"Bukan, tapi gugur dalam tugas. Itu sudah resiko."
"Segampang itukah?"
"Permasalahan ini terlalu pelik untuk disampaikan. Hanya keluarga terdekat saja yang akan diberi penjelasan sedetail-detailnya. Maafkan saya."
Terjawab sudah penantian panjang selama 3 minggu ini. Kabut mendung menyelimuti hari-hari Nuri. Ingin rasanya ia bertemu orang tua Jaka untuk menyampaikan duka cita. Sayangnya ia belum sempat dikenalkan kepada orang tua Jaka. Ia pun juga tahu, mereka pasti sedang sedih-sedihnya karena anak kebanggaannya kini tak tahu rimbanya.
Ia pun mengurungkan niatnya. Pelan tapi pasti Nuri mencoba menjalani harinya kembali. Mengubur semua kenangan indah tentang Jaka. Membuang harapannya untuk menikah tahun depan. Dan melupakan semua senja yang terlewati bersama. Bahkan Nuri sampai membenci senja. Ia selalu mengurung diri di kamar ataupun perpustakaan kampus tiap senja datang. Senja telah menciptakan kenangan tersendiri antara dia dengan Jaka.
Tiga bulan telah berlalu. Semua sudah terasa normal kembali. Nuri adalah gadis yang kuat. Life must go on, itu yang selalu ada di dalam pikirannya sehingga ia cepat bangkit kembali.
"Apa kabar Nuri? Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke hpnya. Terlihat nama Raga sang pengirim pesan.
"Kabar baik, kamu sendiri bagaimana?"
"Baik juga. Akhir pekan ini saya ada libur. Kalau tak keberatan, bolehkah saya berkunjung ke kost?"
Nuri sempat ragu untuk mengatakan iya. Tapi ia kemudian berfikir, mungkinkah ada kabar tentang Jaka? Akhirnya Nuri memberikan alamat kostnya. Sabtu sore, sesuai waktu yang dijanjikan Raga datang berkunjung. Tak seperti pertemuan pertama, kali ini Raga berpakaian casual. Tampilannya tak seperti tentara lagi. Ia justru berpenampilan seperti seorang mahasiswa.
Raga kemudian bercerita. Ia berpenampilan seperti itu karena sedang menempuh pendidikan khusus intelijen. Sekolah mewajibkannya untuk berpenampilan layaknya masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu kini Raga tak lagi berambut cepak, tak berseragam, dan tak lagi kaku dalam berbicara. Ia lebih luwes dan menarik