Di hadapan para peserta, Bu Panca mulai berbicara dengan penuh semangat. "Menulis karya tulis ilmiah mungkin terdengar menantang, apalagi dengan kesibukan kita sebagai guru. Namun saya yakin bahwa kita bisa menghasilkan karya yang bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk kemajuan pendidikan di sekolah kita."
Selama pelatihan berlangsung, Bu Panca memberikan langkah-langkah praktis dalam menyusun karya tulis, termasuk cara mencari ide dari pengalaman mengajar sehari-hari. Guru-guru peserta pelatihan terlihat antusias, mencatat, dan bertanya banyak hal. Di antara mereka, Bu Panca mengenali beberapa wajah yang tampak bersemangat, sama seperti dirinya ketika pertama kali memulai perjalanan ini.
Selesai sesi pelatihan, beberapa guru mendekati Bu Panca untuk mengucapkan terima kasih. Salah satunya, Pak Rusli, seorang guru senior yang terkesan dengan pembawaan Bu Panca.
"Bu Panca, saya sangat terinspirasi dengan apa yang Ibu sampaikan. Jujur saja, saya sempat merasa menulis karya tulis itu sulit. Tapi setelah mendengar penjelasan Ibu, saya jadi lebih berani mencoba," kata Pak Rusli dengan senyum penuh syukur.
Bu Panca tersenyum, merasa bahagia bisa memberikan dampak positif bagi rekan-rekannya. "Terima kasih, Pak Rusli. Yang terpenting adalah memulai. Setelah itu, kita akan terus belajar dan berkembang."
Setelah beberapa kali menjadi narasumber, jadwal Bu Panca semakin padat. Namun ia tetap berusaha menyeimbangkan antara tugasnya sebagai pengajar di sekolah dan undangan pelatihan di sekolah-sekolah lain. Setiap kali ia kembali ke sekolahnya sendiri, siswa-siswinya menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Rosi, Wati, Budi, dan Deden sering bercerita tentang perkembangan belajar mereka saat Bu Panca harus pergi mengisi pelatihan.
"Bu, kami bangga Ibu menjadi guru yang dikenal di mana-mana. Tapi kami juga senang kalau Ibu sering di kelas," canda Rosi dengan mata berbinar. "Saya juga tidak akan lama-lama jauh dari kalian. Kalian selalu jadi prioritas saya," jawab Bu Panca sambil tersenyum.
Namun di balik kesibukan dan prestasinya, Bu Panca tidak pernah melupakan misinya sebagai guru desa yang sederhana. Meskipun kini ia sering diundang ke berbagai sekolah, ia tetap merasa tugas utamanya adalah membimbing siswa-siswi di sekolahnya sendiri. Di saat-saat tertentu, ketika ia pulang dari pelatihan, ia merenungkan kembali perjalanan panjang yang telah dilalui.
Malam itu, Pak Susanto dan Bu Panca duduk bersama di teras rumah. "Kamu sudah jauh melangkah, Panca. Aku bangga padamu. Tapi jangan lupa untuk istirahat, ya. Kamu butuh energi untuk tetap mengajar dan menginspirasi anak-anak."
Bu Panca tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Iya, Pak. Kadang aku juga merasa lelah, tapi setiap kali melihat semangat anak-anak dan dukunganmu, rasanya lelah itu hilang begitu saja."
Pak Susanto mengangguk dengan senyum penuh dukungan. Ia tahu, perjuangan istrinya bukan sekadar mencari pengakuan tapi untuk masa depan siswa-siswi yang selalu menjadi prioritas dalam hidupnya.