"Kenapa aku tidak bisa menjadi seperti mereka?" Lene berbisik pada diri sendiri. "Kenapa aku selalu diremehkan, dan hidupku sangat tidak adil." Air mata mengalir di pipinya, dan dia merasakan sakit yang mencekik di dadanya. Lene ingin berteriak, tetapi rasanya semua suara itu terjebak di dalam hatinya.
Suatu malam, ketika ayah pulang, Lene memberanikan diri untuk berbicara. "Ayah, aku ingin membicarakan tentang pilihan yang aku ambil di perguruan tinggi," katanya, suaranya bergetar.
"Apa ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya ayah, tampak serius.
"Aku ingin menjadi arsitek, tetapi aku tahu kamu ingin aku menjadi diplomat. Aku merasa tertekan dengan semua tuntutan itu," ungkap Lene, suaranya hampir tidak terdengar.
Ayah terdiam dan menatapnya tajam. "Lene, menjadi diplomat adalah pilihan yang baik. Kamu harus fokus pada itu. Arsitektur bukanlah karier yang menjanjikan," jawab ayah dengan nada tegas.
Lene merasa hatinya hancur. "Tetapi, Ayah, aku tidak ingin hidupku hanya untuk memenuhi harapan Ayah saja. Aku ingin melakukan sesuatu yang aku cintai," ucapnya, berusaha menahan air mata.
"Jika kamu tidak bisa memenuhi harapanku, maka kamu akan menyesal di kemudian hari," kata ayah, tidak memberi ruang bagi Lene untuk berbicara lebih banyak.
Lene merasa terpuruk. Dia merasa tidak ada jalan lain kecuali menerima harapan ayahnya. "Baik, Ayah. Aku akan berusaha menjadi diplomat seperti yang ayah harapkan," jawabnya, suaranya penuh kesedihan.
Petra melihat perubahan pada kakaknya dengan penuh keprihatinan. Dia ingin membantu, tetapi Lene semakin menutup diri. Suatu malam, saat Lene belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi, Petra memberanikan diri untuk berbicara.
"Kak, bagaimana persiapan ujianmu?" tanya Petra, mencoba membuka percakapan.
"Baik," jawab Lene singkat, tanpa menatap Petra.