Setelah beberapa hari sibuk mempersiapkan lomba, Bu Panca kembali ke rutinitas mengajarnya di sekolah. Di ruang guru yang sederhana, Bu Wulan, rekan sejawatnya, sudah duduk sambil membaca buku pelajaran. Bu Wulan adalah guru yang sudah lama dikenal Bu Panca, mereka sering berdiskusi tentang berbagai cara meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
"BU Panca ikut lomba guru prestasi, ya? Wah, hebat! Semoga sukses. Kami semua di sini mendukung," ucap Bu Wulan dengan senyum tulus. "Terima kasih, Bu Wulan. Sebenarnya, saya sempat ragu. Tapi saya pikir ini bisa jadi pengalaman berharga untuk kita semua," jawab Bu Panca sambil meletakkan tas kerjanya di meja.
Tak lama kemudian, Pak Rusdianto, guru olahraga yang terkenal supel masuk dengan langkah cepat. "Nah, ini dia calon juara kita! Bu Panca, kalau sudah juara nanti, jangan lupa traktir ya," canda Pak Rusdianto mencoba mencairkan suasana.
Bu Panca tertawa kecil meskipun hatinya masih diliputi kekhawatiran. Persiapan untuk lomba memang sudah dilakukan tetapi tantangan dalam mengajar siswa-siswinya tak kalah besar. Salah satu siswa yang sering ia pikirkan adalah Deden, anak yang cerdas namun sering terlihat kurang fokus dan sering terlambat masuk kelas.
Saat jam pelajaran dimulai, kelas XI Pemasaran sudah dipenuhi siswa-siswa. Rosi dan Wati, dua siswi yang selalu duduk di bangku depan dengan antusias membuka buku catatan mereka. Namun Bu Panca segera menyadari bahwa Deden belum juga muncul di kelas.
"Saya sudah melihat Deden di depan sekolah, Bu" bisik Wati yang mengerti keprihatinan gurunya. "Tapi sepertinya dia ada masalah lagi di rumah." Bu Panca mengangguk, mencoba memahami situasi. Deden memang sering terlambat karena harus membantu keluarganya di rumah sebelum berangkat sekolah. Kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas memaksa Deden bekerja lebih keras bahkan sebelum berangkat sekolah. Meskipun demikian, Deden tetap memiliki potensi besar yang ingin sekali Bu Panca kembangkan.
"Baik, mari kita mulai dulu pelajarannya," ucap Bu Panca berusaha memfokuskan siswa-siswanya pada materi yang ia ajarkan hari itu. Saat pelajaran berlangsung, pikiran Bu Panca melayang sejenak. Selain memikirkan Deden, ia juga teringat pada siswa-siswi lainnya, seperti Budi yang rajin namun pemalu dan Nanda yang selalu kritis dalam setiap diskusi kelas. Mereka semua punya potensi besar namun keterbatasan di sekolah desa ini sering kali menghambat perkembangan mereka.
Setelah jam pelajaran berakhir, Deden akhirnya datang dengan wajah lesu. Ia meminta maaf karena terlambat lagi. Bu Panca hanya tersenyum, mengerti betul perjuangan yang harus dihadapi siswa-siswinya di luar sekolah.
"Tak apa, Deden. Yang penting kamu tetap semangat dan jangan menyerah. Kalau ada kesulitan, jangan sungkan untuk bercerita," ucap Bu Panca dengan nada lembut. Deden mengangguk, meski matanya masih terlihat suram. "Terima kasih, Bu. Saya akan berusaha lebih keras."
Mendengar itu, Bu Panca merasa hatinya tersentuh. Inilah alasan ia selalu berjuang bukan demi pujian atau penghargaan, melainkan demi masa depan siswa-siswinya yang penuh harapan. Semua karya tulis, pelatihan, dan lomba guru prestasi yang ia ikuti hanyalah alat untuk mewujudkan impian besar ini.
Beberapa hari kemudian, hasil lomba guru prestasi pun diumumkan. Di aula sekolah, suasana penuh ketegangan, terutama bagi Bu Panca. Para guru dan siswa-siswi berkumpul untuk mendukungnya. Di antara mereka, ada Bu Wulan, Pak Rusdianto, dan tentu saja Pak Susanto yang datang khusus untuk mendampingi istrinya. Wati dan Rosi juga berdiri di barisan siswa, melambaikan tangan ke arah Bu Panca.