"Aku masih ingin terus berjuang, Mas. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh aku sia-siakan. Meskipun berat, aku yakin bisa menjalaninya," jawab Bu Panca dengan tekad yang kuat. Meskipun perjalanan semakin melelahkan, semangat Bu Panca tidak pernah surut. Ia terus memberikan yang terbaik, baik di kelas maupun dalam berbagai kegiatan yang melibatkan dirinya sebagai narasumber. Baginya, menjadi guru bukan hanya soal mengajar, tapi juga menginspirasi, di mana pun ia berada.
Setelah beberapa bulan menjalani rutinitas pulang-pergi dari desa ke kota, Bu Panca mulai merasakan kelelahan yang semakin berat. Setiap pagi, ia harus bangun lebih awal dari biasanya untuk menempuh perjalanan panjang ke SMK Negeri 1 dan ketika sore baru sampai rumah, perjalanannya kembali ke desa menghabiskan sisa energi yang tersisa.
       "Bu, sepertinya kita harus benar-benar mempertimbangkan untuk pindah ke kota," kata Pak Susanto suatu malam setelah melihat istrinya yang kelelahan di ruang tamu. "Jarak dan waktu tempuh ini terlalu berat untuk kamu."
Bu Panca terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Kamu benar, Mas. Ini mulai mempengaruhi pekerjaanku dan kesehatanku. Mungkin sudah saatnya kita pindah." Keputusan besar itu akhirnya diambil setelah berdiskusi panjang dengan anak-anak mereka. Seno anak pertama yang sedang kuliah, juga mendukung rencana pindah ke kota. Begitu pula Intan, anak kedua yang duduk di kelas sembilan SMP merasa senang karena sekolahnya akan lebih dekat jika mereka pindah. Setelah memikirkan berbagai kemungkinan, keluarga Bu Panca memutuskan untuk menjual rumah di desa dan membeli rumah baru di kota.
Penjualan rumah di desa tidak mudah, karena ada begitu banyak kenangan yang tertinggal di sana. Rumah sederhana itu adalah tempat mereka membangun keluarga dan menyimpan begitu banyak cerita. Namun demi kemajuan dan kenyamanan mereka di masa depan, Bu Panca dan Pak Susanto akhirnya menjual rumah tersebut kepada seorang kerabat yang berencana menetap di desa.
Setelah menjual rumah di desa, keluarga Bu Panca segera mulai mencari rumah baru di kota. Setelah beberapa minggu mencari, mereka akhirnya menemukan sebuah rumah sederhana tapi nyaman yang tidak terlalu jauh dari SMK Negeri 1 dan juga dekat dengan kampus tempat Seno kuliah. Rumah itu terletak di sebuah kompleks perumahan yang asri dan tenang.
"Hati-hati ya, Panca, kita jangan terburu-buru. Pastikan rumahnya sesuai dengan kebutuhan keluarga kita," kata Pak Susanto dengan bijak saat mereka berkunjung ke beberapa lokasi rumah yang dijual.
"Tenang, Mas. Rumah ini sudah aku pertimbangkan dengan matang. Letaknya strategis dan cukup dekat dengan sekolah dan kampus," jawab Bu Panca dengan senyum penuh harap.
Setelah proses jual beli selesai, mereka pindah ke rumah baru tersebut. Perasaan campur aduk menyelimuti Bu Panca. Di satu sisi, ia merasa sedih meninggalkan desa yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun di sisi lain, ia merasa senang karena keluarganya kini bisa lebih dekat dan rutinitas hariannya menjadi lebih ringan.
Hari pertama mereka tinggal di rumah baru, Bu Panca merasakan kelegaan luar biasa. Perjalanan ke sekolah menjadi jauh lebih singkat dan membuatnya bisa lebih fokus pada pekerjaannya sebagai guru. Begitu pula dengan Pak Susanto yang tidak lagi harus memikirkan perjalanan panjang setiap hari. Intan pun merasa lebih nyaman karena tidak perlu lagi menempuh jarak jauh untuk sekolah.
"Mas, aku merasa seperti memulai babak baru dalam hidup kita," ucap Bu Panca sambil menatap rumah baru mereka. "Meskipun berat meninggalkan desa, aku yakin keputusan ini yang terbaik untuk kita semua."