"jangan bohong...kamu kenal juga, kan? Yang sering kamu lihat di kampus diam-diam..tunggu...jangan-jangan..."
Aku terbahak dan usai minum jus dari mamanya Regi aku minta diri. Jangan sampai Regi membongkar semuanya. Darimana dia tahu aku diam-diam melihat si mata elang itu di kampus? Darimana dia tahu?
        Mala mini rasanya waktu bergerak sangat lamban. Aku lelah tak berkesudahan setelah semalaman menjadi editor sekaligus menjadi penulis lepas suasana hatiku sendiri. Segalanya menjadi sangat gamblang di sebuah tulisan. Imajinasiku benar-benar tereksplorasi sempurna dalam kata-kata. Absurd objeknya, tapi jelas sekali aku merindukannya. Saat ini. Merindukan menatapnya diam-diam sambil menikmati secangkir coklat panas di kantin kampus dan berharap mata elang itu akan kulihat lagi kilatannya esok hari bahkan selama hidupku. Sampai aku terlelap kembali di pagi yang masih belia dengan segala imajinasi alam bawah sadarku tentangnya.
        Regi. Sore ini dia datang sendiri. Pembawaannya yang iseng dan usil masih ada sampai sekarang. Bahkan lebih konyol lagi. Dia mengundangku di pesta 7 bulanan putrid cantiknya hari Minggu siang. Aku mulai membaca gelagat keusilannya. Setelah tahu siapa yang kupandangi diam-diam di kampus ditambah dengan fotonya yang terpampang di ruang keluarganya bersama Richard suaminya, mustahil Regi tak mengundangnya. Segudang alasan ku berikan bahwa hari minggu adalah hari yang sibuk untuk jurnalis sepertiku, karena ribuan berita akan muncul di hari itu dan saying untuk dilewatkan. Apalagi aku peliput straight news yang punya jadwal jam-jam an bukan harian. Regi memaksa dengan jurus jitunya
        "Sahabat macam apa kamu, Jas? Nggak bisa datang di hari bahagia sahabatnya. Jaringan kan bisa diakses di rumahku. Ada tuh perangkat buat kirim naskahmu di rumah. Pakai aja meja kerja suamiku. Beres."
Aku menggeleng tak bisa berkata-kata. Keusilannya kali ini tidak akan menjebakku. Aku sudah menyiapkan diri dengan sepenuh jiwa raga untuk hari yang mendebarkan itu. Hari Minggu pagi. Seperti orang latihan pemeranan, aku bicara sendiri di cermin kamarku. Memerankan sosok Jasmine yang tegar, biasa saja, wajar, saat menatap seseorang yang selama ini mengisi ruang kosong di hatinya. Berlatih berbicara andaikan harus berbicara dengannya. Akhirnya setelah seribu pertimbangan, aku bersiap datang ke acara Regi.
Memasuki rumah mungil yang asri itu, dadaku berdegup kencang. TArik nafas panjang, tahan dan menghembuskannya sangat pelan biar nervous ku hilang. Regi menyambutku bak tamu agung. Dipeluk dikenalkan ke keluarga besarnya, lalu disuruhnya aku duduk dimanapun aku mau. Kesempatan yang tak kusia-siakan. Aku duduk di sebuah spot yang bisa melihat arah pintu depan dan pintu tengah rumah Regi. KAlau ada seseorang yang akan menjadi bom waktu ku di hari itu, aku akan berusaha untuk diam-diam menghindar dan kabur. Seperti biasa di kampus, meghindari tatapan matanya adalah hal yang harus ku lakukan supaya aku tidak harus menyapanya langsung atau disapa langsung. Sampai acara hampir berakhir, tak ada tanda-tanda kehadirannya. Aku mulai tenang. HAnya perasaanku saja. Mungkin Regi lupa atau memamng dia tak berpikiran aku masih menyimpan tatapan diam-diamku. Sudah 10 tahun. Semua bisa berubah.
Aku berpamitan usai acara. Regi tersenyum bahagia. Aku diam-diam menyalahkan diriku sendiri. Rasa di hatiku mampu menuduh sahabatku sendiri . Ah semuanya hanya perasaanku saja. Lagu Lentera Cinta nya Nicky Astria mengiringi ku pulang dari rumah Regi siang ini. Tidak terjadi apa-apa. Aku menghela nafas panjang sambil terus menyalahkan diri sendiri dengan segala kebodohanku yang berharap ada yang hadir kembali dalam hidupku. Seseorang yang bahkan tak pernah kukenal sebelumnya. Hanya orang bodoh yang melakukannya. Tapi perasaan itu memang membuatku bodoh sebodoh-bodohnya. Itulah yang tidak pernah aku tahu jawabannya. Kenapa aku merasa sangat bodoh jika berurusan dengan perasaan. Mungkin Tuhan memamg menciptakan perasaan berseberangan dengan logika berfikir manusia untuk membedakannya secara implisit. Absurd. Benar-benar tidak nyata.
Waktu berlalu. Aku sering main ke rumah Regi di waktu-waktu senggangku tanpa membahas apapun tentang dia. Mahluk bermata elang yang bahkan menatap fotonya pun aku tak sanggup. Regi pun seolah melupakannya. Sering kali malah dia menjodohkanku dengan klien-klien suaminya yang sudah mapan dan masih single. Tapi jawabanku sopan saja, aku masih ingin sendiri. Lalu Regi hanya mengangkat bahunya dan berkata 'terserah kamu'. Sebenarnya aku juga ingin tidak lagi sendiri. Membangun bahagia dengan seseornag, membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia seperti teman-temanku yang lain. Seperti halnya mimpi-mimpi wanita seumuranku pada umumnya. Aku sudah dewasa. Umur bukanlah ukuran, tapi paling tidak aku sudah siap untuk semua itu. Tapi sekali lagi masalah perasaan memang berbanding terbalik dari logika berfikir manusia. Aku tidak tahu jawabannya. Hanya Tuhan yang tahu.
Musim dan waktu terus berganti. Memutar masa menuju sebuah jawaban tentang pertanyaanku selama ini. Dalam perjalanku ke luar kota. Ke sebuah kota kecil kampus kami. Aku menghindari betul ke kota itu, karena takut teringat hal-hal melankolis di masanya. Tapi tugas Negara sebagai seorang jurnalis adalah hal wajib yan tidak bisa ditolak. Kabar ter update harus diliput dari tempatnya langsung dengan instruksi tegas pimpinan redaksi. Aku adalah orang yang pantang menolak tugas. Apalagi itu bukan tugas kriminal. HAnya liputan. Apa salahnya? Tapi tugas singkat itu lah yang mengubah duniaku selanjutnya.
Menyusuri kota kecil yang sudah familiar itu bagiku seperti memutar kembali memori msa lampau. Memotret dan meliput segalanya. Bukan hanya sensasi dari berita menarik di dalamnya  saja. Jiwa jurnalisku menyusuri semua sudut kota. Sampai di sebuah tempat yang membuatku bangga pernah menjadi lulusan terbaik disana. Kampusku. KAmpus yang membesarkan namaku. KAmpus yang membawaku menuju tangga karier dan tangga masa depan. Aku memasukinya setelah tugas elah liputanku dib alai kota selesai. Aku menyusuri jalanan kampus yang sudah mulai ramai oleh mahasiswa. Kini semuanya seperti di film-film korea. Jalanan mulus lebar dengan pohon-pohon bunga tinggi yang memayungi. Sejuk dan asri. Flamboyan itu masih ada disana. Pohon tinggi dengan bunga merahbersemu orange itu menggugurkan bunga-bunganya. Secara tidak sengaja mataku melihat kilatan mata itu di bawah guguran bunga flamboyan. Tuhan..aku bermimpi dalam sadar. Itukah namanya halusinasi? Halusinasiku bertahun-tahun yang mengkristal dalam pikiranku, kemudian tergambar di depan mataku sekarang. Aku mulai gila, mungkin. Tapi aku melihatnya benar-benar. Benar-benar nyata. Bukan dia 10 tahun yang lalu, tapi dia yang sekarang sedikit berbeda dengan setelan baju kerja casual dan sepatu kets cirri khasnya. Kali ini aku benar-benar melihatnya. Bukan dipertemukan Regi atau sengaja dipertemukan dengannya. Tapi  aku menemukannya disini. Tempat pertama aku melihatnya 10 tahun yang lalu. Ya, aku tidak bermimpi. Dia berdiri disana lalu tersenyum padaku. Tidak bukan padaku. Tapi pada seseorang di arahku. Seseorang yang manis, penuh kharisma, dan aku mengenalnya lebih dari diriku sendiri. Profesor Ken. Dosen penyelamatku yang selalu memberiku ruang untuk membantunya mengajar mahasiswa junior untuk beasiswa-beasiswa prestasiku. Saat aku membalikkan badan, professor Ken terkejut bukan kepalang.