Presentasi berjalan dengan baik. Arya menjelaskan tugas akhirnya dengan penuh keyakinan, diiringi oleh dukungan pandangan dari Rina yang duduk di barisan depan. Ketika presentasi selesai, Arya menghela napas lega. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Sesampainya di luar ruang presentasi, Arya menerima telepon mendadak dari rumah.
"Arya, adikmu sakit keras. Kami membawanya ke rumah sakit sekarang," suara ibunya terdengar panik. Jantung Arya berdegup kencang. Ia tidak menyangka akan mendengar kabar buruk di saat seperti ini. "Ibu, tenang. Aku akan segera pulang," jawab Arya dengan suara gemetar. Ia menutup telepon dan menatap Rina dengan mata berkaca-kaca. "Adikku sakit keras, Rina. Aku harus pulang sekarang."
Rina langsung merespons, "Aku akan mengantarmu ke stasiun. Jangan khawatir, kita akan sampai tepat waktu." Tanpa berpikir panjang, Arya dan Rina berlari menuju parkiran. Mereka mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menuju stasiun kereta, berharap bisa mendapatkan tiket paling cepat.
Di stasiun, antrean panjang membuat Arya semakin cemas. Sambil menunggu giliran, ia terus berdoa agar adiknya baik-baik saja. Setelah berhasil mendapatkan tiket, Arya memeluk Rina dengan erat. "Terima kasih, Rina. Doakan adikku, ya," katanya dengan suara serak. Rina mengangguk, "Pasti, Arya. Segera beri kabar setelah sampai."
Di dalam kereta, Arya merasakan campuran antara kecemasan dan harapan. Ia menatap pemandangan yang berlalu di luar jendela dengan pikiran yang tak henti-hentinya memikirkan adiknya. Perjalanan yang biasanya terasa panjang, kali ini terasa lebih singkat karena pikiran Arya terus melayang pada kondisi adiknya.
Sesampainya di rumah sakit, Arya bergegas menuju ruang perawatan. Di sana, ia melihat ibunya yang menangis di samping ranjang adiknya yang terbaring lemah. "Ibu, bagaimana keadaannya?" tanya Arya dengan suara bergetar. Ibunya menjawab dengan lirih, "Dokter bilang dia butuh operasi segera. Kita harus segera mengambil keputusan."
Arya merasa dunia seolah runtuh. Di tengah semua tekanan akademis, kini ia harus menghadapi situasi kritis keluarganya. Namun, ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk menjadi kuat. "Kita akan lakukan yang terbaik untuk adik. Aku akan cari cara untuk membayar biaya operasinya," ucap Arya dengan tekad.
Keesokan harinya, Arya mencoba mencari cara untuk mendapatkan dana. Ia menghubungi teman-temannya, termasuk Dika dan Nina, untuk meminta bantuan. Meski mereka juga memiliki keterbatasan, dukungan dan solidaritas dari teman-teman Arya memberikan harapan. Rina bahkan mengusulkan untuk mengadakan penggalangan dana di kampus. "Kita pasti bisa, Arya. Bersama-sama, kita bisa membantu adikmu," kata Rina dengan penuh keyakinan.
Arya merasa terharu dengan bantuan yang diterimanya. Meski beban terasa berat, ia tidak sendirian. Arya menemukan kekuatan dari dukungan sahabat dan keyakinan bahwa di balik setiap kerinduan, selalu ada harapan dan senyum yang menanti.
Arya dan teman-temannya bekerja keras mengumpulkan dana untuk operasi adiknya. Rina, Dika, dan Nina mengorganisir penggalangan dana di kampus, menyebarkan informasi melalui media sosial, dan menghubungi berbagai pihak untuk mendapatkan bantuan. Solidaritas dari teman-teman dan dosen di kampus luar biasa. Mereka menyumbangkan uang, memberikan dukungan moral, dan bahkan menawarkan waktu mereka untuk membantu dalam kegiatan penggalangan dana.
Hari demi hari, penggalangan dana menunjukkan hasil yang positif. Namun, waktu semakin mendesak, dan adik Arya harus segera menjalani operasi. Di rumah sakit, Arya terus mendampingi adiknya sambil berusaha tetap tenang di depan ibunya. "Ibu, kita akan melewati ini. Aku yakin adik akan sembuh," kata Arya mencoba menguatkan hati ibunya.