Rasaku terlintas begitu saja
Saat melihat sekilas kilauan sempurna matanya
Di bawah guguran bunga-bunga merah, flamboyan
Gugurannya meluruhkan segenap sadarku
Entah... tiba-tiba hatiku tergetar menatapnya
 Saat itu terjadi duniaku berubah seketika setelahnya
Aku mencintaimu dari hanya menatap kilauan  cahaya matamuÂ
Aku mencintaimu dengan caraku membuatkanmu ruang tak bertepi dalam hidupku
Aku mencintaimu tanpa ikatan apapun.. kini sampai entah kapan
                ...
Tiba-tiba mataku basah membacanya. Selembar tulisan tangan dalam buku catatanku 10 tahun yang lalu. 10 tahun yang telah membesarkanku dalam alam bawah sadar bahwa aku pernah mengenalnya. Waktu itu. Waktu yang tak pernah kulupakan sepanjang hidupku. MAsa yang membawaku larut dalam dilemma tak berkesudahan tanpa tahu bagaimana mengakhirinya. Aku menyimpannya rapat-rapat dalam brankas hatiku. Tak seorangpun tahu atau pernah bertanya. Meski itu sangat berat. Sangat.
Hari ini, aku memulai aktivitasku seperti biasa. Berkutat dengan laptop dan mengupload berita-berita terbaru hari ini ke website redaksi. Mataku yang kurang tidur karena semalaman mencari up date an berita, ditambah dengan penemuan puisi masa lampau yang membuatku nyaris tak bisa memejamkan mata. Mengingat semuanya membuatku lelah. Akhirnya setelah berita terupload dan feedback dari pimred di email aku tertidur depan laptop dengan lelap. Entah berapa lama aku tertidur, sampai mataku tiba-tiba terjaga karena perutku sangat lapar. Solusi paling gampang adalah memesan makanan online lalu menunggunya sambil mandi dan siap-siap untuk membeli logistik di toserba kalau amunisi sudah datang.
        Siang yang terik, menyetir mobil ke toserba terdekat. Mencari logistic yang sudah menipis di rumah. Ketika mataku tertuju pada deretan makanan instant, tiba-tiba aku melihat seseorang yang familiar. Seseorang yang setiap hari menjahiliku dengan tingkahnya yang usil. Regi. Regita. Teman sekampusku dulu. Kami berpelukan setelah 10 tahun tak pernah bertemu. Akhirnya aku tahu dia beru pindah kesini seminggu yang lalu. Akhirnya ketahuan juga kota persembunyianku dari paparazzi kampus seperti Regi. Kami merayakannya di sebuah coffee shop dekat toserba.
        Regi sudah menikah. Tahun ini ia menimang anak pertamanya yang baru 7 bulan. Pernikahan yang bahagia, kupikir, karena melihat binary di matanya saat bercerita tentang keluarga kecilnya. Dan Regi terhenyak mendengar bahwa aku masih sendiri sampai saat ini.
        "Jasmine, kamu menunggu siapa? Atau memang kamu pemilih, ha? Kamu orang paling enak sedunia fana, mau yang model apa tinggal nyamperin, jadi. Siapa yang rela menolak orang sepertimu?"
Aku terbahak. Banyak yang bilang aku adalah orang paling beruntung karena sifat dan fisikku serta pembawaanku yang supel bergaul. Banyak orang sekitarku yang akan senang jika aku menjadi pendampingnya. Keluarga ku yang harmonis, baik-baik saja, serta pekerjaan yang lumayan mapan. Tapi aku tidak pernah ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Belum ingin.
Regi hanya geleng-geleng kepala melihatku. Sampai akhirnya siang itu aku mampir ke rumah nya yang ternyata tak jauh dari rumahku. Disana aku nyaman melihat kehidupan Regi yang nyaman, bahagia, dengan bayinya yang mungil dan ibu Regi yang menemaninya seusai ayah Regi tiada. Kebahagiaan yang sama turut kurasakan sebelum aku melihat sebuah foto. Foto yang membuatku tertegun sesaat. Foto suami Regi dan seseorang disampingnya. Seseorang yang sampai saat ini menemani alam bawah sadarku.
        "Hei, jangan melamun, Jas. Ini minum dulu. Ibuku yang bikin. Jus buah kesuakaanmu. Kamu lihat apa sampai pucat begitu?"
Regi menatapku heran sambil mengerutkan dahi. Matanya menatap deretan foto di dinding.
        "Itu suamiku. Kenal, kan? Kakak tingkat kita. "
        "Ya, dari dulu kamu bersamanya."
Regi mengangguk. Tiba-tiba dia tertawa.
        "Kamu penasaran yang disebelah suamiku?"
Aku menggeleng perlahan. Pertahanku hampir jebol kali ini.
        "jangan bohong...kamu kenal juga, kan? Yang sering kamu lihat di kampus diam-diam..tunggu...jangan-jangan..."
Aku terbahak dan usai minum jus dari mamanya Regi aku minta diri. Jangan sampai Regi membongkar semuanya. Darimana dia tahu aku diam-diam melihat si mata elang itu di kampus? Darimana dia tahu?
        Mala mini rasanya waktu bergerak sangat lamban. Aku lelah tak berkesudahan setelah semalaman menjadi editor sekaligus menjadi penulis lepas suasana hatiku sendiri. Segalanya menjadi sangat gamblang di sebuah tulisan. Imajinasiku benar-benar tereksplorasi sempurna dalam kata-kata. Absurd objeknya, tapi jelas sekali aku merindukannya. Saat ini. Merindukan menatapnya diam-diam sambil menikmati secangkir coklat panas di kantin kampus dan berharap mata elang itu akan kulihat lagi kilatannya esok hari bahkan selama hidupku. Sampai aku terlelap kembali di pagi yang masih belia dengan segala imajinasi alam bawah sadarku tentangnya.
        Regi. Sore ini dia datang sendiri. Pembawaannya yang iseng dan usil masih ada sampai sekarang. Bahkan lebih konyol lagi. Dia mengundangku di pesta 7 bulanan putrid cantiknya hari Minggu siang. Aku mulai membaca gelagat keusilannya. Setelah tahu siapa yang kupandangi diam-diam di kampus ditambah dengan fotonya yang terpampang di ruang keluarganya bersama Richard suaminya, mustahil Regi tak mengundangnya. Segudang alasan ku berikan bahwa hari minggu adalah hari yang sibuk untuk jurnalis sepertiku, karena ribuan berita akan muncul di hari itu dan saying untuk dilewatkan. Apalagi aku peliput straight news yang punya jadwal jam-jam an bukan harian. Regi memaksa dengan jurus jitunya
        "Sahabat macam apa kamu, Jas? Nggak bisa datang di hari bahagia sahabatnya. Jaringan kan bisa diakses di rumahku. Ada tuh perangkat buat kirim naskahmu di rumah. Pakai aja meja kerja suamiku. Beres."
Aku menggeleng tak bisa berkata-kata. Keusilannya kali ini tidak akan menjebakku. Aku sudah menyiapkan diri dengan sepenuh jiwa raga untuk hari yang mendebarkan itu. Hari Minggu pagi. Seperti orang latihan pemeranan, aku bicara sendiri di cermin kamarku. Memerankan sosok Jasmine yang tegar, biasa saja, wajar, saat menatap seseorang yang selama ini mengisi ruang kosong di hatinya. Berlatih berbicara andaikan harus berbicara dengannya. Akhirnya setelah seribu pertimbangan, aku bersiap datang ke acara Regi.
Memasuki rumah mungil yang asri itu, dadaku berdegup kencang. TArik nafas panjang, tahan dan menghembuskannya sangat pelan biar nervous ku hilang. Regi menyambutku bak tamu agung. Dipeluk dikenalkan ke keluarga besarnya, lalu disuruhnya aku duduk dimanapun aku mau. Kesempatan yang tak kusia-siakan. Aku duduk di sebuah spot yang bisa melihat arah pintu depan dan pintu tengah rumah Regi. KAlau ada seseorang yang akan menjadi bom waktu ku di hari itu, aku akan berusaha untuk diam-diam menghindar dan kabur. Seperti biasa di kampus, meghindari tatapan matanya adalah hal yang harus ku lakukan supaya aku tidak harus menyapanya langsung atau disapa langsung. Sampai acara hampir berakhir, tak ada tanda-tanda kehadirannya. Aku mulai tenang. HAnya perasaanku saja. Mungkin Regi lupa atau memamng dia tak berpikiran aku masih menyimpan tatapan diam-diamku. Sudah 10 tahun. Semua bisa berubah.
Aku berpamitan usai acara. Regi tersenyum bahagia. Aku diam-diam menyalahkan diriku sendiri. Rasa di hatiku mampu menuduh sahabatku sendiri . Ah semuanya hanya perasaanku saja. Lagu Lentera Cinta nya Nicky Astria mengiringi ku pulang dari rumah Regi siang ini. Tidak terjadi apa-apa. Aku menghela nafas panjang sambil terus menyalahkan diri sendiri dengan segala kebodohanku yang berharap ada yang hadir kembali dalam hidupku. Seseorang yang bahkan tak pernah kukenal sebelumnya. Hanya orang bodoh yang melakukannya. Tapi perasaan itu memang membuatku bodoh sebodoh-bodohnya. Itulah yang tidak pernah aku tahu jawabannya. Kenapa aku merasa sangat bodoh jika berurusan dengan perasaan. Mungkin Tuhan memamg menciptakan perasaan berseberangan dengan logika berfikir manusia untuk membedakannya secara implisit. Absurd. Benar-benar tidak nyata.
Waktu berlalu. Aku sering main ke rumah Regi di waktu-waktu senggangku tanpa membahas apapun tentang dia. Mahluk bermata elang yang bahkan menatap fotonya pun aku tak sanggup. Regi pun seolah melupakannya. Sering kali malah dia menjodohkanku dengan klien-klien suaminya yang sudah mapan dan masih single. Tapi jawabanku sopan saja, aku masih ingin sendiri. Lalu Regi hanya mengangkat bahunya dan berkata 'terserah kamu'. Sebenarnya aku juga ingin tidak lagi sendiri. Membangun bahagia dengan seseornag, membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia seperti teman-temanku yang lain. Seperti halnya mimpi-mimpi wanita seumuranku pada umumnya. Aku sudah dewasa. Umur bukanlah ukuran, tapi paling tidak aku sudah siap untuk semua itu. Tapi sekali lagi masalah perasaan memang berbanding terbalik dari logika berfikir manusia. Aku tidak tahu jawabannya. Hanya Tuhan yang tahu.
Musim dan waktu terus berganti. Memutar masa menuju sebuah jawaban tentang pertanyaanku selama ini. Dalam perjalanku ke luar kota. Ke sebuah kota kecil kampus kami. Aku menghindari betul ke kota itu, karena takut teringat hal-hal melankolis di masanya. Tapi tugas Negara sebagai seorang jurnalis adalah hal wajib yan tidak bisa ditolak. Kabar ter update harus diliput dari tempatnya langsung dengan instruksi tegas pimpinan redaksi. Aku adalah orang yang pantang menolak tugas. Apalagi itu bukan tugas kriminal. HAnya liputan. Apa salahnya? Tapi tugas singkat itu lah yang mengubah duniaku selanjutnya.
Menyusuri kota kecil yang sudah familiar itu bagiku seperti memutar kembali memori msa lampau. Memotret dan meliput segalanya. Bukan hanya sensasi dari berita menarik di dalamnya  saja. Jiwa jurnalisku menyusuri semua sudut kota. Sampai di sebuah tempat yang membuatku bangga pernah menjadi lulusan terbaik disana. Kampusku. KAmpus yang membesarkan namaku. KAmpus yang membawaku menuju tangga karier dan tangga masa depan. Aku memasukinya setelah tugas elah liputanku dib alai kota selesai. Aku menyusuri jalanan kampus yang sudah mulai ramai oleh mahasiswa. Kini semuanya seperti di film-film korea. Jalanan mulus lebar dengan pohon-pohon bunga tinggi yang memayungi. Sejuk dan asri. Flamboyan itu masih ada disana. Pohon tinggi dengan bunga merahbersemu orange itu menggugurkan bunga-bunganya. Secara tidak sengaja mataku melihat kilatan mata itu di bawah guguran bunga flamboyan. Tuhan..aku bermimpi dalam sadar. Itukah namanya halusinasi? Halusinasiku bertahun-tahun yang mengkristal dalam pikiranku, kemudian tergambar di depan mataku sekarang. Aku mulai gila, mungkin. Tapi aku melihatnya benar-benar. Benar-benar nyata. Bukan dia 10 tahun yang lalu, tapi dia yang sekarang sedikit berbeda dengan setelan baju kerja casual dan sepatu kets cirri khasnya. Kali ini aku benar-benar melihatnya. Bukan dipertemukan Regi atau sengaja dipertemukan dengannya. Tapi  aku menemukannya disini. Tempat pertama aku melihatnya 10 tahun yang lalu. Ya, aku tidak bermimpi. Dia berdiri disana lalu tersenyum padaku. Tidak bukan padaku. Tapi pada seseorang di arahku. Seseorang yang manis, penuh kharisma, dan aku mengenalnya lebih dari diriku sendiri. Profesor Ken. Dosen penyelamatku yang selalu memberiku ruang untuk membantunya mengajar mahasiswa junior untuk beasiswa-beasiswa prestasiku. Saat aku membalikkan badan, professor Ken terkejut bukan kepalang.
        "Jasmine?"
Aku memeluk tangan tua yang masih berkharisma itu. Beliau tersenyum. Di belakangku, aroma maskulin blue ocean menggodaku. Dia di belakangku. Bahkan sekarang berdiri sejajar denganku. Dekat disampingku. Sampai merontokkan seluruh sendi-sendi sadarku. Aku ingin teriak lantang tapi tak bisa bersuara.
        "Kok kebetulan, ya? Jasmine kamu ada pekerjaan di kampus ini?"
Aku tersenyum malu-malu saat sadar masih memakai stelan blazer hitam dan stiletto hitam bertumit di siang-siang bolong di tengah kampus. Aku lupa ganti kostum di mobil yang ku parkir di parkiran depan kampus.
        "Saya selesai interview live di balai kota, prof."
Profesor Ken mengangguk bangga.
        "Ini saya mau meeting dengan anak saya, Sabda."
Aku tersengat ribuah watt. Anaknya?Manusia sempurna yang selama ini mengisi ruang-ruang hampa di hatiku selama 10 tahun ini, anak Profesor Ken? Kenapa aku tak pernah tahu? Aku memang tidak begitu memperhatikan keluarga Profesor Ken, kecuali hanya tahu istri beliau yang sangat ramah dan beliau punya seorang putra yang memilih tinggal mandiri selama kuliah. Aku tak pernah tahu. Melihat foto keluarganya pun tak pernah, karena aku bukan orang yang sibuk mengorek-ngorek pribadi seseorang.
        "Jasmine,ini anak saya, Sabda. Kamu kenal, kan?"
Aku terpaku tak bisa bergerak. Aku belum mengenalnya langsung. Tapi aku sangat mengenali semua tentangnya.
        "Sudah kenal saya, Ayah. Jasmine, temennya Regi."
Profesor Ken mengangguk-angguk senang. Dia mengenalku? Mengenal Regi? Profesor Ken menepuk pundak ku.
        "Kalau ada waktu mainlah ke rumah, Jas. Ada Sabda. Istri saya sering bertanya tentang kamu. Kamu kan sudah seperti anak kami. Mumpung lagi tugas. Saya kira kamu sudah lupa dengan kota ini."
Aku tak bisa menjawab, hanya mengangguk hormat. MAafkan saya, Prof. Saya melupakan jasa besar nya padaku untuk menutupi segala keresahan saya. Lalu ingin rasanya segera pergi dari tempat ini. Secepatnya. Tapi kakiku terpaku. Kenapa aku merasa sangat-sangat, bodoh lebih bodoh dari yang kemarin-kemarin. Profeseor Ken minta diri untuk meeting. Seseorang di sampingnya adalah mata elang yang kurindukan siang malam kilauannya. Kini aku melihatnya pergi lagi bersama senyuman manisnya yang tak bisa kulupakan seumur hidupku. Kali ini aku menyalahkan Regi. Kenapa Regi mengenalkanku sebagai temannya. Dia bahkan mengakui mengenalku dari Regi. Apa yang Regi katakan? Aku melihatnya diam-diam ? Kenapa Regi tahu? Ah, entahlah. Cepat-cepat aku kembali ke mobil. Menyalakan AC, duduk diam sejenak menemukan kembali detak jantungku yang stabil setelah tadi berdetak tidak keruan bahkan hampir copot. Menghilangkan penat dan rasa nervous yang  baru saja terjadi, aku mempir ke coffee shop langgananku saat kuliah dulu. Masih ada. Cuma keadaannya menjadi sangat berubah. Lebih estetik dan enak buat melepas penat usai bekerja. Memilih meja paling pojok yang lebih privat dengan tidak banyak dilihat orang, aku meneguk mocca latte hangat sambil mengecek media sosial. Betapa terkejutnya saat ada chat masuk dari seseorang yang baru saja merontokkan sendi-sendiku. Anak professor Ken. Sabda . Wajah di foto profilnya tidak asing bagiku. Chat singkat
'Ayah minta kamu datang ke rumah.Tx.'
Hatiku seperti terseret ke sebuah masa. Dimana aku akan bertemu lagi dengannya. Atas dasar aku yang punya hutang budi pada ayahnya, kebaikan dan ketulusan hati bundanya yang sudah menganggapku anaknya sendiri meski kami hanya beberapa kali ketemu di kampus. Aku terpaku sesaat. Datang atau tidak?Pertanyaan yang aku sendiri gamang.
Malam itu, di hotel tempatku menginap mataku tak bisa terpejam. Bagaimana kalau aku harus melihat kilatan sempurna itu kembali esok hari? Akankah aku mampu membalas tatapannya atau bahkan sanggup berkata-kata di depannya. Nyaliku tiba-tiba menciut. Sementara sebagian hati keciku bersorak riang gembira seperti menemukan titik terang dari pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Â Tuhan sudah punya skenario yang rumit ini. Itulah jawaban yang kudapat mala mini sambil mencoba memejamkan mata sejenak setelah menuliskan sajak tentang kegamangan yang kurasakan mala mini
        The Eagle Eyes
Kilatan itu begitu sempurna
Kali ini mampu menembus pertahanan jiwaku
Luluh lantak hari ini
Untuk kesekian kalinya
Aku menamainya 'cinta'
        Sungguh
        Aku tak sanggup menghindari nya
        Duhai mata elang,
        Apakah ini akan ada akhirnya? Aku tak bisa lagi berkata-kata
Paginya, sebelum aku berkemas untuk kembali ke kota tempat ku tinggal, aku memutuskan pergi ke rumah Professor Ken. Akan aku hadapi apapun yang terjadi. Tak peduli bagaimana aku seam jantung saat nanti berhadapan dengan putra semata wayangnya, tak peduli apapun. Niatku satu. Aku bukan anak kurang ajar yang lupa siapa yang turut andil dalam masa depannya. Masalah hati, perasaan akan aku kunci kembali serapat-rapatnya. Toh aku juga tidak begitu mengenal nya secara langsung. Akan banyak alibi yang bisa membelokkan ketidak mampuanku menghadapinya. Tenang.
Sampai di rumah Profesor Ken, aku seperti diingatkan kembali saat kuliah dulu. Aku sering dibimbing guru sepintar dan sebijaksana beliau di teras depan rumahnya. Lalu seperti ibu peri, istri beliau membawakan nampan berisi jus buah kesukaanku dan makanan ringan. Sungguh aku adalah murid paling beruntung saat itu. Mungkin karena professor Ken dan Bunda Prigel tak punya anak perempuan. Yang ku tahu mereka hanya punya satu putra yang seumuran denganku. Kebetulan pula aku adalah mahasiswa yang punya prestasi di bidang yang diajar beliau. Public relation.
        "Apa kabar, Jas?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Priyayi jawa yang anggun dan bijaksana itu kembali menyapaku dengan  logat ramahnya. Bunda Prigel. Aku menyambut uluran tangannya dengan ciuman tangan. Beliau tersenyum. Lalu kami pun terlibat obrolan seru selam 10 tahun berlalu. Sampai saat professor Ken pun datang dan bergabung dengan kami.
        "Ternyata Jasmine sudah kenal sama Sabda. Dia sahabatnya Regi."
Bunda Prigel tersenyum. Mati lah daku. Mereka membahas si mata elang itu sekarang.Aku berekspresi sewajar-wajarnya. Sampai pada aku membelokkan topik tentang kesehatan Professor Ken dan kami ngobrol seru kembali.Untuk yang pertama kalinya aku patah hati, karena tak kulihat si Mata elang itu hadir. Tapi sudahlah mungkin kami memang ditagdirkan untuk tidak saling mengenal. Bagiku, mengaguminya diam-diam adalah hal terindah sepanjang hidupku. Sampai aku bisa move on kelak. Waktu cepat berlalu sampai pada saatnya aku pamit pulang karena akan kembali ke kota tempatku tinggal. Esok hari aku harus kembali bekerja. Professor Ken tersenyum bangga melihatku seperti saat ini, demikian juga Bunda Prigel yang tak henti-hentinya mendoakanku diiringi filsafat-filsafat jawa yang bijaksana. Aku berpamitan dan berjanji akan sering-sering berkirim kabar di media sosial.
Helaan nafas panjang mengiringiku kembali pulang ke kota tempat tinggalku. Ternyata perasaanku hanya perasaan. Kebahagiaan yang sangat sudah terjawab.Aku masih mengaguminya meski tak ada yang mampu kuucapkan. Bahkan aku tak sempat mengenalnya. Belum.
Satu bulan kemudian. Suatu senja di teras rumah.
Menikmati senja denganaroma tanah usai hujan. Aroma yang menyejukkan hati. Aku menatap senja yang sebentar lagi menjadi malam. Warna jingga itu membawaku ke sebuah penantian panjang. Â Entah sampai kapan. Tiba-tiba HP ku bergetar. Chat masuk. Sabda. Aku bergetar membacanya.
        Professor Ken berpulang. Mohon doanya. Tx.
Air mataku tumpah seketika. Aku tidak tahu harus bagaimana. BAru sebulan yang lalu serasa firasat, bapak keduaku yang membimbingku selama di kampus seperti putrinya sendiri sudah harus meninggalkan dunia fana ini. Aku menelpon langsung Bunda Prigel. Diiringi isak tangis, kami saling berbagi doa. Aku berjanji akan secepatnya ke kota  beliau setelah mendapat izin cuti. Secepatnya aku langsung menghubungi Regi. Ternyata Regi ke luar kota. Aku hanya bisa menangis sendirian dalam perjalananku melepas Profesor Ken untuk yang terakhir kalinya. Meskipun terlambat, aku akan datang, seperti janjiku pada beliau.
Suasana duka masih kental menyelimuti saat aku memasuki rumah duka. Meski Professor Ken sudah di pusara, semua masih berkumpul. Ada Regi di sana. Aku menatapnya bingung.
        "Jas, suamiku keponakannya Almarhum. Maaf saya nggak kasih tahu."
Aku mengangguk pelan dan memeluknya erat.Air mataku tumpah. Bahkan saat mengunjungi makam beliau, masih ku rasakan kesedihan yang mendalam. Aku melupakan seluruh perasaanku pada putranya, meski akhirnya aku tak bisa menyembunyikannya karena harus berhadapan langsung dengan pemilik mata elang itu.
        "Apa kabar?"
Uluran tangannya untuk yang pertama kali kusambut dengan hati teramat gemetar. Rasanya seperti stroom ribuan watt. Nyaliku menciut, dan aku tak bisa berkata-kata.
        "Terima kasih sudah jadi putri ayah bunda. "
Aku terdiam. BAhkan tak berani menatapnya.
        "Hei.."
Aku tersenyum masam. Bagaimana ini? Nervous. Kami duduk berhadapan di teras rumahnya ditemani malam yang makin merayap. Sementara di dalam masih ramai keluarga yang beres-beres seusai pengajian.
        "Ada yang mau saya katakan."
Aku makin menunduk. Tak tahu harus bicara apa.
        "Saya mencari kamu keujung dunia. Tak bisa menemukan. Sampai Regi menelpon saya sebulan yang lalu. Maaf, saya baru mengatakannya sekarang."
Aku terhenyak. Regi? Bagaimana ini? Kenapa dia mencariku?
        "Maaf, kenapa kamu mencari saya?"
Dia tersenyum. Senyum misterius yang akhirnya terungkap malam ini.
        "Kamu yakin nggak kehilangan sesuatu?"
Aku mengernyitkan dahi. Kehilangan? Aku mengutuki diriku sendiri. Apa yang dia temukan?
Sampai dia menyodorkan sebuah hard disk eksternal. Warna merah maroon. Aku menatapnya tak berkedip. Hard disk itu barang keramat ku. Isinya...alamak. Hanya ada 1 folder dan semua berisi foto-foto jepretan saya yang...sebagian besar fotonya. Dan satu file puisi. Kenapa ada padanya?
        "Kamu yang punya, kan?"
Aku mengangguk sambil menghela nafas panjang. Semoga dia tidak membukanya. Semoga.
        "Maaf, itu ketinggalan di meja kerja ayah saya di kampus. Kemudian ayah membawanya pulang. Dipikirnya ada file kamu yang mau dikonsultasikan. Pas di buka, ayah saya baru mengatakannya sehari kemudian. Setelah kamu meninggalkan kampus usai ambil ijazah. Saya terpaku saat itu. Semua file berisi foto-foto saya yang kamu ambil diam-diam. Lalu sebuah puisi yang membuat ayah saya merasa bersalah karena tak pernah mengenalkan saya ke kamu. Seandainya kita kenal, mungkin lain ceritanya. Kita bisa saling mengenal satu sama lain. Saya terdiam saat itu. Tak tahu harus berkata apa. Mungkin saya yang kurang peka. MUngkin juga memang saya tidak tahu sebelumnya dan lambat laun saya menyadarinya bahwa ini mungkin tagdir. Akhirnya, untuk menebus kesalahannya, ayah saya berusaha mencarimu. Saya pun juga.Sampai saya menemukan kamu dari Regi. Kamudian, Regi lah yang mengatur pertemuan di kota ini. Kebetulan, saya waktu itu harus menggantikan ayah seminar di luar kota. Paling tidak ayah saya sudah berusaha. Dan sekarang kita disini."
Aku terperangah menghadapi jawaban dari segala teka teki yang selama ini ada dalam kehidupanku. Apakah ini endingnya?
        "Maaf, kamu harus menyimpan semuanya sendirian. Saya tahu, kamu menunggu saya. Dan saya ternyata memikirkanmu 10 tahun ini. Mungkin terlambat."
Aku makin tidak mengerti. Apakah ini jawabannya. Tentang rasa yang mungkin akan segera terbalas. Batasan itu sekarang ada. Aku dan dia. Di tengah scenario yang entah bagaimana awalnya. Yang jelas kami tersenyum satu sama lain. Mengiringi dentingan melankolis perasaanku padanya.
        "Kita bisa saling mengenal. "
Aku menyambut uluran tangannya. Sambil tak henti bersyukur. Apakah ini akhir dari penantian panjangku? Aku juga belum tahu. Akhirnya aku bisa mengenalnya. Mungkin hubungan atau apalah namanya akan datang kelak. Yang jelas isi hatiku sudah terwakili melalui hal tak terduga. Puisi itu sungguh mengubah duniaku.
Malam itu aku pulang ke kota tempat tinggalku dengan hati berbunga-bunga. Regi yang tertawa lepas mengejekku akhirnya menjadi orang yang membuka lebar semua ini. Aku tidak tahu sampai mana endingnya. Hatiku dipenuhi ribuan bahkan jutaan bintang gemintang. Mobilku melaju sempurna sesempurna hatiku yang sedang bahagia. Sampai dentuman keras membuatku melayang. Tiba-tiba gelap datang dan mengaburkan semuanya. Gelap. Hanya gelap. Jiwaku terbang bersama angin malam yang semakin kelam. Aku tak ingat lagi. Aku sudah bahagia.
        ANDAI
Sekali saja kulihat kilatan sempurna itu kembali
Sekali itu aku mengaguminya
Entah itu yang terakhir atau ada akhir yang lain
Andai saja
Aku bisa menemukan batas rasa ini
Mungkin itulah yang diebut 'ending'
Dan aku tak tahu jawabnya
Hanya aku dan Tuhan
                                                                Plur 2022
Kebahagiaan bukanlah di dapat dari sebuah hubungan saja. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa tahu apa yang kita yakini berjalan dengan semestinya. Kebahagiaan adalah melihat yang kita kagumi menjadi kekal, tanpa batasan ruang dan waktu. Kebahagiaan adalah diantara ciptaan Tuhan yang terindah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H