yang akan menjual hewan ternak mereka.

"Ya, mana Mas tahu, mau belikan kamu kalung kali." Tejo menggoda istrinya.

"Aamiin," ucap Surti antusias, mereka pun tertawa bersama. Ada sedikit kebahagiaan dan harapan ketika Surti mendengarnya. Tejo, menghela napasnya kemudian tersenyum melihat istrinya tertawa. Hal sepele yang bisa membuatnya merasa bahagia. 

***

Dua ekor sapi jantan terjual dengan harga tinggi, satu sapi seharga 29 juta. Surti bahagia, membayangkan uang yang akan diberi oleh orangtuanya. Bagaimana juga, suaminya lah yang merawat sapi-sapi tersebut, jadi paling tidak dia berharap akan diberi setidaknya 10 persen dari hasil penjualan. Surti ingin membeli kalung, seperti yang dikatakan Tejo kemarin.

Senyum di wajah Surti sirna seketika, wanita berlesung pipi itu sungguh kecewa bahkan teramat kecewa. Uang hasil penjualan sapi ternyata untuk Murti--adiknya. Suami Murti hendak membeli mobil dan uang hasil penjualan sapi dipakai untuk menambah kekurangan DP. 

Surti hanya diberi uang seratus ribu, itu pun dikasihkan ke Wahid. "Wahid, nih nenek kasih uang buat beli susu," kata Mak Dami sambil menaruh uang di tangan Wahid. 

"Sana ajak Ibu- Bapakmu belanja, bisa dapat beli bakso juga itu," imbuhnya.

"Iya, Nek. Terima kasih." Walaupun kecewa, Surti masih menjawab, dia mewakili putranya yang belum pandai bicara, balita itu tersenyum girang saat didekati neneknya.

***

Setengah hari Tejo di sawah, ada saja yang dikerjakan olehnya. Menjelang waktu Dzuhur baru dia akan pulang, membawa serta rumput untuk pakan ternaknya.

Setelah sampai di rumah lelaki itu tidak langsung beristirahat, dia langsung mengurus sapi-sapi. Memberi makan dan minum, juga membuang kotorannya.

"Apak," panggil Wahid. Balita itu sedang lucu-lucunya, baru belajar bicara, dan 'Apak' adalah kata pertamanya.

Tejo menoleh lalu lelaki berbadan kekar itu tersenyum ketika mendapati anak dan istrinya ada di depan kandang. Tejo pun mencuci tangan dan kakinya lalu mendekati Surti yang tengah menggendong putranya, tangan kekar berwarna cokelat itu meraih buah hatinya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tersenyum gembira.

"Anak bapak sudah besar," ucap Tejo sambil mencium perut putarnya, membuat balita itu tertawa karena kegelian.

"Sudah, ya ... ikut ibu lagi, bapak belum mandi," imbuhnya sambil memberikan Wahid pada Surti. Begitulah keseharian Tejo, melakukan banyak hal, tapi tak pernah terlihat di mata mertuanya.

***

"Panen jagung kali ini bakalan bagus, Dik." Tejo mengawali obrolan, kebiasaan yang selalu mereka lakukan menjelang tidur.

"Alhamdulillah," sahut Surti penuh syukur.

"Dik---" Tejo menggantung kalimatnya. Dia bingung bagaimana harus memulainya.

"Ada apa, Mas?" Karena penasaran, Surti pun menghadap suaminya.

"Sebenarnya sudah lama, Mas mau membicarakan ini. Bagaimana kalau kita mencoba mandiri." Ragu Tejo berucap.

"Maksudnya, Mas ingin kita keluar dari rumah ini?" tanya Surti mempertegas ucapan suaminya.

"Iya," jawab Tejo pelan.

Surti bisa memahami keinginan suaminya, hidup mandiri dan bisa menikmati hasil kerja keras mereka. Di sini mereka memang tidak pernah merasakan kekurangan. Tapi mereka jarang memegang uang. Hasil panen dan penjualan sapi selalu dipegang orang tuanya. 

Tejo tidak pernah bekerja di tempat orang lain, setiap hari dia pergi ke sawah atau kebun milik mertuanya. Merawat dan mengolahnya, sehingga tanamannya selalu tumbuh subur .

Sekarang mereka tak sendiri, ada Wahid yang harus dicukupi kebutuhannya. Setiap panen Surti memang dikasih uang oleh orang tuanya. Tapi tak seimbang dengan kerja keras Tejo. Berbeda dengan Murti adik Surti, Murti selalu dikasih banyak dengan alasan mereka tak tinggal serumah. Jarang merepotkan, begitu kata orang tuanya. Murti juga dianggap berjasa, karena setiap bulan selalu memberi uang kepada orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun