Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warisan Gaib (Kisah Nyata)

3 Oktober 2020   23:07 Diperbarui: 3 Oktober 2020   23:09 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Jawa menyebutnya 'prewangan', atau 'khodam' dalam istilah Islam (ilustrasi" umma.id)

"Mam, Sigit ngamuk!"

Tanpa sempat mengucapkan salam, Heru, teman kuliahku langsung masuk ke ruang tamu kontrakan. Aku yang tengah santai membaca cerita silat Kho Ping Hoo terperanjat mendengar perkataannya.

"Ngamuk bagaimana, Her?"

"Gak tahu, kayak kesurupan gitu. Kaca-kaca di kantor fakultas pecah berantakan. Gawat, Mam. Bagaimana nanti kalau Pak Har minta tanggung jawab? Ayo lah buruan. Cuma kamu yang bisa menenangkan Sigit," kata Heru dengan nada khawatir.

Dengan tergesa-gesa, aku berganti pakaian. Rumah kontrakan saat itu sedang sepi. Teman-teman kuliahku yang tinggal bersama sedang keluar semua.

Setengah ngebut sambil salip kanan salip kiri, Heru mengarahkan motornya ke gedung fakultas. Aku baru ingat kalau hari ini hari terakhir masa orientasi mahasiswa baru, dan Sigit termasuk salah satu panitia ospek.

"Kamu langsung masuk saja, di lantai dua. Aku mau parkir motorku dulu," kata Heru lalu mengarahkan motornya ke tempat parkir yang ada di belakang gedung.

Di depan gedung, aku bisa mendengar teriakan serak yang menggema. Kuhela nafas panjang, lalu kulangkahkan kaki masuk ke aula.

Menengadah ke atas, kulihat kaca di pagar pembatas koridor hancur berantakan. Pecahannya berserakan di anak tangga. Kunaiki satu per satu anak tangga sambil melangkah hati-hati agar tidak terkena pecahan kaca.

Pemandangan di koridor lantai dua cukup mengerikan.  Lemari kaca tempat menyimpan aneka plakat penghargaan terguling. Beberapa temanku yang jadi panitia ospek tengah duduk pinggir koridor sambil membalut tangan yang berdarah. 

Melihat kedatanganku, Iwan, ketua panitia Ospek yang sedang jongkok membantu seorang mahasiswi yang terluka, hendak berdiri.  Kulambaikan tangan memberi isyarat agar Iwan tetap di tempat.

Di pojok koridor, di sudut sebelah ruang kuliah, 6 mahasiswa berkerumun memegangi Sigit yang terus meronta. Sesekali terdengar suara menggeram seperti binatang buas yang terluka.

"Git," kupanggil namanya begitu langkahku sudah mendekat.

Mata Sigit yang merah membara melotot ke arahku. Tubuhnya meronta semakin kuat, kakinya menjejak hingga seorang mahasiswa baru yang ikut memegangi kakinya terpental ke belakang. Karena jarakku yang paling dekat, langsung kugantikan tempatnya dan kupegang erat kaki Sigit.

"Git, ini Himam!"

"Ada yang menyerangku, Mam," suara berat dan serak terdengar dari mulut Sigit.

"Nanti saja ceritanya. Sekarang tenangkan dirimu. Ikut aku pulang," kataku menenangkan Sigit.

Mata Sigit tambah melotot seolah mau keluar dari rongganya. Namun sesaat kemudian, sorot matanya agak meredup meski warna merah di bola matanya masih terlihat menyala. Tubuhnya juga tak lagi meronta.

Setelah yakin Sigit tidak akan mengamuk, kuminta mahasiswa yang memeganginya menurunkan Sigit di lantai.

"Tinggalkan kami," kataku kepada mereka.

Kupandangi wajah Sigit. Matanya terpejam dan gerak pernafasan di dadanya sudah mulai normal.

"Git, sudah balik?" tanyaku.

Mungkin bagi mereka yang mendengar pertanyaanku sedikit bingung. Balik dari mana?

"Sudah," jawab Sigit. Kali ini suaranya sudah seperti Sigit yang kukenal.

"Syukurlah. Ya wis, ayo pulang ke kontrakan. Kuat berdiri apa enggak?"

Tanpa berkata apa-apa, Sigit mengangguk, lalu perlahan berdiri. Tubuhnya agak sempoyongan saat berjalan menuju anak tangga.

Ketika melewati Iwan, kukatakan kepadanya Sigit hendak kubawa pulang ke rumah.

"Terima kasih, Mam," kata Iwan.

"Iya Wan. Nanti aku bantu menjelaskan ke Pak Har masalah insiden hari ini," kataku mencoba menenangkan Iwan. Sebagai ketua panitia Ospek, aku mengerti bagaimana posisi Iwan dan kebingungannya kalau Pak Har, Dekan kami meminta pertanggung jawaban.

Menggunakan sepeda motor Heru, kubonceng Sigit menuju rumah kontrakan. Sesampai di rumah, kuminta Sigit mandi, sementara aku menyiapkan minuman hangat untuk dirinya.

"Ada yang menyerangku, Mam," kata Sigit saat kami sudah duduk santai di ruang tamu.

"Menyerang bagaimana?"

"Ya kamu tahu sendiri maksudku. Ada yang mencoba mengusik Raja," jawab Sigit.

Mendengar jawabannya, aku terdiam. Raja, adalah makhluk gaib yang bersemayam di tubuh Sigit. Orang jawa menyebutnya prewangan, atau khodam dalam istilah Islam.

***

Jika banyak orang yang menyukai klenik biasanya mendapatkan khodam dengan lelaku khusus, berbeda dengan Sigit. Prewangannya adalah warisan gaib dari kakeknya.

Menurut Sigit, sebelum kakeknya meninggal ia dipanggil menghadap bersama ayahnya. Di depan anak dan cucunya, kakek Sigit mengatakan hendak mewariskan sesuatu pada cucunya, karena jika tidak diwariskan, ia tidak dapat meninggal dunia dengan tenang.

Lalu kakek Sigit bercerita bahwa ia mendapatkan Raja saat menjalani lelaku khusus, bersemedi di sebuah gua di Pantai Selatan. Raja adalah jin yang sudah berusia ribuan tahun. Dulu dia mengabdi kepada seorang pembesar kerajaan Mataram, yang karena melakukan suatu kesalahan akhirnya dibuang ke pantai selatan.

Sebelum mewariskan Raja kepada Sigit, kakeknya berpesan bahwa Raja tidak akan mengganggunya. Raja juga tidak bisa dipanggil seperti jin prewangan lain yang sering dimintai bantuan untuk keperluan khusus tuannya. Raja hanya menjaga Sigit dari serangan ilmu gaib.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa Heru mengatakan hanya aku yang bisa menenangkan Sigit?

***

Awalnya setahun yang lalu, ketika terjadi kesurupan massal saat orientasi mahasiswa baru seperti sekarang. Ketika diberitahu Dodik, temanku yang jadi ketua panitia Ospek saat itu bahwa makhluk halus bernama Putri kembali bersemayam di tubuh mahasiswa baru, aku bersama Sigit kembali ke lapangan. Tempat yang menurut Sigit adalah rumah Putri yang sudah dirusak.

Dalam perjalanan, Sigit mengatakan bahwa aku punya simpanan.

"Simpanan apa, Git," tanyaku sambil tertawa, mengira Sigit bercanda.

"Benar, Mam. Kamu punya penjaga yang kuat, lebih kuat daripada yang mendampingiku," jawab Sigit.

"Jangan bercanda, Git. Aku lho tidak merasa punya penjaga. Aku tidak seperti kamu yang bisa 'melihat sesuatu'", kataku mengelak. Namun tak urung penjelasan Sigit membuat bulu kudukku merinding. Benarkah aku punya penjaga?

"Ya terserah kalau kamu tidak percaya. Kubilangin ya, aku pernah bermimpi didatangi Raja. Katanya aku harus hati-hati terhadapmu. Kamu punya penjaga yang lebih tua dan lebih kuat dari Raja. Sayang, Raja tidak mengatakan penjagamu itu datang dari mana," ujar Sigit.

"Kamu ingat, waktu Teguh, Budi dan Tommy dihantui pocong saat menginap di UKM beberapa waktu lalu? " tanya Sigit.

Aku mengangguk. Ya, peristiwa itu masih kuingat jelas. Ketika itu kami berempat menginap di ruang UKM untuk menyelesaikan tugas kuliah. Pagi hari, ketiga temanku itu bercerita dihantui sosok menyerupai pocong. Anehnya, aku yang ikut menginap bersama tidak melihat apapun.

"Kamu sendiri yang mengatakan kalau tidak melihat apa-apa, padahal Teguh, Budi dan Tommy mengaku melihat pocong. Kamu tahu, itu karena penjagamu menutup penglihatanmu, agar kamu tidak bisa melihat sosok yang mengerikan itu," jelas Sigit.

Mau tak mau aku mulai percaya dengan penjelasan Sigit. Tapi, ada satu pertanyaan yang mengganjal. Kalau memang aku punya penjaga, aku mendapatkannya dari mana? 

Kutanyakan hal tersebut kepada Sigit.

"Prewangan, atau jin penjaga tidak harus didapatkan dari lelaku khusus atau amalan tertentu. Juga tidak mesti diwariskan dari leluhur. Kadang, ada orang yang 'ketempatan' atau tiba-tiba ada jin penjaga yang mengikutinya, tanpa pernah disadarinya. Biasanya, jin penjaga itu mengikuti karena tertarik dengan pancaran energi tertentu yang muncul dari orang tersebut," ungkap Sigit.

"Apakah itu berarti nanti aku harus mewariskan si penjaga ini kepada keturunanku?" tanyaku teringat dengan asal-usul Raja yang mendampingi Sigit.

"Aku tidak tahu, Mam. Bisa jadi kamu harus mewariskan. Bisa pula tiba-tiba penjagamu ini meninggalkanmu begitu saja, kapan pun ia mau. Karena kamu tidak mendapatkan penjagamu dari warisan leluhur," jawab Sigit.

"Beda denganku. Aku harus menanggung keberadaan Raja seumur hidup, dan harus siap mewariskannya bila kelak ajal akan menjemputku," lanjut Sigit. Kali ini nada suaranya terdengar sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun