Harus kuakui, aku kesepian… dan aroma semata tak sanggup menghapus kesendirian itu. Tidak juga A Long yang kini kian diam dan kian jauh….
* * *
Aroma Jiajia lagi, dan aku sudah lelah memanggilnya. Aku berbaring di kursi goyangku. Senyap. Tanpa suara. Sampai bunyi engsel pintu karatan terdengar olehku saat A Long masuk ke rumah.
“A Long,” panggilku. “Bisa tolong bawakan Jiajia ke pangkuanku? Aku ingin menyentuhnya, memeluknya….”
Sunyi lama. Lantas A Long berkata pelan, “Jiajia… sedang main ke luar.” Kata-kata itu dingin bak jarum-jarum es dan tersendat bagaikan dahak di ujung tenggorokan.
Main ke luar?
“Tidak mungkin. Jiajia ada di dekatku,” kataku.
“Pa, mata Papa sudah tidak bisa melihat, bagaimana bisa menyimpulkan kalau Jiajia ada di dekat Papa?” A Long berkelit lagi.
“Aku… aku mencium baunya!” kataku membela diri. “Aku jelas-jelas mencium aromanya, di sini, di dekatku!”
Sunyi lagi. A Long tak berkata-kata.
Aroma itu semakin kuat, ah, semakin tajam, semakin dekat… seolah menyatu denganku, dengan tubuh rentaku…. Aroma itu… aroma itu melekat pada tiap jengkal kulitku. Tidak, bukan… aroma itu… memancar dari pori-poriku….