Mohon tunggu...
koko anjar
koko anjar Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penikmat senja dengan segala romantikanya. Menyukai kopi dan pagi sebagai sumber inspirasi dan dapat ditemui di Hitsbanget.com.

Seorang penikmat senja dengan segala romantikanya. Menyukai kopi dan pagi sebagai sumber inspirasi dan dapat ditemui di Hitsbanget.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Kilat-part 1

21 November 2018   21:05 Diperbarui: 21 November 2018   21:10 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cuaca di bulan Juli sedang panas-panasnya ketika Satria sedang mengikuti masa orientasi siswa di sekolahnya. Sebenarnya kegiatan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru yang berlangsung selama 3 hari sudah usai. Namun masa orientasi yang sesungguhnya baru dimulai di hari keempatnya menggunakan seragam putih abu-abu.

Perploncoan di tahun 2004 merupakan hal yang lumrah dialami oleh siswa baru. Tak terkecuali dengan Satria dan teman-teman satu angkatannya. SMA Kridajasa Nusantara tempatnya sekolah dikenal sebagai salah satu sekolah unggulan di timur Kota Jogja dan kegiatan perploncoan di sekolah ini bisa dibilang cukup menakutkan bagi siswa baru.

Kegiatan perploncoan itu biasa disebut dengan sebutan Pekan Bakti Perdana. Pelaksanaanya hanya 3 hari usai MOS berlangsung, namun rasanya seperti 1 pekan.

"Siswa Satria kamu bisa lari tidak?" terdengar teriakan keras dari seorang senior yang berdiri di depan pintu gerbang masuk sekolah.

"Siap kak!" jawab Satria dengan tak kalah tegasnya. Sejurus kemudian ia sudah berdiri di depan senior yang memanggilnya tadi.

"Kamu kenal saya?" Tanya senior berwajah tampan tapi terkesan angkuh dan dingin itu.

"Siap tidak kak."

"Apatis kamu, ambil jatah push up 50 kali dulu lah."

Dengan perasaan dongkol, Satria pun lantas mengikuti perintah seniornya itu. Padahal ia memang belum kenal dan sang senior juga belum memperkenalkan diri.

"Kamu ingat-ingat nama saya, Hasan Sadili, Komandan Polisi Siswa!"

"Siap kak!"

"Ya sudah sana masuk ke barisanmu!"

Satria lantas bergegas untuk mencari teman-teman satu kelasnya. Dasar apes, ternyata ada salah satu temannya yang tidak membawa atribut yang diwajibkan untuk dipakai di kegiatan Pekan Bakti Perdana tersebut. Saat ia masuk barisan, teman-temannya sudah dalam posisi berdiri tegap menghadap sinar matahari tanpa gerakan sedikitpun
"Siswa Satria segera masuk barisan" teriak salah satu senior yang berdiri di depan barisan.

"Siap kak"

"Kamu tahu kenapa teman-temanmu saya hukum begini?"

"Siap tidak kak"

"Kamu lihat Feri, atributnya lengkap tidak?"

"Siap tidak kak, dia tidak pakai topi bola"

Topi bola yang dimaksud Satria adalah topi yang dibuat dari bola plastik yang dibelah menjadi dua. Di bagian tengahnya diberi hiasan dengan tali rafia 5 warna. Entah darimana dasarnya, para senior yang terdiri dari siswa kelas 2 dan kelas 3 memberikan filosofi 5 warna itu sebagai dasar negara kita yakni Pancasila, jadi harus selalu menjunjung tinggi dasar negara tersebut.

"Biar kalian ingat, kalian berdiri menghadap matahari dengan sikap sempurna, tanpa ada tambahan gerakan sedikitpun"

"Siap kak" jawab anak-anak kelas 1A, kelasnya Satria, secara serempak.

"Kalian baru boleh bergerak setelah persiapan upacara pembukaan nanti" lanjut senior yang lain.

Waktu itu menunjukkan pukul 14.05, sementara upacara pembukaan sendiri direncanakan baru dimulai pukul 14.30. Itu berarti mereka akan berdiri mematung selama 25 menit dengan menghadap matahari. Rasa lelah dan amarah kepada Feri bercampur menjadi satu. Tapi semarah apapun mereka, tetap saja perintah untuk berdiri mematung harus dilaksanakan.

Jam yang dinanti akhirnya tiba. Troat jam 14.30 upacara pembukaan dimulai. Total sebanyak 240 siswa baru SMA Kridajasa Nusantara menjadi peserta Pekan Bakti Perdana. 240 orang siswa baru itu akan dilatih dan diawasi oleh senior dari kelas 2 dan kelas 3 selama kegiatan berlangsung. Jumlahnya hanya 40 orang, namun jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk membuat 240 orang juniornya menderita setidaknya dalam 3 hari kedepan.

Usai upacara pembukaan, satu persatu seniornya memperkenalkan diri. Seluruh siswa kelas 1 disuruh duduk bersila dengan rapi, 40 orang seniornya berdiri di depan mereka.

Para senior mulai maju satu per satu. Mereka memperkenalkan diri dengan menyebut nama, kelas, asal, dan jabatan di organisasi kesiswaan. Setelah selesai, Ketua Osis sekaligus ketua pelaksana kegiatan tampil ke depan panitia.

"Semua senior sudah memperkenalkan diri, tugas kalian yang pertama adalah wajib hafal biodata senior kalian. Kalau ditanya tidak bisa menyebutkan dengan benar, resiko tanggung sendiri!" katanya dengan sedikit bengis.

Celaka bagi Satria, dengan sisa tenaga yang ada setelah lari, push up, sikap sempurna lalu upacara, membuat daya ingatnya terbatas. Ia hanya ingat Hasan Sadili, komandan Polsis yang mencegatnya di gerbang sekolah dan satu orang lagi seniornya yang cantik jelita, Puspitaningrum namanya.

Berbeda dari senior lain yang seakan menunjukkan kebengisannya, Puspita justru menunjukkan wajah ademnya. Ia seakan menjadi oase ditengah padang pasir gersang yang dirasakan Satria. Selain dua orang itu, Satria lupa namanya.

Kegiatan harus break dulu karena sholat asar. Setelah sholat, materi dilanjutkan dengan pelatihan baris-berbaris. Keinginan keras Satria untuk bisa masuk sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera membuatnya serius dalam mengikuti setiap instruksi yang diberikan seniornya.

Kebetulan pendamping kelasnya adalah Puspita. Satria pun jadi semakin semangat. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Kegiatan hari pertama telah selesai. Seluruh siswa kelas 1 dikumpulkan untuk mendapat arahan tentang tugas yang harus diselesaikan untuk kegiatan di hari ke-2. Setengah jam kemudian kegiatan hari pertama benar-benar tlah usai.

Satria berjalan gontai ke halte bus. Ia duduk sendirian. Kebetulan teman-temannya sudah pulang karena dijemput orang tuanya. Selama kegiatan Pekan Bakti Perdana, tak ada satupun anak kelas 1 yang boleh membawa motor.

Menit demi menit berlalu, adzan magrib sudah terdengar namun bus yang ditunggu tak kunjung datang. Tiba-tiba dari arah sekolahnya terdengar suara motor suzuki smash yang kemudian berhenti di dekatnya. Satria menoleh, membetulkan posisi duduk lalu menyapa perempuan yang duduk diatas motor itu.

"Eh, sore kak"

"Udah santai aja, ini kan udah diluar kegiatan. Gak perlu kaku kayak gitu. Nungguin siapa?"

"Oh..iya kak..ini nunggu bus, tapi udah setengah jam gak dateng-dateng juga."

"Memang mau pulang kemana?"

"Patuk kak"

"Lhoh, Patuknya mana?"

"Sambipitu"

"Wah searah donk, udah barengan aku aja biar gak kemaleman"

"Gak papa ni kak?"

"Daripada kamu gak bisa pulang!? Udah sini bareng aja, eh gak usah panggil kakak gitu lah kalau lagi di luar gini. Panggil aja aku Puspita."

"Oh, iya...oke lah kalau begitu. Aku Satria Dirgantara, panggil aja Satria."

"Udah tahu"

"Kok bisa? Kan kita belum kenalan"

"Tuh...nama kamu tertulis sebesar itu masak aku gak bisa baca"

Satria lalu melihat ke dadanya. Papan nama sebesar plat mobil masih terpasang di dadanya. Ia tersenyum lalu melepasnya.

Rumah Satria dan Puspita ternyata cukup dekat. Puspita tinggal di Sambisari, sedangkan Satria di Sambipitu. Jarak dari Sambisari ke Sambipitu hanya 5 km. Namun karena sudah beda kampung, Satria jadi tak pernah kenal dengan Puspita sebelumnya.

"Makasih yaa"

"Iya sama-sama, besok mending suruh jemput aja. Jam segitu bis yang kearah sini sudah gak ada"

"Iya gampang lah besok"

"Jangan nggampangin, ngalamat tidur disekolah kamu nanti. Dah, aku pulang dulu yaa."

"Siapp kakakk..terimakasih" jawab Satria dengan perasaan bungah di hatinya.

Benar-benar hari yang melelahkan. Meskipun demikian, setidaknya ia bisa menutup hari itu dengan kemenangan karena diantar pulang oleh satu-satunya senior perempuan yang biodatanya mampu dia ingat. Karena saking lelahnya, Satria tertidur masih dengan seragam latihan PBPnya. Tugas yang hatus disiapkan untuk latihan besok sama sekali tak disiapkannya.

Seperti hari-hari biasanya, Satria bangun jam 5 pagi. Itu adalah hati kelimanya bersekolah. Ia baru sadar kalau tugas untuk kegiatan sore nanti belum disentuhnya sama sekali. Tapi pikiran nakalnya muncul, buat apa dikerjakan, toh nanti kalau dihukum bareng-bareng juga. Ia pun lantas siap-siap untuk berangkat sekolah.

Jam 13.30 apel siang PBP dimulai. Satu per satu siswa baru dicek kelengkapan atribut dan tugas yang dibawanya. Penderitaan Satria dimulai.

"Siswa Satria, mana tugas yang kemarin dikasih sama senior?" tanya Ivan Lenin, salah satu senior yang berbadan kecil tapi punya gerakan licah. Maklum, Ivan adalah seorang atlit pencak silat. Jadi badannya terlihat "kencang" meski terbilang kecil.

"Siap lupa kak" jawab Satria dengan tegas. Namun ketegasannya itu tak berarti apa-apa di depan Ivan.

"Kamu push up 100 kali!"

"Siap kak"

Waktu perlahan berlalu

"Kenapa berhenti?"

"Siap sudah 100 kali kak"

"Ya udah, saya kasih bonus 100 kali lagi"

"Siap kak" Dengan tangan menggigil karena kelelahan, Satria melanjutkan push upnya. Di hitungan ke 50 ia sudah tak mampu lagi.

"Dah gak kuat?"

"Gak kuat kak"

"Oke..sekarang berdiri, ambil nafas. Istirahat sebentar."

Betapa leganya Satria mendengar perintah itu. Akan tetapi 30 detik kemudian Ivan kembali memberi perintah untuknya.

"Sekarang kamu lari keliling lapangan basket ini 40 kal!"

Teman-temannya sudah mulai istirahat sholat asar saat ia memasuki putaran ke 40. Badannya benar-benar lemas. Ingin rasanya pingsan saja agar ditolong oleh PMR yang memang di stanbykan untuk mengatasi siswa yang kolaps. Hanya saja ia tak mungkin melewatkan kesempatan untuk mengikuti latihan baris-berbaris agar dirinya bisa bergabung dengan Paskibra.

"Setelah ini kamu sholat asar, habis itu cari saya lagi di ruang panitia"

"Siap kak"

Masuk ruang panitia sama saja masuk kandang macan. Disitu ada 40 orang senior yang bisa "memakannya" hidup-hidup. Benar saja, baru sampai depan ruangan, ia langsung dapat bonus 50 kali scotjump. Para senior tahu kesalahan Satria. Sementara Ivan sengaja bersembunyi di dalam ruangan agar Satria dikerjai dulu sama senior yang lain.

Di dalam ruangan panita, hawa pengap benar-benar terasa. Ruangan OSIS yang berukuran 66 meter persegi itu penuh dengan barang-barang dan senior yang sedang istirahat. Satria dikerjain habis-habisan. Dari tindakan fisik seperti scoutjump dan push up sampai hal konyol macam nyanyi lagu bintang kecil sambil ngangkat galon berisi air penuh.

Brukk..galon terjatuh. Satria tak kuat lagi. Ia pingsan. PMR pun membawanya ke ruang UKS.

10 menit kemudian ia tersadar.

"Udah sadar? Nih minum dulu"

Puspita sudah berdiri disampingnya sambil menyodorkan segelas teh hangat.

"Saya gak kuat kak,  tadi siang lupa gak makan siang. Semalem ketiduran jadi gak sempat ngerjain tugas."

"Hhhh...kamu sih gak bisa atur waktu. Jadi dikerjain kan sama temen-temenku."

"Lhah, kok kakak gak ikut ngerjain?"

"Kamu gak lihat ini!" kata Puspita sambil menunjuk ban palang merah yang melingkar di lengan kirinya.

"Aku itu ketua PMR, jadi masuk ke panitia untuk menolong siswa baru yang tumbang kaya kamu"

"Oh..pantes gak kelihatan galak"

"Mau aku galakin?"

"Jangan donk...bukannya jadi sembuh, malah tambah sakit nanti"

"Dah kamu istirahat dulu, aku mau ke depan, nanti kamu pulang bareng aku lagi aja. Gak ada yang jemput kan???"

"Iya kak"

Satria ditinggal sendiri di ruang UKS. Posisi ruang UKS yang berada di belakang sekolah membuat ruangan itu terasa sepi. Apalagi waktu itu sudah jelang magrib. Rasa takut dan ingin gabung dengan teman-temannya di lapangan depan mendadak muncul. Akan tetapi kalau ingat bagaimana ia dihukum tadi, membuatnya berfikir lebih baik ketemu setan daripada senior. Satria pun memilih untuk tidur. Lagian kepalanya juga masih pusing.

"Ayok pulang...udah selesai kegiatannya"

Sambil setengah tersadar, Satria terbangun dari tempat tidur.

"Terus tugasku buat besok bagaimana kak? Hukuman dari kak Ivan??"

"Aku dah bilang ke Ivan tadi. Kamu aman kok tenang aja. Nih aku catetin apa yang harus kamu bawa besok. Jangan sampai gak dikerjain. Kamu terlalu kuat buat tidur di ruangan ini."

Satria hanya tersenyum kecut. Dilihatnya daftar tugas yang diberikan Puspita. Ia besok harus membawa buah pir malang biji hitam, indomi rasa jeruk purut, dan air suci. Istilah yang membuatnya mengernyitkan dahi.

"Makasih ya...kamu jadi nganterin aku dua hari ini"

"Eh...kamu pikir ini gratis?"

"Lhah...bayar to?"

"Kencing aja bayar"

Satria lantas mengeluarkan dompetnya. Ia pikir Puspita memintanya uang untuk ganti bensin.

"Mau ngapaain?"

"Buat bensin tadi, kan aku dah bonceng."

"Udah gak usah...bayar lain kali aja.. Tapi aku yang tentuin"

"Maksudnya?"

"Kapan-kapan aja kalau aku inget yaa..aku pulang dulu, jangan lupa tugasnya dikerjain!"

Puspita menstater motornya lalu meninggalkan Satria yang masih berdiri kebingungan. Namun ia tak terlalu memikirkan hal itu. Ia justru memikirkan tugas-tugas aneh yang diberikan seniornya.

Sesampainya di rumah Satria terus memikirkan tugas itu. Setelah beberapa saat berfikir, ia baru tersadar kalau itu semua kiasan. Air suci maksudnya air yang jernih. Buah pir malang berbiji hitam adalah apel, karena apel bentuknya menyerupai buah pir. Lalu indomi rasa jeruk purut? Ah..tinggal kasih tempelan indomi rasa jeruk purut saja di plastiknya. Selesai perkara.

Malam itu Satria bisa tidur dengan tenang. Apalagi besok adalah hari tetakhir dari pekan yang melelahkan. Tak sabar rasanya untuk menantikan hari esok. Sesaat sebelum  tidur, ia kembali mengingat Puspita.

Ia masih merasa aneh, kenapa ada senior sebaik Puspita. Sudah cantik, baik, dan pengertian lagi. Namun Satria tahu diri. Ia masih anak baru di sekolah yang mengunggulkan senioritas diatas segalanya. Ia harus bisa mengontrol perasaannya. Setidaknya sampai masa orientasi siswa baru benar-benar sudah berakhir.

Waktu yang dinantikan akhirnya tiba. Tak ada yang istimewa dari hari Sabtu itu, hari terakhirnya mengikuti latihan Pekan Bhakti Perdana. Kalaupun ada yang menyenangkan, mungkin itu cuma sepenggal kalimat yang terlontar dari mulut kepala sekolah yang menyatakan bahwa PBP telah resmi ditutup.

Siswa baru dan para senior membaur menjadi satu. Mereka saling bermaafan, seolah-olah ingin menegaskan bahwa segala hal yang terjadi selama 3 hari itu hanyalah akting belaka. Di tengah haru-biru siswa yang memadati lapangan apel SMA Kridajasa Nusantara, Satria mencari Puspita. Ia tak terlihat diantara rekan-rekan senior. 

"Kak Ivan, Kak Puspita kemana ya? kok gak kelihatan."

"Oh, Pita...dia gak masuk. Lagi sakit katanya. Ada apa? Mau ngasih coklat yaa? Memberikan coklat untuk senior tervavorit adalah tradisi dari tahun ke tahun selepas penutupan PBP. Satria memang hendak memberikan coklat untuk Puspita.

"Ah, enggak kok. Cuma heran aja kok gak kelihatan padahal kan biasanya selalu stand by di belakang barisan."

Pada akhirnya Satria memasukkan kembali coklat yang sekiranya akan diberikan kepada Puspita. Sebuah coklat bermerk tobleron dengan hiasan pita merah muda, di sela-sela ikatan pita terselip selembar kertas memo kecil berisi ucapan terimakasih.

Sabtu sore hujan melanda Jogja. Sambil menatap air hujan yang menetes dari atas genting rumahnya, Satria berfikir kenapa tak menjenguk Puspita dirumahnya. Toh rumah mereka hanya berjarak satu lemparan batu saja. Dalam hatinya ia berjanji kalau habis magrib hujan reda, ia akan bergegas ke rumah Puspita.

Semesta ternyata merestui keinginan Satria. Beberapa saat usai sholat magrib, hujan reda. Tanpa pikir panjang lagi Satria segera mengenakan jaket dan mengeluarkan sepeda motor andalannya, Supra X. 

"Mau kemana Sat?" Tiba-tiba terdengar suara bapaknya dari arah dapur."

"Ini pak, mau nganter barang ke tempat senior. Gak jauh kok, cuma di Sambisari." 

"Jangan malem-malem pulangnya!"

"Iya pak"

Satria mau tak mau harus sedikit berbohong pada ayahnya. Kedua orang tuanya belum memberikan lampu hijau untuk pacaran meski Satria sudah kelas 1 SMA. Sedangkan di malam minggu, pergi ke rumah seorang teman perempuan di kawasan perkampungan sudah dianggap apel. 

Tidak sulit mencari rumah Puspita. Ternyata Puspita adalah anak Camat Patuk yang kebetulan rumah dinasnya di Sambisari. Wajar selama ini Satria tak pernah mengenal Puspita, sebab baru 1,5 tahun ini ia pindah mengikuti penempatan tugas ayahnya. 

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam" Sesosok pria kekar dengan kumis tebal membuka pintu. Sambil menatap dengan sedikit aneh kepada Satria, ia lantas menanyakan ada keperluan apa kepada anak muda yang berdiri di depannya.

"Perkenalkan saya Satria pak, teman sekolahnya Puspita."

"Oh...iya..mari sini masuk dulu." Mimik muka serta sikap dingin ayah Puspita mendadak berubah usai tahu bahwa Satria adalah teman satu sekolahnya. 

"Puspita tadi tidak masuk, ia mendadak pusing saat mau berangkat sekolah. Daripada terjadi apa-apa dijalan, mending saya suruh istirahat dirumah saja. Sebentar yaa saya panggilkan."

Tidak berselang lama, Puspita muncul dari kamarnya. Tampak wajah ayunya masih sedikit pucat karena kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit. Namun itu sama sekali tak mempengaruhi penampilannya sedikitpun. Ia tetap tampil rapi dan....mempesona Satria.

"Eh..ada Satria. Kok tahu rumahku?"

"Bukan hal yang sulit buat nyari rumah pak Camat...he..he"

"Ah kamu bisa aja. Ada apa nih malem-malem gini main kesini? Mau ngusrus KTP yaa?"

"kamu bisa aja ta...Ya gak lah, umurku baru 16. Heran aja, tadi pas penutupan kamu gak ada. Kata kak Ivan kamu lagi sakit. Ya udah aku cek aja kesini sekalian jalan-jalan."

"jalan-jalan kok kerumah orang sakit. jalan-jalan tuh ya sama pacarnya donk. lagian kan ini malam minggu. Kok gak ngapel?"

"Serius nanya atau ngejek?"

"Dua-duanya."

"Ini kan lagi ngapelin kamu."

"Eh, siswa baru dah mulai berani yaa."

Mereka pun kemudian tertawa bersama. Puspita mendadak lupa kalau ia sedang tak enak badan. Sakit di kepalanya yang sering datang tiba-tiba, juga pergi begitu saja bersamaan dengan datangnya Satria malam itu. Tak terasa jam sudah menunjuk ke angka 9.

"Udah malem, aku pulang dulu yaa."

"iya..makasih yaa udah mau jenguk. Jangan takut buat main kesini. Soalnya banyak yang bilang kalau ayahku nyeremin, jadi pada takut buat main kesini."

"Sereman kak Ivan lahh."

"Tak bilangin lho!"

"Eits...jangan donk. Tanganku masih sakit kalau buat push up lagi. Oh iya, kamu kakak favoritku. Nih buat kamu." Kata Satria sambil menyodorkan coklat tobleron yang sejak tadi disembunyikan dalam tasnya.

"waa..makasih yaa. Coba tadi aku gak sakit, pasti pulang sekolah bawa satu tas plastik berisi coklat."

"yee malah ke ge eran"

Setelah berpamitan dengan orang tua Puspita, Satria beranjak pergi dari rumah dinas itu. Tak berapa lama kemudian gerimis turun dari langit. Hujan di musim kemarau, sebuah berkah tersendiri bagi orang kampung yang mulai kesulitan mendapatkan air. Di dalam kamar sambil mendengarkan lagu melalui tape recordernya, Puspita membuka coklat yang diberikan Satria. Ia juga membuka selipan kertas catatan yang ada di pita.

Terimakasih untuk 3 hari yang berkesan ini.

Satria Dirgantara....

Mendadak kalimat itu membuat waktu seakan berhenti berputar. Puspita hanya tersenyum sambil terus memandangi kalimat sederhana itu. Tanpa tersadar, ia baru saja merasakan yang namanya jatuh cinta.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun