“A Long…?”
“I… iya, Pa,” terdengar jawab penuh keraguan dari A Long. Keraguan… dan sebersit kekhawatiran tak bernama.
* * *
Aroma aneh yang (anehnya) familier menusuk hidungku saat A Long membuka kukusan jiaozi. Aromanya terasa semakin aneh saat A Long mengunjukkan jiaozi ke mulutku.
“Jiaozi-nya agak aneh,” kataku sembari mengunyah. “Tapi ya sudahlah, kau kan memang belum pernah buat jiaozi sebelumnya….”
A Long melanjutkan menyuapiku tanpa bicara. Aku mengunyah dan memamah, tidak berkomentar sepatahpun lagi, demi menghargai kerja kerasnya membuatkanku jiaozi.
* * *
Aroma Jiajia. Dia ada di dekatku, sangat dekat.
“Jiajia!” panggilku nyaring.
Sunyi. Lagi-lagi. Apakah Jiajia mulai tuli atau apa? Mengapa ia tidak menyalak dan mendatangiku, biar kuraba bulu coklat kasarnya dan ekornya yang berkibas jinak itu?
Aroma Jiajia lagi. Dia selalu ada di dekatku, namun tak pernah lagi aku benar-benar bersentuhan dengannya. Kendati kutahu jarak kami begitu dekat, hatiku meneriakkan sebaliknya. Ia kini terasa begitu jauh dan tak teraih.