Mohon tunggu...
Ponco Wulan
Ponco Wulan Mohon Tunggu... Guru - Pontjowulan Samarinda

Pontjowulan Kota Samarinda Kalimantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Senyum di Balik Kerinduan

8 September 2024   21:10 Diperbarui: 8 September 2024   21:11 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari baru saja menyembulkan sinarnya ketika Arya, seorang mahasiswa semester akhir membuka pintu kamar kosnya yang sederhana. Aroma kopi yang diseduhnya seolah menjadi pengiring semangat untuk memulai hari yang penuh rutinitas. Arya memandangi dinding kamarnya yang dipenuhi foto-foto kenangan bersama keluarganya di kampung halaman. Kerinduan yang mendalam sering kali menghampirinya, terutama pada saat-saat seperti ini, ketika kesibukan kuliah dan tugas-tugas akhir menyita hampir seluruh waktunya.

Setelah menyantap sarapan sederhana, Arya bergegas menuju kampus. Di kampus, suasana sudah mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu lalang. Di sinilah Arya bertemu dengan sahabat karibnya, Rina. Rina adalah mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi, selalu ceria, dan menjadi penyemangat bagi Arya di tengah kesibukan kuliah. "Pagi, Arya! Sudah siap untuk presentasi nanti?" sapa Rina dengan senyum lebar. Arya hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

Siang itu, setelah menyelesaikan presentasi, Arya dan Rina memutuskan untuk makan siang di kantin kampus. Mereka duduk di sudut ruangan yang menghadap taman, tempat yang biasa mereka kunjungi untuk sekadar melepas penat. Taman kampus dengan pepohonan rindangnya selalu memberikan ketenangan bagi Arya. Namun, meskipun berada di tengah keramaian, rasa rindu kepada keluarganya tetap mengiringi setiap langkahnya.

Malam harinya, Arya pulang ke kos dan duduk di depan meja belajarnya. Laptop terbuka, menampilkan layar dengan tulisan tugas akhir yang hampir rampung. Namun, pikirannya melayang jauh, membayangkan senyum ibu dan adiknya yang selalu menemaninya di rumah. Kerinduan itu semakin menguat saat malam menjelang. Telepon dari ibunya menjadi momen yang paling ditunggu Arya setiap malam. "Kami merindukanmu, Nak," suara lembut ibunya dari seberang telepon membuat hatinya hangat meski jarak memisahkan mereka.

Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa, Arya selalu berusaha mencari senyum di balik kerinduan yang terus membayanginya. Entah di rumah, kampus, taman, atau di manapun dia berada, senyum itu selalu menjadi penyemangatnya untuk terus melangkah dan meraih mimpi-mimpinya.

Arya mencoba fokus kembali pada layar laptopnya. Suara-suara kecil dari kamar sebelah, suara hujan rintik-rintik yang mulai turun, semuanya seakan bersekongkol mengalihkan perhatiannya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kembali semangatnya. Saat itu, notifikasi pesan masuk dari Rina muncul di layar ponselnya.

"Bagaimana tugas akhirnya? Sudah hampir selesai, kan?" tanya Rina dalam pesannya.

Arya tersenyum tipis dan membalas cepat, "Sedikit lagi. Besok kita ketemu di perpustakaan, ya. Ada yang ingin aku diskusikan."

Rina selalu menjadi teman yang setia mendampingi Arya dalam berbagai situasi. Di saat-saat seperti inilah Arya merasa bersyukur memiliki sahabat yang selalu siap membantu dan mengerti keadaannya. Setelah membalas pesan Rina, Arya menutup laptopnya dan merebahkan diri di tempat tidur. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar, pikiran melayang ke masa-masa di rumah, bermain bersama adiknya di halaman, dan tawa ibunya yang selalu menenangkan.

Keesokan paginya, Arya berangkat lebih awal ke kampus. Udara pagi yang segar dan sinar matahari yang hangat memberinya semangat baru. Di perpustakaan, Rina sudah menunggunya dengan tumpukan buku di meja. "Pagi, Arya! Siap berdiskusi?" sapanya ceria. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, meneliti, dan menyempurnakan tugas akhir Arya. Setiap kali Arya merasa lelah, senyum dan dorongan semangat dari Rina membuatnya kembali bangkit.

Siang itu, mereka memutuskan untuk makan siang di kafe kecil dekat kampus. Kafe itu terkenal dengan suasana yang nyaman dan makanan yang lezat, menjadi tempat favorit mahasiswa untuk melepas penat. "Arya, setelah lulus nanti, apa rencanamu?" tanya Rina sambil menyeruput kopi pesanannya. Arya terdiam sejenak, memikirkan jawabannya.

"Aku ingin bekerja dulu, mencari pengalaman. Tapi yang paling penting, aku ingin pulang, menghabiskan waktu bersama keluarga sebelum memulai petualangan baru," jawab Arya dengan mata berbinar.

Malam itu, setelah kembali ke kos, Arya merasa lebih ringan. Diskusi dengan Rina dan obrolan hangat di kafe tadi siang memberinya perspektif baru. Ia menatap layar ponselnya, melihat foto keluarga yang menjadi latar belakang. Arya menulis pesan singkat kepada ibunya, "Aku merindukan kalian. Sebentar lagi aku selesai, dan aku akan pulang."

Arya kembali duduk di depan laptopnya, menyelesaikan tugas akhir dengan semangat yang baru. Senyum di balik kerinduannya, meski sederhana, memberinya kekuatan untuk terus maju. Di tengah malam yang hening, hanya suara ketikan keyboard dan hati yang penuh harapan yang menemani Arya, seorang mahasiswa yang selalu mencari cahaya di balik kerinduan yang mendalam.

Arya sedang asyik mengetik tugas akhirnya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari teman sekelasnya, Dika, masuk. "Arya, ada masalah besar. Tugas kelompok kita belum lengkap, dan kita harus mengumpulkannya besok!" Arya mengerutkan kening. Ia telah menghabiskan berjam-jam untuk tugas akhir dan tidak menyangka bahwa tugas kelompok yang mereka kerjakan bersama Dika dan Nina, teman sekelasnya yang lain, belum selesai.

Arya segera menghubungi Dika. "Dika, apa yang terjadi? Bukankah kita sudah membagi tugasnya dengan baik?" tanyanya dengan nada cemas. Dari seberang telepon, Dika terdengar gelisah. "Iya, tapi Nina bilang dia tidak bisa menyelesaikan bagiannya karena ada masalah keluarga mendadak. Aku juga sibuk dengan pekerjaan paruh waktu. Aku benar-benar butuh bantuanmu, Arya," kata Dika.

Arya menghela napas berat. Tugas kelompok itu sangat penting, dan dia tidak bisa mengabaikannya. Namun, tugas akhirnya juga sangat mendesak. Ia berada di persimpangan dilema, merasa terjebak di antara tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap teman-temannya.

Tanpa berpikir panjang, Arya menghubungi Rina. "Rina, ada masalah. Tugas kelompok kita belum selesai, dan kita harus mengumpulkannya besok. Nina ada masalah keluarga, dan Dika sibuk dengan pekerjaan paruh waktu. Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Arya, suaranya terdengar putus asa.

Rina langsung merespon dengan tegas, "Tenang, Arya. Kita bisa melewatinya. Ayo kita bertemu di perpustakaan sekarang. Aku akan membantumu."

Sesampainya di perpustakaan, Arya dan Rina langsung bekerja keras menyelesaikan tugas kelompok itu. Mereka bekerja hingga larut malam, berusaha menyelesaikan setiap detail dengan teliti. Sementara itu, pikiran Arya terus melayang ke tugas akhirnya yang juga membutuhkan perhatian penuh.

"Rina, aku benar-benar khawatir. Tugas akhirku juga belum sepenuhnya selesai," kata Arya di sela-sela mengetik. Rina menepuk pundaknya, memberikan semangat. "Kita selesaikan ini dulu. Setelah itu, aku akan membantumu dengan tugas akhir. Kita pasti bisa, Arya," ucap Rina dengan yakin.

Pada saat yang sama, Nina mengirim pesan kepada Arya, meminta maaf karena tidak bisa menyelesaikan bagiannya. "Maafkan aku, Arya. Aku tahu ini memberatkanmu, tapi keluargaku sedang dalam masalah besar. Terima kasih sudah mengerti," tulis Nina. Arya merasa berat, tetapi ia mengerti situasi Nina. Ia membalas pesan itu dengan kata-kata yang menenangkan, menyampaikan bahwa mereka akan menyelesaikannya bersama.

Malam semakin larut ketika Arya dan Rina masih berkutat di perpustakaan. Tumpukan buku referensi dan laptop yang menyala menjadi saksi perjuangan mereka. Rina, dengan mata yang mulai lelah namun tetap semangat, terus memberikan ide-ide dan solusi untuk menyelesaikan tugas kelompok yang rumit itu.

"Arya, bagaimana kalau kita tambahkan analisis ini untuk memperkuat argumen kita?" kata Rina sambil menunjuk bagian di layar laptopnya. Arya mengangguk, mencoba menyerap setiap masukan dari Rina. Di tengah kepenatan, mereka berdua sempat tertawa kecil saat mengenang kejadian lucu di kelas beberapa hari yang lalu. Tawa itu sejenak meringankan beban di pundak Arya.

Pukul dua dini hari, mereka akhirnya menyelesaikan tugas kelompok. Rina tersenyum puas, "Kita berhasil, Arya! Sekarang, mari kita fokus pada tugas akhir kamu." Arya mengangguk, meski matanya mulai berat. "Terima kasih banyak, Rina. Kamu benar-benar sahabat terbaik," ucap Arya tulus.

Saat mereka beralih ke tugas akhir Arya, telepon Arya berdering. Ternyata, itu dari Nina. "Arya, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu ini sulit untukmu," suara Nina terdengar penuh penyesalan. Arya mengambil napas dalam-dalam, "Nina, tidak apa-apa. Aku mengerti. Yang penting keluargamu baik-baik saja. Kita sudah menyelesaikannya, dan kamu tidak perlu khawatir."

Setelah menutup telepon, Arya merasakan kelegaan. "Rina, aku merasa kita bisa melewati ini semua. Meskipun berat, aku bersyukur ada kamu yang selalu mendukung," katanya. Rina tersenyum lembut, "Itulah gunanya sahabat, Arya. Sekarang, mari kita fokus pada tugas akhir. Waktu kita tidak banyak, tapi aku yakin kita bisa menyelesaikannya."

Mereka kembali bekerja dengan fokus penuh. Rina membantu Arya merapikan referensi, mengoreksi kesalahan, dan memberikan saran-saran untuk memperbaiki isi tugas akhir. Jam terus berputar, namun semangat mereka tidak padam. Ketika fajar mulai menyingsing, tugas akhir Arya pun hampir rampung.

**********

"Pagi sudah tiba," kata Arya dengan suara serak, menatap layar laptopnya yang menampilkan halaman terakhir tugas akhirnya. "Terima kasih, Rina. Tanpa kamu, aku tidak tahu bagaimana bisa menyelesaikan ini semua." Rina menepuk punggung Arya, "Kita tim yang hebat, Arya. Sekarang, ayo kita pulang dan istirahat sejenak. Kamu butuh tidur sebelum mengumpulkan tugas ini."

Arya dan Rina meninggalkan perpustakaan dengan perasaan lega. Mereka berjalan keluar, disambut oleh udara pagi yang segar. Langit mulai terang, memberi harapan baru. Arya menatap matahari yang mulai naik, merasa ada secercah harapan di balik semua kesulitan yang telah dihadapinya. "Kita berhasil, Rina. Terima kasih," ucapnya lagi.

Setelah mengantar Rina pulang, Arya kembali ke kosnya. Dengan mata yang hampir tertutup karena lelah, dia mengirim pesan singkat kepada ibunya, "Ibu, aku berhasil menyelesaikan semuanya. Aku sangat merindukan kalian dan tidak sabar untuk segera pulang." Arya kemudian merebahkan diri di tempat tidurnya, tertidur dengan senyum di wajahnya. Kerinduan yang selama ini mengiringi langkahnya, kini terasa lebih ringan, karena dia tahu, di balik setiap kerinduan, ada senyum dan dukungan dari orang-orang yang dicintainya.

Beberapa minggu kemudian, hari penyerahan tugas akhir tiba. Arya merasa tegang namun juga lega karena semua kerja kerasnya akan segera membuahkan hasil. Ia mengenakan kemeja rapi dan berangkat ke kampus lebih awal untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Di lorong kampus yang sudah ramai dengan mahasiswa yang bersiap-siap untuk presentasi, Arya bertemu dengan Rina. "Kamu siap, Arya?" tanya Rina dengan senyum penuh semangat. Arya mengangguk, meski di dalam hatinya masih tersisa sedikit kecemasan.

Presentasi berjalan dengan baik. Arya menjelaskan tugas akhirnya dengan penuh keyakinan, diiringi oleh dukungan pandangan dari Rina yang duduk di barisan depan. Ketika presentasi selesai, Arya menghela napas lega. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Sesampainya di luar ruang presentasi, Arya menerima telepon mendadak dari rumah.

"Arya, adikmu sakit keras. Kami membawanya ke rumah sakit sekarang," suara ibunya terdengar panik. Jantung Arya berdegup kencang. Ia tidak menyangka akan mendengar kabar buruk di saat seperti ini. "Ibu, tenang. Aku akan segera pulang," jawab Arya dengan suara gemetar. Ia menutup telepon dan menatap Rina dengan mata berkaca-kaca. "Adikku sakit keras, Rina. Aku harus pulang sekarang."

Rina langsung merespons, "Aku akan mengantarmu ke stasiun. Jangan khawatir, kita akan sampai tepat waktu." Tanpa berpikir panjang, Arya dan Rina berlari menuju parkiran. Mereka mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menuju stasiun kereta, berharap bisa mendapatkan tiket paling cepat.

Di stasiun, antrean panjang membuat Arya semakin cemas. Sambil menunggu giliran, ia terus berdoa agar adiknya baik-baik saja. Setelah berhasil mendapatkan tiket, Arya memeluk Rina dengan erat. "Terima kasih, Rina. Doakan adikku, ya," katanya dengan suara serak. Rina mengangguk, "Pasti, Arya. Segera beri kabar setelah sampai."

Di dalam kereta, Arya merasakan campuran antara kecemasan dan harapan. Ia menatap pemandangan yang berlalu di luar jendela dengan pikiran yang tak henti-hentinya memikirkan adiknya. Perjalanan yang biasanya terasa panjang, kali ini terasa lebih singkat karena pikiran Arya terus melayang pada kondisi adiknya.

Sesampainya di rumah sakit, Arya bergegas menuju ruang perawatan. Di sana, ia melihat ibunya yang menangis di samping ranjang adiknya yang terbaring lemah. "Ibu, bagaimana keadaannya?" tanya Arya dengan suara bergetar. Ibunya menjawab dengan lirih, "Dokter bilang dia butuh operasi segera. Kita harus segera mengambil keputusan."

Arya merasa dunia seolah runtuh. Di tengah semua tekanan akademis, kini ia harus menghadapi situasi kritis keluarganya. Namun, ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk menjadi kuat. "Kita akan lakukan yang terbaik untuk adik. Aku akan cari cara untuk membayar biaya operasinya," ucap Arya dengan tekad.

Keesokan harinya, Arya mencoba mencari cara untuk mendapatkan dana. Ia menghubungi teman-temannya, termasuk Dika dan Nina, untuk meminta bantuan. Meski mereka juga memiliki keterbatasan, dukungan dan solidaritas dari teman-teman Arya memberikan harapan. Rina bahkan mengusulkan untuk mengadakan penggalangan dana di kampus. "Kita pasti bisa, Arya. Bersama-sama, kita bisa membantu adikmu," kata Rina dengan penuh keyakinan.

Arya merasa terharu dengan bantuan yang diterimanya. Meski beban terasa berat, ia tidak sendirian. Arya menemukan kekuatan dari dukungan sahabat dan keyakinan bahwa di balik setiap kerinduan, selalu ada harapan dan senyum yang menanti.

Arya dan teman-temannya bekerja keras mengumpulkan dana untuk operasi adiknya. Rina, Dika, dan Nina mengorganisir penggalangan dana di kampus, menyebarkan informasi melalui media sosial, dan menghubungi berbagai pihak untuk mendapatkan bantuan. Solidaritas dari teman-teman dan dosen di kampus luar biasa. Mereka menyumbangkan uang, memberikan dukungan moral, dan bahkan menawarkan waktu mereka untuk membantu dalam kegiatan penggalangan dana.

Hari demi hari, penggalangan dana menunjukkan hasil yang positif. Namun, waktu semakin mendesak, dan adik Arya harus segera menjalani operasi. Di rumah sakit, Arya terus mendampingi adiknya sambil berusaha tetap tenang di depan ibunya. "Ibu, kita akan melewati ini. Aku yakin adik akan sembuh," kata Arya mencoba menguatkan hati ibunya.

Ketika dana yang terkumpul mendekati target, Rina datang ke rumah sakit dengan kabar baik. "Arya, kita sudah hampir mencapai jumlah yang diperlukan. Tinggal sedikit lagi," ucapnya dengan senyum penuh harapan. Arya merasa beban di pundaknya sedikit terangkat, namun kecemasannya belum sepenuhnya hilang.

Pada saat yang sama, dosen pembimbing Arya menghubungi dan memberikan dukungan tambahan. "Arya, kamu telah menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Kami dari pihak kampus juga akan memberikan bantuan untuk biaya operasi adikmu," kata dosen tersebut. Air mata Arya menetes, merasa sangat terharu dengan dukungan yang diterimanya.

Akhirnya, jumlah dana yang diperlukan berhasil terkumpul. Operasi adik Arya segera dijadwalkan. Malam sebelum operasi, Arya duduk di samping adiknya yang terbaring lemah. "Kamu harus kuat, ya. Kami semua berdoa untuk kesembuhanmu," bisiknya sambil menggenggam tangan adiknya.

Keesokan paginya, operasi berlangsung dengan penuh ketegangan. Arya, ibunya, dan teman-temannya menunggu di luar ruang operasi dengan perasaan cemas. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Setiap detik terasa begitu berharga. Setelah beberapa jam yang penuh kecemasan, dokter akhirnya keluar dari ruang operasi dengan wajah tenang.

"Operasinya berjalan lancar. Adikmu akan segera pulih," kata dokter dengan senyum. Arya dan ibunya langsung memeluk satu sama lain, air mata kebahagiaan mengalir di wajah mereka. Rina, Dika, dan Nina yang menunggu di luar juga merayakan kabar baik ini dengan penuh suka cita.

Beberapa hari kemudian, adik Arya mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Arya merasa beban berat yang selama ini menggelayuti hatinya mulai menghilang. Ia berterima kasih kepada teman-temannya, dosen, dan semua orang yang telah membantunya melewati masa sulit ini. "Tanpa kalian, aku tidak tahu bagaimana bisa melewati semua ini," katanya tulus.

Dalam beberapa minggu berikutnya, kehidupan Arya perlahan kembali normal. Ia kembali fokus pada penyelesaian tugas akhirnya, dengan dukungan penuh dari Rina dan teman-temannya. Di kampus, Arya merasakan semangat yang baru. Ia belajar bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan dan kekuatan yang bisa ditemukan dari orang-orang di sekitarnya.

Ketika akhirnya Arya berhasil menyelesaikan tugas akhir dan lulus dengan prestasi yang membanggakan, ia tahu bahwa perjalanannya bukanlah perjalanan yang mudah. Namun, setiap rintangan dan konflik yang dihadapinya telah membuatnya lebih kuat dan lebih tegar. Di hari kelulusannya, Arya berdiri di panggung dengan senyum lebar, menyampaikan pidato yang penuh inspirasi.

"Hidup penuh dengan tantangan dan rintangan, tetapi dengan dukungan dari sahabat dan keluarga, kita bisa menghadapinya dengan kuat. Terima kasih kepada semua yang telah mendukung saya. Ini adalah kemenangan kita bersama," kata Arya dengan penuh emosi.

Ketika dia turun dari panggung, Arya melihat ibunya dan adiknya yang kini sehat, serta teman-teman yang selalu setia di sisinya. Dalam hatinya, Arya tahu bahwa senyum di balik kerinduan telah menjadi cahaya yang menuntunnya melalui masa-masa sulit, membawa harapan dan kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan yang datang.

**********

Beberapa bulan setelah kelulusannya, Arya telah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi ternama di kota. Hari-harinya kini dipenuhi dengan kegiatan baru, tantangan baru, dan kesempatan untuk mengembangkan karir. Namun, di tengah kesibukan pekerjaannya, Arya tidak pernah melupakan perjuangannya selama kuliah dan dukungan luar biasa dari orang-orang di sekitarnya.

Suatu akhir pekan, Arya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Kerinduan akan rumah dan keluarganya selalu menjadi dorongan kuat untuk kembali, meskipun hanya untuk beberapa hari. Setibanya di rumah, Arya disambut dengan hangat oleh ibunya dan adiknya yang sudah pulih sepenuhnya. "Selamat datang, Arya. Kami sangat merindukanmu," sambut ibunya dengan senyum lebar.

Malam itu, mereka duduk bersama di ruang keluarga, menikmati makan malam yang penuh kehangatan dan tawa. Arya menceritakan pengalamannya bekerja, sementara ibunya dan adiknya berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari mereka di kampung. Meski jauh dari hingar-bingar kota, suasana rumah selalu memberikan kenyamanan dan ketenangan yang tak tergantikan.

Keesokan harinya, Arya menerima telepon dari Rina. "Arya, bagaimana kabar di rumah? Aku rindu kita bisa berkumpul seperti dulu," kata Rina. Arya tersenyum, "Semuanya baik, Rina. Aku juga merindukan kebersamaan kita. Kita harus segera bertemu lagi." Mereka berencana untuk berkumpul dengan teman-teman lainnya dalam waktu dekat, mengenang masa-masa kuliah yang penuh kenangan.

Pada sore harinya, Arya mengajak adiknya berjalan-jalan di taman dekat rumah. Taman itu penuh dengan kenangan masa kecil mereka. "Kak, terima kasih sudah selalu ada untukku," kata adiknya dengan mata berbinar. Arya tersenyum dan mengusap kepala adiknya, "Kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku. Aku akan selalu ada untukmu."

Saat mereka duduk di bangku taman, Arya melihat sekelompok anak kecil bermain dan tertawa. Pemandangan itu mengingatkannya pada betapa berharganya setiap momen kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman. Ia merasa bersyukur atas segala yang telah dilaluinya dan setiap tantangan telah membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dan penuh semangat.

Malam itu, Arya duduk sendirian di beranda rumah, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia mengingat kembali setiap perjuangan, setiap air mata, dan setiap senyum yang telah menghiasi perjalanannya. Di dalam hatinya, Arya merasa tenang dan bahagia. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan banyak tantangan baru yang akan dihadapinya. Namun, dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman, Arya yakin bisa menghadapi semuanya dengan teguh.

Arya menutup matanya sejenak, menikmati kedamaian malam. Di balik setiap kerinduan yang pernah ia rasakan, kini ia menemukan kekuatan dan cinta yang selalu menyertainya. Senyum di balik kerinduan itu kini menjadi simbol dari keteguhan hati dan harapan yang tak pernah padam.

Dengan semangat baru dan keyakinan yang lebih kuat, Arya siap melangkah ke babak baru dalam hidupnya. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, senyum di balik kerinduan akan selalu menjadi pengingat bahwa ia tidak pernah sendiri. Di dalam setiap perjalanan, ada cinta dan dukungan yang selalu menyertai, membawa harapan dan kebahagiaan yang tak ternilai.

**********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun