Ruang tamu terasa sepi, bayangan lampu jatuh di dinding, mengingat waktu sore menjelang malam. Udara dingin merembes melalu celah jendela. Tirai berkibas kencang membawa aroma segar dari tanah yang akan basah. Meskipun langit di luar terlihat cerah, hati seolah diliput awan mendung. Ibu terlihat sangat letih setelah menyelesaikan tumpukan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya.Â
Setelah membereskan rumah Ibu masih terus bergelut dengan mesin jahit dan beberapa tumpukan desain kain yang harus diselesaikan segera. Usaha Ibu demi keluarga ini, meski senyumnya tak lagi secerah biasanya.
Di sisi lain, dia merasa semakin asing dari kakaknya, Lene. Kakak perempuan yang dulunya ceria kini hanya menyisakan rasa benci dan cemburu dalam hati Petra. Dia membenci Petra yang selalu dianggap lebih baik, lebih ceria, dan lebih mudah diterima di lingkungan sekitar. Sementara Petra tampak tidak menyadari beban emosional yang dihadapi kakaknya.
Petra memperhatikan ibunya yang sedang duduk di meja jahit, wajahnya tampak lelah, tetapi dia terus berusaha menyelesaikan pekerjaannya. Petra tahu bahwa ibunya adalah sosok yang kuat, tetapi dia juga bisa melihat senyum ibunya yang semakin memudar. "Bu, apakah kakak belum pulang?" tanya Petra, berusaha membuka percakapan.
"Belum, dek. Kakakmu pasti masih di sekolah. Dia ada rapat," jawab Ibu dengan suara lembut, namun Petra bisa merasakan ada kecemasan dalam nada ibunya.
Petra mengangguk, tetapi hatinya semakin berat. Kakak perempuannya, Lene, adalah sosok yang selalu membuatnya penasaran. Petra merasa ada jarak yang semakin besar di antara mereka. Lene, yang dulunya adalah kakak yang ceria, kini tampak seperti bayangan yang hilang dalam kesedihan.
Setiap malam, Petra merindukan momen-momen ketika Lene masih mau bermain bersamanya. Kenangan indah itu terasa jauh dari jangkauannya. Lene yang dulunya suka bercerita tentang mimpinya, kini tampak seperti bayangan yang menghindar dari kenyataan. Petra merasa seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Dia merasa bersalah karena seolah-olah menjadi penyebab perubahan kakaknya.
Petra mencoba untuk mengingat kembali saat-saat bahagia mereka. Dia ingat ketika Lene membawanya ke taman dan mereka bermain bersama, tertawa bahagia. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan. Lene berubah menjadi sosok yang pendiam, selalu menutup diri dari Petra. Apakah Petra terlalu egois untuk berharap kakak kembali seperti dulu?
Hujan mulai turun dengan deras, menambah suasana mendung di dalam hati Petra. Dia mendengar suara isakan dari kamar Lene. Petra merasa sangat ingin mengetuk pintu dan menanyakan apa yang terjadi, tapi dia hanya bisa diam. Dia takut jika mengganggu kakaknya, perasaannya yang sudah rapuh akan semakin hancur.
Di dalam kamar, Lene duduk di atas tempat tidurnya, memegang buku catatan yang kosong. Dia merasa terjebak dalam dunia yang tidak adil. Harapan dan impian yang dulunya cerah kini terasa seperti beban yang harus ditanggung. Setiap kali dia melihat Petra, dia merasa seolah-olah adiknya itu adalah pengingat bahwa dia tidak cukup baik.
Lene mengingat semua tekanan yang diterimanya dari ayah. Setiap kali ayah berbicara tentang masa depan, Lene merasa seolah-olah dia sedang berada di bawah sorotan lampu yang menyilaukan. Ayah selalu membandingkannya dengan teman-temannya yang lebih hebat, membuat Lene merasa seperti kegagalan. Dia merasa terasing, bahkan di dalam keluarganya sendiri.