Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerbung | Engkaulah Puisiku (6)

4 Desember 2018   17:29 Diperbarui: 4 Desember 2018   17:32 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya

***

Deg.

Hati Rayhan berdetak kencang. Dia punya firasat ucapan Mita itu menyangkut dirinya. Sikap Mita kepadanya selama ini, seperti yang dikatakan Faisal, seolah ada hati kepadanya. Rayhan juga merasa keyakinannya barusan bahwa Mita bukan pengirim puisi misterius itu perlahan memudar.

Keheningan diantara mereka berdua disela oleh kedatangan pelayan yang membawa pesanan.

"Silahkan Mbak, ini pesanan dan tagihannya," kata pelayan pada Mita.

"Biar aku saja Mit yang bayar," kata Rayhan sembari merogoh kantong belakangnya.

"Nggak usah Pak Ray. Mita yang ngundang, berarti Mita yang bayar."

Rayhan mengalah. Mita lalu mengeluarkan dompetnya dan mengambil sejumlah uang. Diberikannya pada pelayan yang menunggu di sampingnya.

"Kembaliannya buat Mbak saja," kata Mita.

"Terima kasih, Mbak. Permisi," kata pelayan sambil menganggukkan kepalanya.

Rayhan mengaduk gelas Hot Chocolate yang baru dihidangkan. Dirinya tak tahu hendak berkata apa pada Mita. Sekilas diliriknya Mita yang juga tengah mengaduk-aduk gelas minumannya.

"Pertanyaanku belum dijawab loh," kata Rayhan memecah keheningan diantara mereka.

"Yang mana Pak?" tanya Mita kebingungan.

"Yang tadi, siapa pria yang berani dan beruntung melamar Mita itu?" jawab Rayhan sambil tersenyum melihat kebingungan Mita.

Mita kembali menunduk. Tangannya masih mengaduk-aduk gelas minumannya. Kemudian dipandangnya wajah Rayhan.
"Teman Mita waktu SD di kampung dulu," jawab Mita dengan raut wajah tersipu.

"Akhirnya, teman sepermainan jadi pendamping di pelaminan," kata Rayhan tambah menggoda.

"Duh Pak Ray ini, menggoda terus," Mita merajuk cemberut.

Keduanya lalu terdiam. Rayhan tidak ingin bertanya siapa lelaki yang sudah disiapkan hatinya oleh Mita. Meskipun dia punya firasat dan tahu siapa lelaki yang dimaksud itu.

"Nggak dimakan pizzanya? Aku minum dulu ya," kata Rayhan lalu meminum coklat hangatnya.

"Pak Ray nggak makan sekalian?" tanya Mita

"Nggak, makasih. Masih kenyang."

Mita lalu mengambil potongan pizza dan memakannya sedikit demi sedikit.

"Mita sudah bilang ke Pak Muklas kalau mau pulang kampung?" tanya Rayhan kemudian. Pak Muklas adalah Manajer Marketing, atasan Mita.

"Belum. Mita mau minta pendapat Pak Ray dulu," kata Mita pelan.

"Loh, pendapat apa lagi?" tanya Rayhan heran.

Mita tidak menjawab. Dia hanya menunduk dan mempermainkan sendok di gelas coklatnya. Kemudian dia menatap Rayhan sendu.

"Apa yang harus Mita lakukan, Pak Ray?"

"Maksud Mita bagaimana?" tanya Rayhan tak mengerti.

"Mita belum siap dilamar. Meskipun Mita kenal dia sejak kecil. Tapi Mita belum bisa...," kata-kata Mita menggantung di sela desahan nafasnya yang terasa berat.  

"Mita belum bisa memberikan rasa cinta," ujar Mita mengakhiri curahan hatinya itu.

"Karena hatimu sudah terlanjur disiapkan untuk orang lain, seperti yang kamu bilang tadi?" tanya Rayhan memperjelas.

Mita mengangguk pelan. Wajahnya tidak berani menatap Rayhan.

"Nah, kalau begitu kan Mita tinggal bilang sama orang tua, bahwa Mita sudah punya pilihan sendiri," kata Rayhan.

"Nggak semudah itu Pak Ray."

Mendengar perkataan Mita itu, mendadak Rayhan tertawa. Mita hanya memandang bengong lalu berkata merajuk.

"Pak Ray kok malah tertawa. Memangnya ada yang lucu dari perkataan Mita tadi?"

"Bukan begitu Mit, maaf. Cuma bicaramu tadi kok mirip sama dialog telenovela yang sekarang lagi ngetrend. 'Tidak semudah itu Ferguso,'" kata Rayhan menahan senyum.

Mendengar jawaban Rayhan, Mita pun ikut tertawa. Rayhan lalu bertanya lagi.

"Apanya yang nggak mudah itu tadi, Mit? Kan tinggal bilang sama orang tua. Kalau Mita tidak bilang, nanti mereka malah menganggap Mita setuju loh."

Mita mengambil nafas sejenak selepas ikut menikmati lelucon Rayhan.

 "Masalahnya, lelaki itu belum tahu perasaan Mita Pak."

"Memangnya Mita tidak pernah memberi tanda-tanda perhatian padanya?" tanya Rayhan dengan suara senormal mungkin. Dia sedang mencari cara untuk memastikan apakah Mita yang mengirim puisi misterius itu tanpa harus bertanya secara langsung.

"Mita malu...." jawab Mita.

"Kenapa harus malu? Lah kalau Mita menyukai seseorang dengan cara diam-diaman seperti ini, terus kapan ketemunya dua hati itu?"

Mita hanya terdiam. Tangannya sibuk mengaduk-aduk gelas coklat yang isinya tinggal separuh.

"Apa laki-laki itu berada di tempat jauh," tanya Rayhan lagi. Dirinya merasa seperti seorang guru BK yang tengah mendengarkan curhat muridnya.

Mita menggelengkan kepala. Masih belum mau menjawab langsung. Melihat sikap Mita itu, Rayhan merasa menyerah. Dia memutuskan untuk langsung bertanya saja daripada harus memutar dengan pertanyaan-pertanyaan lain.

"Coba sekarang Mita katakan, dan kalau boleh tahu, siapa lelaki yang untuknya sudah disiapkan sebuah ruang di hati Mita."

Dengan pandangan masih menunduk, Mita mengambil sebuah tisu di meja. Diremasnya pelan, lalu berkata perlahan pada Rayhan yang sudah menanti tak sabar.

"Pak Ray....."

***

Sekarang Rayhan ikut terdiam. Dia bingung harus bagaimana menyikapi pernyataan Mita tersebut. Dia merasa tidak tega jika harus berkata terus terang menolak uluran cinta dari Mita.

Tiba-tiba dia ingat dengan kertas HVS berisi bait puisi yang ditemukannya di ruang Marketing. Bait puisi itu dirasakannya pas dengan maksud yang hendak ia utarakan pada Mita. Sekalian Rayhan ingin melihat reaksi Mita. Apakah dia yang menulis bait puisi itu, dan juga puisi-puisi misterius yang sudah diterima Rayhan.

"Mita, terkadang kamu hanya butuh jatuh cinta lagi. Namun adakalanya beberapa hati telah terlanjur berserakan, pemiliknya sudah terlalu lelah, tak lagi sanggup bahkan tuk sekedar mencari cinta yang baru."

Mita mendongak menatap Rayha. Raut mukanya heran, seolah Rayhan baru saja mengucapkan kalimat dalam bahasa asing. Melihat pandangan Mita tersebut, Rayhan jadi malu sendiri. Lekas dicarinya alasan untuk menjelaskan maksud perkataannya tadi.

"Bingung ya? Kalimat itu aku baca dari kertas HVS yang dibuang di ruang marketing. Kukira Mita yang menulisnya," kata Rayhan sambil mencoba tersenyum.

"Oh, bukan Mita yang bikin Pak Ray. Memang itu tulisan Mita. Tapi bait puisinya dari Widya," kata Mita dengan senyum yang dibayangi kesedihan. Seolah Mita tahu apa jawaban dari Rayhan perihal isi hatinya tadi.

"Widya?" tanya Rayhan bingung.

"Iya, Widya teman Mita yang di CS. Dia memang pandai bikin puisi-puisi romantis," jawab Mita. Wajah bingung Rayhan membuat Mita berpikir, ada apa diantara Widya dan Pak Rayhan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun