"Jika ada yang bisa aku bantu, katakan saja, ya?" ucap PetraÂ
Lene menatap Petra sejenak dan kemudian mengalihkan pandangannya. "Kamu gak akan ngerti, Petra. Kamu gak akan  merasakan tekanan yang aku hadapi," ucapnya dengan nada sinis.
Petra merasa sedih. Dia tidak ingin membuat kakaknya semakin tertekan. "Aku hanya ingin membantu, Kak. Kita bisa melaluinya bersama-sama," ucap Petra, tetapi Lene hanya menutup buku dan pergi ke kamarnya.
Waktu ujian masuk perguruan tinggi pun tiba. Lene berjuang keras, tetapi di dalam hatinya, dia merasa semakin pesimis. Ketika hasil ujian diumumkan, Lene merasa jantungnya berdebar kencang. Dia berharap bisa mendapatkan hasil yang baik, tetapi saat melihat nama-nama yang diterima, harapannya hancur.
"Tidak ada namaku," bisiknya, air mata mulai menggenang. Dia merasa kegagalan ini adalah titik terendah dalam hidupnya.
Ketika dia pulang, ayah sudah menunggu di ruang tamu, tampak gelisah. "Lene, bagaimana hasil ujianmu?" tanya ayah, penuh harapan.
Lene tidak bisa menahan diri. "Aku... aku tidak diterima, Ayah," ucapnya sambil menangis.
Ayah terdiam sejenak, wajahnya berubah menjadi kemarahan. "Kamu harusnya lebih berusaha, Lene! Semua orang mengandalkanmu!" teriak ayah, suaranya menggema di ruangan.
Lene merasa hatinya hancur. "Aku sudah berusaha, Ayah! Tetapi itu tidak cukup untukmu!" teriaknya kembali, melepaskan semua emosi yang terpendam.
Sejak hari itu, hubungan antara Lene dan ayah semakin renggang. Lene merasa semakin terasing, dan kebencian mulai menggerogoti hatinya. Dia merasa ayah tidak pernah mengerti dan hanya melihatnya sebagai alat untuk memenuhi harapannya.
Petra berusaha mendekati kakaknya, tetapi Lene semakin menjauh. "Kamu gak akan ngerti apa yang aku rasakan, Petra. Kamu hanya seorang anak yang selalu dipuji. Sementara aku... aku gagal!" ucap Lene dengan nada yang penuh amarah.