Waktu yang dinantikan akhirnya tiba. Tak ada yang istimewa dari hari Sabtu itu, hari terakhirnya mengikuti latihan Pekan Bhakti Perdana. Kalaupun ada yang menyenangkan, mungkin itu cuma sepenggal kalimat yang terlontar dari mulut kepala sekolah yang menyatakan bahwa PBP telah resmi ditutup.
Siswa baru dan para senior membaur menjadi satu. Mereka saling bermaafan, seolah-olah ingin menegaskan bahwa segala hal yang terjadi selama 3 hari itu hanyalah akting belaka. Di tengah haru-biru siswa yang memadati lapangan apel SMA Kridajasa Nusantara, Satria mencari Puspita. Ia tak terlihat diantara rekan-rekan senior.Â
"Kak Ivan, Kak Puspita kemana ya? kok gak kelihatan."
"Oh, Pita...dia gak masuk. Lagi sakit katanya. Ada apa? Mau ngasih coklat yaa? Memberikan coklat untuk senior tervavorit adalah tradisi dari tahun ke tahun selepas penutupan PBP. Satria memang hendak memberikan coklat untuk Puspita.
"Ah, enggak kok. Cuma heran aja kok gak kelihatan padahal kan biasanya selalu stand by di belakang barisan."
Pada akhirnya Satria memasukkan kembali coklat yang sekiranya akan diberikan kepada Puspita. Sebuah coklat bermerk tobleron dengan hiasan pita merah muda, di sela-sela ikatan pita terselip selembar kertas memo kecil berisi ucapan terimakasih.
Sabtu sore hujan melanda Jogja. Sambil menatap air hujan yang menetes dari atas genting rumahnya, Satria berfikir kenapa tak menjenguk Puspita dirumahnya. Toh rumah mereka hanya berjarak satu lemparan batu saja. Dalam hatinya ia berjanji kalau habis magrib hujan reda, ia akan bergegas ke rumah Puspita.
Semesta ternyata merestui keinginan Satria. Beberapa saat usai sholat magrib, hujan reda. Tanpa pikir panjang lagi Satria segera mengenakan jaket dan mengeluarkan sepeda motor andalannya, Supra X.Â
"Mau kemana Sat?" Tiba-tiba terdengar suara bapaknya dari arah dapur."
"Ini pak, mau nganter barang ke tempat senior. Gak jauh kok, cuma di Sambisari."Â
"Jangan malem-malem pulangnya!"