Melihat kedatanganku, Iwan, ketua panitia Ospek yang sedang jongkok membantu seorang mahasiswi yang terluka, hendak berdiri. Â Kulambaikan tangan memberi isyarat agar Iwan tetap di tempat.
Di pojok koridor, di sudut sebelah ruang kuliah, 6 mahasiswa berkerumun memegangi Sigit yang terus meronta. Sesekali terdengar suara menggeram seperti binatang buas yang terluka.
"Git," kupanggil namanya begitu langkahku sudah mendekat.
Mata Sigit yang merah membara melotot ke arahku. Tubuhnya meronta semakin kuat, kakinya menjejak hingga seorang mahasiswa baru yang ikut memegangi kakinya terpental ke belakang. Karena jarakku yang paling dekat, langsung kugantikan tempatnya dan kupegang erat kaki Sigit.
"Git, ini Himam!"
"Ada yang menyerangku, Mam," suara berat dan serak terdengar dari mulut Sigit.
"Nanti saja ceritanya. Sekarang tenangkan dirimu. Ikut aku pulang," kataku menenangkan Sigit.
Mata Sigit tambah melotot seolah mau keluar dari rongganya. Namun sesaat kemudian, sorot matanya agak meredup meski warna merah di bola matanya masih terlihat menyala. Tubuhnya juga tak lagi meronta.
Setelah yakin Sigit tidak akan mengamuk, kuminta mahasiswa yang memeganginya menurunkan Sigit di lantai.
"Tinggalkan kami," kataku kepada mereka.
Kupandangi wajah Sigit. Matanya terpejam dan gerak pernafasan di dadanya sudah mulai normal.